Masa remaja merupakan masa yang rentan dalam konflik, hal ini bisa disebabkan oleh pencarian jati diri, pola perilaku, dan peran sosial. Perubahan yang terjadi pada remaja biasa disebut sebagai masa peralihan atau masa transisi. Ketika seseorang dituntut untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi pada masa remaja mereka, hal ini dapat meningkatkan stres dan menjadi tekanan jika tidak dapat beradaptasi dengan baik. Hal tersebut dapat berdampak pada emosi negatif dan dapat menyebabkan perilaku yang merugikan diri mereka sendiri.

Generasi Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1995 sampai 2010 yang tumbuh dan berkembang bersama dengan teknologi. Berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi Z dibesarkan pada era keresahan ekonomi dan nasional, dianggap lebih rapuh, dan kurang tangguh dari generasi sebelumnya. Beberapa hal yang dianggap dapat menjadi perhatian dari Generasi Z adalah paparan kekerasan di media, lebih banyak orang tua yang protektif,lebih enggan mengambil risiko, lebih mudah kewalahan dan menyerah, harapan yang tinggi untuk sukses, dan lebih mementingkan penampilan dan popularitas di media sosial.

Generasi Z mencapai masa puber pada saat teknologi dan media sosial menjadi sebuah kebutuhan dan mengubah perilaku masyarakat. Stres terhadap sekolah dan konflik dalam keluarga adalah faktor-faktor kecil yang tidak dapat mereka hindari, atau tidak ingin dihindari, atau tidak tahu bagaimana cara untuk menghindar dari masalah-masalah tersebut.

Kerawanan terjadinya self harm di kalangan Generasi Z

Siapa saja yang bisa melakukan self harm?

Menurut peneliti dari Uni Research di Bergen, Norwegia, menyatakan bahwa remaja dengan pola tidur yang buruk cenderung memiliki perilaku self injuryatau menyiksa diri sendiri. Faktor lainnya termasuk merokok, penggunaan narkoba, dan alkohol. Persentase usia remaja yang melakukan perilaku tersebut adalah sekitar 13-17 tahun (World Health Organization, 2017).

Masalah kesehatan mental diperkirakan memengaruhi anak-anak dan remaja sekitar 10-20% di seluruh dunia. Sekitar 6% perilaku self-harm adalah penyebab dari kematian yang terjadi pada populasi yang berusia 15-29 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus internasional,sebagian besar pelajar pernah melakukan perilaku self-harm.

Generasi Z juga secara signifikan melaporkan terkait kesehatan mental mereka bahwa telah merakukan perawatan dan terapi dari seorang profesional sebanyak 37% dari generasi sebelumnya, diikuti oleh Milenial sebanyak 25%, Generasi X 26%, lalu Baby Boomer 22%, dan diurutan terakhir sebanyak 15% dari orang yang lebih tua (APA, 2019).

Di Indonesia sendiri pada tahun 2012 menunjukkan bahwa perilaku self harm terdapat sekitar 3,6%, namun pada tahun 2015 meningkat menjadi 3,9% dari populasi yang berusia 13-17 tahun.

Kerawanan terjadinya self harm di kalangan Generasi Z

Mengapa mereka melakukan self harm?

Seseorang yang melakukan self harm sebagai bentuk ungkapan untuk menyalurkan emosi dan perasaan mereka, atau karena tekanan hidup yang menurut mereka terlalu berat.Pengalaman masa lalu juga bisa menjadi alasan mereka melakukan self harm. Contohnya, seseorang yang sejak kecil diejek karena sering menangis, dan orang-orang di sekitar lingkungannya berkata masa gitu aja nangis atau "dasar anak mami banget sih, karjaannya nangis mulu, tanpa disadari pengalaman seperti itu dapat membuat seseorang terbiasa untuk tidak mengungkapkan emosinya, dan memilih jalan untuk melukai dirinya sendiri sebagai luapan emosinya.

Remaja cenderung lebih terbuka terkait permasalahan mereka di media sosial daripada secara langsung. Ada jutaan hasil untuk tagar terkait self harm per tahun, tidak termasuk tagar yang disensor oleh aplikasi seperti Instagram. Hal ini menyimpulkan bahwa 60% dari remaja memiliki masalah self harm adalah perempuan, yang mereka kaitkan dengan fokus remaja perempuan adalah pada citra tubuh mereka, tuntutan untuk harus selalu terlihat menarik, cantik, dan langsing yang membuat mereka tertekan. Walaupun bertolak belakang dengan masalah citra tubuh yang mengarah pada perilaku merusak diri sendiri, bagi mereka itu adalah cerminan dari bagaimana perasaan mereka tentang diri mereka sendiri dan juga adalah sebagai sikap pemberontakan terhadap standar kecantikan konvensional tersebut.

Internet pun dapat menjadi alasan seseorang melakukan self harm.Seperti banyaknya video atau gambar seseorang yang melukai diri, hal tersebut bisa memicu orang lain untuk melakukannya juga karena rasa penasaran. Contoh nyata seorang remaja asal Belfast ketika melihat gambar (luka) di internet mendorong dia untuk melakukannya karena merasa hal tersebut adalah kompetisi.

Pola pikir juga dapat menjadi alasan mereka untuk melukai dirinya sendiri. Misalnya, sebagian orang melakukan self harm sebagai bentuk untuk menghukum dirinya sendiri karena merasa telah melakukan kesalahan dan sebagai bentuk untuk pengampunan mereka merasa pantas untuk menderita.

Beberapa orang yang melakukan self harmdidiagnosis mengalami gangguan mental dalam dirinya. Seperti depresi, kecemasan, skizofrenia, atau gangguan kepribadian lainnya. Survey yang dilakukan di Inggris menyatakan, orang yang memiliki gejala gangguan mental cenderung lebih banyak menyakiti dirinya.

Pengobatan untuk mereka yang membutuhkan.

Bisa dengan cara berkonsultasi dengan psikolog maupun psikiater, berikut layanan psikolog puskesmas di area DKI Jakarta.

Kerawanan terjadinya self harm di kalangan Generasi Z

Kementrian Kesehatan juga membuka nomor layanan gawat darurat 119 yang dapat digunakan untuk mencegah aksi bunuh diri. Selain itu juga bisa dimanfaatkan untuk mencegah ketika melihat aksi bunuh diri dan konselor swasta seperti pijarpsikologi.org/konsulgratis dan pulihcounseling@gmail.com dapat menjadi alternatif juga bagi mereka yang butuh untuk mencurahkan keluh kesah yang tidak bisa terbuka untuk menceritakan masalahnya kepada orang terdekat.