Manusia diciptakan sebagai makhluk individu yang merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, individu diwajibkan mampu berinteraksi dengan individu lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan. Dalam menjalin kehidupan sosial bermasyarakat, seorang individu juga akan berhadapan dengan suatu kelompok-kelompok yang berbeda. Salah satu perbedaan itu adalah kepercayaan agama yang dianut.

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang majemuk, ditandai dengan banyaknya etnis, suku, agama, bahasa, budaya, dan adat-istiadat. Untuk persoalan agama, negara Indonesia bukanlah sebuah negara teokrasi, melainkan secara konstitusional negara mewajibkan warganya untuk memeluk satu dari agama-agama yang diakui eksistensinya sebagaimana tercantum di dalam pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Negara memberi kebebasan kepada penduduk untuk memilih salah satu agama yang telah ada di Indonesia yaitu agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Kenyataan ini dengan sendirinya memaksa negara untuk terlibat dalam menata kehidupan beragama (Nisvilya, 2013).

Semua individu diharapkan dapat saling melindungi dan menghormati perbedaan antar umat beragama yang ada dalam masyarakat. Toleransi juga diperlukan dalam perbedaan antar umar beragama. Tanpa adanya toleransi tidak menutup kemungkinan akan terjadi permasalahan atau konflik yang dapat mengancam persatuan bangsa. Purwadarminta (Lubis:2012) menyatakan toleransi adalah sikap atau sifat menenggang berupa menghargai serta membolehkan suatu pendirian, pendapat, pandangan, kepercayaan maupun yang lainnya yang berbeda dengan pendirian sendiri (Patimah, 2015). Namun, dalam keberagaman yang ada di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dinamika kehidupan akan ada suatu gesekanyang terjadi antar kelompok masyarakat. Seperti kasus-kasus intoleransi agama yang menjadi sorotan di Indonesia yang terjadi pada tahun 2019.

Tahun 2019, Slamet Jumiarto, warga asli Semarang, sudah 19 tahun tinggal di Yogyakarta. Baru-baru ini ia yang sudah ber-KTP Yogyakarta mencari kontrakan di tempat yang menurutnya lebih nyaman. Tertarik oleh sebuah iklan, ia lantas mengontrak rumah di Dusun Karet, Pleret, Bantul, DIY. Pemilik rumah yang dikontrakkan itu adalah juga warga pendatang. Awalnya, demua tampak lancar. Sebelum pindah, Slamet sudah meminta konfirmasi dari pemilik rumah dan calo mengenai perbedaan agama yang dianut warga asli Dusun Karet. Dua pihak tersebut mengatakan tidak ada masalah.

Celakanya, saat menghadap ketua RT 8 untuk meminta izin dan menyerahkan dokumen, namun ketua RT menolak untuk memberi izin bagi keluarga Slamet. Alasannya dikarenakan agama Slamet dan keluarga tidak sama dengan agama warga Dusun Karet. Upaya Slamet memprotes perlakuan ketua RT kepada Kepala Dusun sia-sia dan ikut menolak. Alasannya, di Dusun Karet sudah ada aturan yang dibuat sejak tahun 2015 dan disepakati warga. Aturan itu juga memuat masalah jual beli tanah sampai kompensasi. Penduduk luar Dusun Karet yang membeli tanah tidak diperbolehkan yang beda agama dengan masyarakat Dusun Karet (Steven, 2019).

Kasus di atas hanya contoh kasus dari ratusan bahkan mungkin ribuan kasus intoleransi yang telah terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, sangat diharapkan untuk semua individu dituntut untuk toleran terhadap kelompok lain, termasuk kelompok berdasarkan agama. Jika masing-masing kelompok agama tidak toleran terhadap kelompok agama lain maka akan menimbulkan konflik sosial bahkan pertumpahan darah. Mengingat peran sentral toleransi dalam mewujudkan kehidupan beragama yang rukun dan damai, maka toleransi antar umat beragama perlu ditingkatkan. Oleh karena itu pemahaman tentang toleransi sangat diperlukan, terutama untuk memahami dan memecahkan konflik antar umat beragama di Indonesia (Bukhori, 2012).

Untuk mengurangi kasus intoleransi, teori pemecahan masalah atau problem solving dapat digunakan sebagai cara untuk memecahkan masalah atau menyelesaikan masalah dalam kasus Intoleransi di Indonesia. Polya (dalam Reed, 2000) mengemukakan problem solving berarti mencari jalan keluar dari sebuah kesulitan, suatu cara keluar dari rintangan, mencapai suatu tujuan yang tidak seketika dapat dimengerti. Problem solving juga merupakan aktivitas berpikir yang diarahkan untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang meliputi pembentukan respon dan seleksi atas berbagai kemungkinan respon (Solso, 1991).

Menurut Brans ford & Stein (dalam Suharnan, 2005) ada beberapa tahap dalam problem solving.

a. Identifikasi masalah

b. Mendefinisikan asalah

c. Perumusan strategi

d. Ekplorasi berbagai kemungkinan alternatif

e. Aksi atau tindakan

f. Lihat efek-efeknya

Berdasarkan tahapan-tahapan pemecahan masalah di atas, tahapan pertama dari proses pemecahan masalah yaitu mengidentifikasi masalah. Pada tahap ini masalah yang diidentifikasi yaitu masalah intoleransi di Indonesia, salah satunya yaitu memahami contoh-contoh kasus intoleransi yang sudah terjadi. Pada tahap kedua yaitu mendefinisikan masalah, dari beberapa contoh kasus intoleransi yang sudah diidentifikasi, temukan masalah pokok yang menjadi pemicu persoalan, misalnya penistaan agama. Dari masalah pokok yang sudah didefinisikan masuk ketahap ketiga yaitu perumusan strategi, rumuskan hal-hal yang menjadi pemicu munculnya masalah penistaan agama.

Selanjutnya, pada tahap keempat yaitu ekplorasi berbagai kemungkinan alternatif. Di tahap ini mulai dirumuskan strategi yang dapat dilakukan untuk menindaklanjuti masalah penistaan agama, seperti contoh menanamkan sikap saling menghargai dan menghormati sesama umat beragama dan menyikapi suatu perbedaan sebagai suatu hal indah. Tahap berikutnya yaitu aksi atau tindakan. Dari rumusan strategi yang telah disusun, tahapan berikutnya yaitu pelaksanaan atau aksinya, dalam hal ini dapat direalisasikan dalam bentuk sosialisasi, seminar ataupun sebatas kampanye di media sosial. Tahapan terakhir adalah evaluasi, apakah dari tahapan-tahapan yang sudah dilakukan berjalan sesuai rencana atau tidak.

Kesimpulan yang dapat diambil dari artikel ini adalah seperti yang kita ketahui Indonesia merupakan negara yang beragam, salah satunya yaitu beragam agamanya. Setelah sekian banyak kasus-kasus yang terjadi dan menjadi sorotan publik mengenai kasus intoleransi antar agama, individu yang menjadi negara Indonesia yang baik dan mengetahui tentang adanya Bhineka Tunggal Ika, juga harus bertoleransi atas segala agama yang ada di Indonesia. Bertoleransi dapat dilakukan melalui hal-hal kecil seperti menghargai tradisi dan acara agama lain, tidak merendahkan dan menjatuhkan agama lain,dan bentuk-bentuk toleransi lainnya.