Perang Dunia II, salah satu lorong paling gelap yang pernah dilalui manusia dalam perjalanan panjang sejarah peradabannya telah memberi warna tersendiri bagi sejarah dunia.Sejarah dunia mencatat, Perang Dunia II dipicu oleh invasi angkatan perang Jerman atas Polandia pada tahun 1939 dan ambisi Nazi Jerman untuk mendominasi wilayah Eropa. Ambisi Jerman tersebut kemudian direspon oleh aksi heroik dalam salah satu peristiwa paling menentukan dalam Perang Dunia II, yaitu operasi pendaratan besar-besaran pasukan Sekutu di bawah komando Panglima tertingginya, Jenderal Dwight.D Eisenhower di Pantai Normandia Prancis pada bulan Juni 1944 untuk mengakhiri dominasi dan kekejaman Nazi Jerman di daratan Eropa. Jerman menyerah kepada sekutu pada bulan Mei 1945.

Untuk Front Pasifik, sebagaimana dibeberkan dalam buku Perang Pasifik karya P.K. Ojong (Kompas: 2008), perang Dunia II dimulai ketika ratusan armada pesawat tempur angkatan perang Jepang menyerang secara mendadak pangkalan militer Angkatan laut Amerika Serikat di Pearl Harbour Hawaii pada bulan Desember tahun 1941. Perang di Front Pasifik tersebut berakhir ketika pada bulan Agustus 1945 armada pesawat pembom jarak jauh Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di atas dua kota Jepang, Hiroshima dan Nagasaki yang memaksa Jepang menyerah kepada Sekutu segera setelahnya. Peristiwa-peristiwa tersebut telah membentuk wajah dunia hari ini.

Bara panas perang besar tersebut memberikan dampak yang luar biasa kepada dunia karena banyaknya negara yang terdampak baik secara langsung maupun tidak langsung, jumlah korban jiwa yang luar biasa besar, dan kehancuran infrastruktur di negara-negara yang menjadi tempat konflik. Negara kita pun tidak luput dari dampak perang tersebut, terutama dalam perang Kemerdekaan melawan pendudukan Belanda dan Jepang di masa lalu.

Semua hal tentang perang besar tersebut dapat kita ketahui dari buku-buku sejarah maupun film-film yang dibuat untuk mengenang peristiwa tersebut, yang bisa menjadi pembelajaran agar jangan pernah terjadi konflik peperangan lagi di dunia saat ini dan di masa yang akan datang. Kekejaman sebuah peperangan akan selalu merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.

Salah satu jejak dari perang besar itu ada di Jakarta. Di balik gedung-gedung megah pencakar langit kota Jakarta terdapat sebuah Ereveld (Makam Kehormatan Belanda). Untuk menuju tempat yang berlokasi di wilayah Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan ini tidaklah sulit, bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun moda transportasi berbasis aplikasi online.

Saya berkesempatan kembali mengunjungi tempat ini hari Sabtu, 4 Mei 2019 yang lalu bersama 8 orang anggota komunitas Jakarta Foodtraveler yang dipandu oleh Ibu Ira. Kebetulan pada hari itu di Ereveld Menteng Pulo sedang diadakan acara dan seremonial untuk menghormati para korban Perang yang diadakan setiap tanggal 4 Mei dan dihadiri oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia.

Menelusuri Ereveld Menteng Pulo, jejak Perang Dunia II di Ibu kota

Keterangan Foto: Pintu Gerbang Ereveld Menteng Pulo Jakarta

Taman pemakaman ini diresmikan tanggal 8 Desember 1947 dan dikelola oleh Yayasan Makam Kehormatan Belanda (OGS). Bersama Ereveld Ancol yang juga berada di Jakarta, Ereveld Menteng Pulo merupakan satu dari 7 Ereveld yang ada di Indonesia. 5 Ereveld lainnya tersebar di berbagai kota, seperti Ereveld Kembang Kuning (Surabaya), Ereveld Leuwigajah dan Ereveld Pandu (Bandung), Ereveld Kali Banteng dan Ereveld Candi (Semarang).

Menelusuri Ereveld Menteng Pulo, jejak Perang Dunia II di Ibu kota

Keterangan foto: Jalan masuk menuju kompleks pemakaman yang asri dengan pohon-pohon di sisi kiri dan kanannya.

Berdasarkan informasi dari pemandu, meski bernama Makam Kehormatan Belanda, namun Ereveld Menteng Pulo ini sebenarnya adalah makam untuk semua korban dari Masa Perang Dunia II. Berdasarkan informasi yang terdapat pada papan informasi di depan pintu gerbang, Ereveld Menteng Pulo merupakan makam lebih dari 4.000 korban perang (orang Belanda dan Indonesia) yang gugur selama Perang Dunia II dalam pertempuran melawan Tentara Jepang (1941-1945) dan selama masa revolusi setelah Perang Dunia II (1945-1949).

Menelusuri Ereveld Menteng Pulo, jejak Perang Dunia II di Ibu kota

Keterangan foto:Kompleks Pemakaman Ereveld Menteng Pulo dilihat dari balkon Gereja Simultaan.

Meskipun yang dimakamkan di tempat ini banyak yang berdinas di militer, namun sebagian besar yang dimakamkan di tempat ini adalah pihak sipil korban dari peperangan tersebut, seperti korban-korban yang meninggal di kamp konsentrasi Jepang semasa Perang Dunia II.

Kebanyakan dari kita akan mempunyai kesan dengan suasana agak "menyeramkan" bila mendengar kata makam, namun tidak seperti gambaran kebanyakan pemakaman pada umumnya, Taman Pemakaman Ereveld Menteng Pulo ini tertata rapi dan asri layaknya sebuah taman.

Menelusuri Ereveld Menteng Pulo, jejak Perang Dunia II di Ibu kota

Keterangan foto: Deretan nisan yang tertata sangat rapi dengan latar belakang gedung-gedung pencakar langit Kota Jakarta

Siapapun yang pernah berkunjung kesana pasti akan terkesan dengan keasrian dan kerapiannya. Tidak jauh dari pintu gerbang, akan terlihat deretan nisan yang tertata sangat rapi yang jika dilihat dari kejauhan akan begitu kontras dengan kemegahan gedung-gedung pencakar langit kota Jakarta di kejauhan.

Ada beberapa bentuk nisan di tempat ini yang menggambarkan berbagai macam keyakinan mereka yang dimakamkan di tempat ini. Nisan berbentuk Salib untuk mereka yang memiliki agama Kristen atau Katolik, juga ada bentuk-bentuk nisan lain untuk mereka yang beragama Muslim, Budha, Yahudi, dan ada juga bentuk nisan untuk menjelaskan makam massal di satu tempat.

Menelusuri Ereveld Menteng Pulo, jejak Perang Dunia II di Ibu kota

Keterangan foto: Bentuk-bentuk tanda makam yang ada di Ereveld Menteng Pulo

Ada beberapa hal yang harus ditaati ketika berada di Kompleks Makam kehormatan ini. Di antaranya seperti bila berjalan di kompleks pemakaman, berjalanlah dari sisi kaki makam. Untuk foto, agar nama yang tertera di nisan diblurkan atau mengambil foto dari sisi belakang nisan dan yang terpenting dari semua itu kita wajib menjaga sopan santun di tempat ini.

Bangunan Gereja Simultaan dan Columbarium di Ereveld Menteng Pulo.

Menurut informasi dari pemandu, ada dua bangunan utama yang menjadi ciri khas di Ereveld Menteng Pulo ini. Yang pertama adalah Gereja Simultaan. Meskipun namanya adalah Gereja namun bangunan ini tidak difungsikan untuk kegiatan peribadatan seperti gereja pada umumnya tetapi digunakan untuk upacara-upacara peringatan ataupun kegiatan-kegiatan kedutaan.

Menelusuri Ereveld Menteng Pulo, jejak Perang Dunia II di Ibu kota

Keterangan foto: Bangunan Gereja Simultaan di Ereveld Menteng Pulo.

Pada hari Sabtu, 4 Mei 2019 yang lalu, di tempat ini diadakan acara untuk mengenang korban perang. Acara dipimpin oleh Direktur Yayasan Makam Kehormatan Belanda (OGS) di Indonesia, Robbert van de Rijdt dan dihadari oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia beserta tamu undangan. Acara dimulai di Gereja Simultaan dan ditutup dengan seremonial peletakkan karangan bunga di kompleks pemakaman. Semua prosesi seremonial dilakukan dalam bahasa Belanda.

Di Gereja Simultaan ini terdapat simbol dari berbagai agama dan ada satu hal yang unik di dalam gereja ini. Di bagian dalam gereja terdapat salib kayu memorial yang dibuat dari bantalan rel kereta api Burma, sebagai penghormatan bagi mereka yang tewas selagi menjalani kerja paksa oleh Jepang untuk membuat jalur kereta api di Burma (Myanmar saat ini). Menurut sumber sejarah, ribuan orang dan tawanan yang terdiri dari berbagai macam bangsa, seperti Asia, Inggris, Amerika, Australia, Belanda, Kanada tewas dalam kerja paksa pembuatan jalur kereta api ini.

Menelusuri Ereveld Menteng Pulo, jejak Perang Dunia II di Ibu kota

Keterangan foto: Salib Memorial di bagian dalam gereja Simultaan, sebagai penghormatan bagi mereka yang tewas selagi menjalani kerja paksa oleh Jepang untuk membuat jalur kereta api di Burma.

Ciri khas bangunan yang kedua adalah Columbarium. Di tempat yang memiliki kolam besar di bagian tengahnya ini tersimpan ratusan guci abu militer Belanda yang gugur sebagai tawanan perang di kamp kerja paksa Jepang selama perang Dunia II. Di tempat ini juga terdapat berbagai simbol dari berbagai agama sebagai gambaran berbagai macam keyakinan yang dipeluk oleh mereka yang disemayamkan di tempat ini.

Menelusuri Ereveld Menteng Pulo, jejak Perang Dunia II di Ibu kota

Keterangan foto: Columbarium: Tempat penyimpanan ratusan guci abu militer Belanda yang gugur sebagai tawanan perang di kamp kerja paksa Jepang selama Perang Dunia II

Menelusuri tempat ini dalam keheningan akan menyadarkan kita akan kisah nestapa dari sebuah kekerasan dan peperangan. Mengapa sebuah peperangan harus dicegah baik untuk saat ini dan di masa yang akan datang tampaknya akan jelas terjawab bahwa kemanusiaanlah yang akan menjadi korban dari kejamnya sebuah peperangan. Bunga teratai yang menghiasi permukaan kolam menambah keasrian dan kesejukan tempat ini.

Ereveld Menteng Pulo ini terbagi atas beberapa kompleks pemakaman, seluruh kompleksnya ditata dengan sangat rapi dan asri, baik tumbuhannya maupun rerumputannya yang akan membuat kita merasa nyaman untuk mengeksplore tempat ini.

Menelusuri Ereveld Menteng Pulo, jejak Perang Dunia II di Ibu kota

Keterangan foto: Salah satu sisi Ereveld dengan jalur jalannya yang rapi

Ada bangunan besar beratap dan teduh di tengah-tengah kompleks yang dilengkapi tempat duduk untuk sejenak melepas lelah. Di salah satu sudutnya terdapat juga kompleks pemakaman bernama Jakarta War Cemetery. Tempat ini merupakan pemakaman untuk pasukan militer Inggris beserta pasukan negara persemakmurannya.

Dua Jenderal ternama dimakamkan di Menteng Pulo.

Di antara ratusan atau bahkan ribuan nisan-nisan di Ereveld dan Jakarta War Cemetery ini, terdapat dua makam Jenderal ternama yang terekam dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Yang pertama adalah Jenderal Simon Hendrik Spoor, panglima KNIL. Nisan makamnya ada di salah satu sisi Ereveld, dia dikuburkan di tengah-tengah pasukannya. Sekilas mengenai Jenderal Spoor, dalam buku Doorstoot Naar Djokja-Pertikaian pemimpin Sipil-Militer karya Julius Pour (2010), dibeberkan bahwa pada tahun 1948 Jenderal Spoor telah menyusun strategi secara matang untuk menyerang Kota Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia waktu itu dengan tujuan untuk melemahkan Republik Indonesia dan melakukan propaganda kepada dunia bahwa tentara Indonesia sudah tidak ada.

Strategi yang dirancang oleh Jenderal Spoor mengacu pada pola serangan Jepang dan Jerman di awal Perang Dunia II. Tentara Belanda akan memulai serangan udaranya pada hari Minggu pagi tanpa lebih dahulu menyatakan perang persis seperti yang pernah dilakukan angkatan Perang Jepang ketika menyerbu Pangkalan Militer Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii.

Pada pagi hari tanggal 19 Desember 1948, Landasan Udara Maguwo dihujani bom dan roket oleh pesawat pembom dan pesawat tempur Belanda untuk melumpuhkan pertahanan di Maguwo. Pasukan pertahanan pangkalan Indonesia tetap memberikan perlawanan gigih meskipun tidak seimbang dari segi kekuatan. Dalam waktu singkat setelah pertahanan Maguwo dilumpuhkan 2 kompi pasukan payung baret merah KST (Korps Speciale Tropen) diterjunkan untuk menguasai Maguwo.

Tidak lama setelah pasukan baret merah KST menguasai pangkalan Maguwo, Jenderal Spoor membuat jembatan udara untuk memindahkan pasukan komando baret hijau KST (Korps Speciale Tropen) dari pangkalan Udara Kalibanteng Semarang menuju Maguwo yang diperkuat oleh sejumlah batalyon pasukan darat di Jawa Tengah yang bergerak melalui jalur darat untuk langsung menyerbu dan menguasai Kota Yogyakarta serta menawan pejabat-pejabat penting Republik Indonesia di sana. Dalam Sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia, peristiwa ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II.

Meskipun pejabat-pejabat penting Republik Indonesia berhasil ditawan Belanda, namun perhitungan Jenderal Spoor Meleset. Panglima Besar Jenderal Sudirman bersama komandan-komandan lapangan TNI berhasil menyusun strategi dan rencana Serangan Umum dari Markas gerilyanya sehingga hanya beberapa bulan setelah Agresi Militer Belanda II, pada tanggal 1 Maret 1949 pasukan TNI dengan dukungan segenap rakyat melakukan serangan besar-besaran terhadap posisi-posisi strategis pasukan Belanda di Yogyakarta. Peristiwa tersebut dikenal dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949.

Melalui Serangan Umum 1 Maret 1949 pasukan TNI berhasil menguasai Kota Yogyakarta selama 6 jam dan berhasil membuka mata dunia bahwa Negara Republik Indonesia dan pasukan TNI-nya masih ada sehingga memberikan posisi tawar yang kuat dan strategis untuk usaha-usaha diplomasi yang terus dilakukan hingga Kedaulatan Negara Republik Indonesia diakui secara utuh atas seluruh wilayah Nusantara. Jenderal Spoor meninggal karena serangan jantung tidak lama setelah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949.

Jenderal ternama kedua yang dimakamkan di Menteng Pulo ini adalah Jenderal Mallaby, Brigadir Jenderal Britania yang tewas dalam konflik di Surabaya. Jenderal Mallaby dimakamkan di kompleks Jakarta War Cemetery, yaitu kompleks pemakaman pasukan Inggris dan pasukan negara persemakmurannya. Kompleks ini sebenarnya berada satu lokasi dengan kompleks Ereveld Menteng Pulo dan bisa langsung diakses dengan pintu yang menghubungkan kompleks-kompleks pemakaman di sana.

Menelusuri Ereveld Menteng Pulo, jejak Perang Dunia II di Ibu kota

Keterangan foto:Kompleks Pemakaman Jakarta War Cemetery tempat dimakamkannya personel militer pasukan Inggris dan negara-negara persemakmurannya.

Menurut sumber sejarah, tewasnya Mallaby membuat murka pimpinan pasukan Sekutu di Surabaya dan membuat Sekutu mengultimatum pasukan dan pejuang Indonesia di Surabaya untuk menyerahkan semua senjata dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan ke atas, batas ultimatum adalah pagi hari tanggal 10 November 1945. Ultimatum tersebut tidak dihiraukan oleh pasukan dan rakyat Surabaya karena dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat Indonesia. Sekutu akhirnya menyerang Kota Surabaya dengan kekuatan yang sangat besar dengan mengerahkan kekuatan darat, laut, dan udara yang dimilikinya pada tanggal 10 November 1945. Serangan pihak Sekutu ini dihadapi secara gagah berani dan heroik oleh pasukan dan pejuang Indonesia. Sekutu menghadapi perlawanan yang sangat gigih dari para pejuang dan rakyat Indonesia di Surabaya. Peristiwa 10 November 1945 ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.

Tentu masih banyak hal yang terlewatkan dari tulisan ringan ini. Meskipun aktivitas wisata mengunjungi kompleks pemakaman bukanlah aktivitas wisata yang populer, namun ada hal penting yang bisa kita peroleh dari aktivitas ini. Dalam diam nisan-nisan tersebut seolah ingin berpesan kepada kita supaya jangan ada peperangan lagi. Semua yang ada pada nisan itu adalah korban sesungguhnya dari peperangan tanpa memandang apapun kepentingannya. Penting bagi generasi muda untuk mengetahui bahwa pernah ada sejarah buruk yang pernah terjadi di masa lalu dan kita semua sudah sepakat bahwa semua itu sudah selesai dan harus dijadikan pembelajaran sejarah untuk mengusahakan dan memastikan peperangan tersebut tidak akan pernah terulang lagi pada saat ini dan di masa yang akan datang.