Pada Jumat malam (24/5/2019), Gunung Agung kembali memuntahkan lava dan mengeluarkan abu vulkaniknya. Akibatnya, semua penerbangan masuk dan keluar Bali harus dibatalkan demi kemanan bersama.

Melansir dari laman intisarigrid.com (25/5/2019), lava menyembur dari kawah dan menuruni lereng sejauh 3 km. Letusan berlangsung sekitar 4 menit dan 30 detik.

Letusan Gunung Agung yang terjadi pada Jumat (34/5) malam merupakan letusan ketiga untuk bulan Mei ini, setelah sebelumnya terjadi pada 12 dan 18 Mei. Kendati demikian, menurut Direktorat Jendral Perhubungan Udara, bahwa tidak ada evakuasi segera karena desa-desa di sekitar Gunung Agung masih dalam zona aman.

Ini kata NASA soal letusan Gunung Agung bisa bermanfaat bagi manusia

Jika terjadi letusan gunung berapi, tentu saja semua pihak akan bersedih karena bencana itu. Lain halnya dengan NASA. NASA justru sangat berbahagia karena dengan meletusnya Gunung Agung, maka peneliti dapat mempelajari lebih dalam mengenai bahan kimia yang dilepaskan ke atmosfis oleh gunung untuk melawan perubahan iklim dunia.

Diketahui sebelumnya bahwa Gunung Agung terbangun dari tidur panjangnya pada tahun 2017 setelah lebih dari setengah abad tertidur. Letusan Gunung Agung sebelum tidur panjangnya terjadi pada tahun 1963.

Setelah terbangun dari tidurnya, Gunung Agung secara konsisten mulai dari bulan November tahun lali menuangkan uap dan gas ke atmosfer bumi. Fenomena ini memang cukup khas meskipun di beberapa gunung begitu kuat sehingga menyebabkan apa yang dikenal dengan musim dingin vulkanik.

Letusan serupa beberapa ratus tahun yang lalu.

Ini kata NASA soal letusan Gunung Agung bisa bermanfaat bagi manusia

Melansir dari laman tribunnews.com (28/5/2019), letusan dahsyat gunung di Indonesia pada tahun 1815 yang menyebabkan musim dingin vulkanik paling mengerikan yang tercatat daam sejarah umat manusia adalah letusan Gunung Tambora. Letusan ini menyebabkan tahun tanpa musim panas, bahkan memengaruhi iklim di bumi dalam skala global.

Melihat efek perubahan iklim global yang disebakan letusan Gunung Tambora, bagi para peneliti, letusan Gunung Agung dalam skala yang jauh lebih kecil dengan letusan Gunung Tambora tahun 1815 akan membuka wawasan manusia tentang cara gunung mendinginkan suhu bumi yang kelak akan menyelamatkan seluruh umat manusia dari ancaman pemanasan global.

Itulah sebabnya NASA berharap bisa mengirim balon udara yang dilengkapi dengan perangkat ke Gunung Agung guna mempelajari dampak-dampak letusan gunung berapi terhadap iklim dunia secara mendalam.

Jika letusan Gunung Agung bisa sebesar letusannya tahun 1963, ia bisa memuntahkan cukup banyak belerang dioksida ke atmosfer untuk menghasilkan efek pendinginan yang signifikan meski pada awalnya akan merusak lapisan ozon.

Tetapi masalahnya adalah para peneliti tidak tahu persis kapan Gunung Agung akan meletus hebat seperti pada tahun 1963 atau bahkan lebih dahsyat dari itu.