"Ibu adalah Ibu Mega, ya? begitu Juli Widastra alias Lenju berkata saat disapa oleh Menteri Kesehatan RI, Nila Djuwita F. Moeloek dalam kunjungannya ke Rumah Berdaya, Denpasar, pada Rabu (24/4/2019). Menteri Moeloek tersenyum dan menanggapinya dengan candaan pula, Ya, saya adiknya Ibu Mega, Lenju pun tertawa.

Lenju yang kini berusia 41 tahun adalah satu dari 28 warga Rumah Berdaya, komunitas pemberdayaan ODGJ di Denpasar. Setiap pagi, ia dijemput mobil yang difasilitasi oleh Pemkot Denpasar ke Rumah Berdaya dan beraktivitas di sana. Sore hari, mereka diantar pulang kembali ke rumah masing-masing.

Salah satu pendiri Rumah Berdaya, I Gusti Rai Putra Wiguna menyebutkan jika Rumah Berdaya bukan panti tempat biasanya keluarga ODGJ menitipkan anggota atau kerabat mereka yang mengidap gangguan jiwa.

Kami mau keluarga tidak lepas tangan dan bahkan membuang keluarganya ke panti seperti banyak terjadi, ujar psikiater di RSUD Wangaya Denpasar ini.

Ia menjelaskan, Rumah Berdaya tak mauorang yang gangguan jiwanya saja yang berubah, tetapi keluarga juga perlu diberi pemahaman tentang gangguan jiwa, misalnya apa nama penyakitnya, apa obatnya, dan jadwal berobatnya kapan, serta cara menangani jika anggota keluarga yang mempunyai penyakit jiwa sedang kambuh atau relaps.

"Bagi ODGJ yang sudah bebas dari gejala dan misalkan dirawat di RSJ, kami ajak pulang. Selain itu, melakukan rehabilitasi kepada orang dengan gangguan jiwa dan juga kepada keluarga. Keluarga juga kami undang tiap Minggu untuk datang untuk ikut pertemuan, terangnya

Kata Rai, tujuan utama berdirinya Rumah Berdaya adalah menumbuhkan empati yang konstruktif pada masyarakat di mana mereka bukannya mengasihani tetapi justru mengapresiasi keberagaman.

Upaya menghilangkan stigma pada ODGJ yang terbentuk di pikiran masyarakat kerap kami lakukan kegiatan intervensi sosial di tempat umum, seperti melukat di pura atau setahun lalu berkesenian di pinggir Tukad Badung, Denpasar. Ini untuk membangun rasa percaya diri kawan-kawan dan juga menghilangkan stigma, misalnya ODGJ itu suka mengamuk atau melakukan tindak kekerasan, katanya.

Rumah Berdaya berdiri sejak 2016, berawal dari informasi di media sosial tentang adanya Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) yang membuat Rai Putra Wiguna tertarik untuk mengembangkannya di Bali.

Awalnya kami berkumpul setiap dua minggu sekali, waktu itu kawan yang berkumpul 8 orang. Dari pertemuan rutin itu timbul ide untuk membuat komunitas. Lalu kami beraudiensi dengan Walikota Denpasar dan beliau mendukung kami dengan memberi kami tempat untuk membangun komunitas ini, ujarnya.

Seiring waktu, Rumah Berdaya makin dikenal dan pada awal berdiri ada berdiri ada 67 orang ikut rehabilitasi di tempat yang beralamat di Jalan Raya Sesetan 280, Pegok, Denpasar ini.

Sekarang warga yang tiap hari ada berjumlah 28 orang, yang reguler datang setiap hari. Ada juga yang sudah alumni sudah ngojek dan kalau istirahat siang sering mampir dan nongkrong. Ada juga yang pernah belajar sablon di sini dan sekarang bekerja pada orang lain, terangnya.

Penyakit jiwa yang diidap sebagian besar warga Rumah Berdaya adalah skizofernia, sebuah gangguan otak di mana terdapat ketidakseimbangan kimiawi di dalam otak yang gejalanya berupa gangguan jiwa. Skizofernia sering distigma atau disalahartikan sebagai gila.

Kami tidak bisa menghapus kata gila dari kamus besar bahasa Indonesia, itu tak bisa. Yang kami bisa lakukan adalah memberi arti lain dari katagila. Jadi semakin sering kita ngomongnya gangguan jiwa, bukan gila. Biar kata gila kita pakai untuk hal yang lain, tukasnya.

Untuk diketahui, di Rumah Berdaya ada empat orang dengan gangguan yang sudah pulih dan menjadi pegawai kontrak di sini dengan memanfaatkan kuota kerja disabilitas.

Mereka bekerja mengedukasi dan membantu kami yang para dokter dan terbukti jauh lebih efektif, karena mereka mengalami langsung pernah mengidap gangguan jiwa. kata Rai.