Ketika melihat kaum disabilitas, kita pun sering memandang dengan rasa iba. Tak jarang masyarakat juga memberikan belas kasihan kepada mereka. Namun, apakah mengasihani saja sudah cukup? Padahal jumlah mereka pun tidak sedikit di Indonesia. Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 2015, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia saat ini mencapai 21,84 juta orang atau 8,56 persen dari total penduduk (Pangaribuan, 2019). Dengan jumlah sebanyak itu, apakah rasa ibamu cukup untuk dapat mensejahterakan mereka yang disabilitas?

Disabilitas didefinisikan sebagai gangguan fisik atau mental yang secara substansial membatasi satu atau lebih aktivitas kehidupan utama seorang individu. Aktivitas utama meliputi hal-hal seperti berjalan, mendengar, dan berbicara (Aamond, 2010). Tidak jarang seseorang dengan keterbatasan fisik justru dipandang sebelah mata dan bahkan tidak memiliki hak yang sama dengan mereka yang normal. Padahal hak asasi manusia wajib dimiliki oleh semua orang termasuk penyandang disabilitas. Meski mereka terlihat berbeda, mereka pun tetap memiliki hak yang sama dengan kita.

Hak asasi manusia yang dimiliki oleh semua orang salah satunya adalah hak untuk mendapatkan pekerjaan. Hak bekerja secara umum diatur dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pengaturan lebih khusus diatur dalam Pasal 27 angka 1 huruf a Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang menjelaskan adanya larangan diskriminasi kepada penyandang disabilitas terhadap segala bentuk pekerjaan seperti perekrutan, penerimaan, pemberian kerja, dan perpanjangan masa kerja. Ketentuan tentang pemberian kesempatan bekerja bagi penyandang disabilitas sudah diatur dibeberapa peraturan, akan tetapi masih banyak penyandang disabilitas yang belum mendapatkan hak bekerjanya (Pradana, 2015).

Para penyandang disabilitas juga masih mendapat diskriminasi stuktural yang dilakukan di setiap instansi, baik negeri maupun swasta. Padahal sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menjamin hak dan kesempatan bagi kelompok difabel untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera, mandiri, dan tanpa diskriminasi. Namun, diskriminasi struktural masih dialami kelompok difabel hingga kini.Salah satu contoh konkret diskriminasi yang sering kali diabaikan adalah adanya prasyarat sehat jasmani dan rohani, untuk seseorang yang hendak melamar pekerjaan. Ketika melamar pekerjaan, syarat tersebut masih sering dicantumkan di nomor pertama sehingga langsung mendiskreditkan kualifikasi-kualifikasi lain, seperti tingkat pendidikan, kemampuan-kemampuan, dan pengalaman kerja yang sebenarnya kita miliki (Gusrina, 2019).

Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) memperkirakan bahwa hampir 70% penyandang disabilitas tidak memiliki pekerjaan, tetapi tentu saja tidak harus seperti itu. Penelitian ini cukup meyakinkan mengenai kenyataan bahwa dalam hal hampir semua kriteria kerja, karyawan penyandang disabilitas adalah pekerja yang mampu. Ribuan pengusaha di Amerika Serikat dan di tempat lain menemukan bahwa karyawan dengan disabilitas menyediakan sumber tenaga kerja yang kompeten dan efisien yang belum dimanfaatkan untuk pekerjaan mulai dari teknologi informasi, iklan kreatif hingga resepsionist (Dessler, 2013).

Sejalan dengan hal tersebut, salah satu restoran cepat saji Burger King telah membuktikan bahwa karyawan penyandang disabilitas adalah pekerja yang mampu. Burger King mempekerjakan 22 karyawan dan karyawati penyandang disabilitas. Mereka memperkerjakan penyandang disabilitas sebagai pelayan, kasir, cleaning service, maupun tukang masak. Assisten Manager III Burger King, Putu Agus Sudiarnawan mengaku Burger King sengaja memberikan wadah bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau penyandang disabilitas untuk menunjukkan kemampuannya (Irwan, 2018).

Putu Agus Sudiarnawan juga mengatakan bahwa mereka juga bagian dari kita yang juga berhak untuk berkarya. Burger King membuat wadah untuk mereka berkarya. Agus mengungkapkan bahwa segala kekurangan mereka bukan jadi halangan untuk maju. Selain itu, Agus mengungkapkan bahwa karyawan disabilitas yang biasa disebut Crew Spesial pun tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. Hanya satu hingga dua hari mereka sudah bisa berinteraksi dengan customer yang datang ke Burger King. Para Crew Spesial pun mengaku senang karena mendapatkan tempat untuk bisa diterima layaknya orang lain (Irwan, 2018).

Dengan demikian, bila penyandang disabilitas diberi kesempatan dan haknya untuk bekerja, mereka pun dapat menjadi lebih produktif. Maka kaum disabilitas tak hanya memperoleh belas kasihan dari orang lain. Namun, mereka bisa lebih mandiri dan sejahtera.