Kita hidup di dunia yang serba digital bersama semua peralatan listrik dan elektronik. Mulai dari smartphone yang selalu kita bawa, tablet, atau laptop yang kita gunakan untuk belajar atau bekerja, televisi yang kita jadikan hiburan sekeluarga, hingga berbagai peralatan lain yang memudahkan aktivitas rumah tangga seperti mesin cuci, kulkas, hingga microwave. Namun, sudah sadarkah kita bahwa dengan peningkatan penggunaan peralatan listrik dan elektronik juga meningkatkan e-waste?

Peningkatan e-waste juga memiliki konsekuensi buruk bagi kehidupan. Yuk, simak fakta e-waste berikut ini.

E-waste lebih dikenal sebagai limbah elektronik.

E-waste, sampah elektronik yang belum menjadi perhatian

E-waste disebut juga limbah elektronik merupakan segala peralatan listrik dan elektronik yang sudah tidak memiliki nilai lagi bagi penggunanya atau sudah tidak memenuhi tujuan semula penggunaannya.

E-waste terutama dihasilkan negara maju.

E-waste, sampah elektronik yang belum menjadi perhatian

Menurut Global E-waste Monitor, pada tahun 2016 terdapat 44,7 juta metrik ton limbah listrik dan elektronik dihasilkan di seluruh dunia dan hanya sekitar 20% atau skitar 8,9 juta metrik ton yang didaur ulang. Diperkirakan jumlah e-waste sendiri akan terus meningkat menjadi 52,2 juta metrik ton pada tahun 2021 atau terdapat peningkatan 8% setiap tahunnya.

E-waste sebagian dihasilkan oleh negara-negara maju seperti Cina, Amerika, Jepang, hingga Jerman sehubungan dengan tingginya penggunaan barang listrik dan elektronik dalam kehidupan masyarakatnya. Masih menurut Global E-waste Monitor tahun 2017, Cina menjadi negara dengan penghasil sampah elektronik terbanyak dengan total 7,2 juta metrik ton, sedangkan Indonesia menghasilkan 1,3 juta metrik ton.

Negara berkembang lebih terdampak e-waste.

E-waste, sampah elektronik yang belum menjadi perhatian

Menurut Global E-waste Monitor sebagian e-waste (80%) kemungkinan dibuang ataupun diperdagangkan dan didaur ulang. Meskipun sulit mengetahui dengan tepat di mana semua e-waste tersebut dibuang, namun diduga ribuan ton e-waste dikirim ke negara-negara berkembang di Afrika dan Asia setiap tahunnya. Negara-negara berkembang dianggap lebih menguntungkan bagi aktivitas ini karena memiliki peraturan lingkungan yang tidak begitu ketat serta biaya pembuangan limbah yang cenderung lebih murah.

Meskipun aktivitas daur ulang ini dapat menciptakan lapangan pekerjaan, namun hal ini tidak dibarengi dengan keselamatan kerja yang layak. Banyak pekerja yang tidak menggunakan peralatan keselamatan seperti sarung tangan, masker wajah, kipas ventilasi, serta tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang pengelolaan e-waste yang sesuai standar keselamatan.

Selain itu e-waste yang dibuang ataupun didaur ulang juga memengaruhi kondisi lingkungan negara-negara berkembang tersebut. Ketika e-waste dipanaskan ataupun dibakar, bahan kimia beracun dilepaskan ke udara dan merusak atmosfer. Namun di lain sisi jika e-waste dibuang ke tempat pembuangan sampah akan mencemari tanah atau senyawa yang berbahaya akan merembes ke air tanah dan menyebabkan air tidak layak untuk dikonsumsi manusia atau untuk keperluan pertanian. Sedih, ya.

Kesehatan juga terdampak.

E-waste, sampah elektronik yang belum menjadi perhatian

Selain masalah pekerja dan lingkungan, e-waste juga sangat memengaruhi tingkat kesehatan penduduk. Risiko masalah kesehatan berhubungan dengan e-waste dapat diakibatkan dari kontak langsung, menghirup senyawa beracun, hingga akumulasi senyawa beracun dari tanah, air, maupun makanan. Seperti diketahui sebagian produk elektronik mengandung bahan beracun seperti timbal, timah, seng, nikel, barium, kronium atau bifenil poliklorin (PCB).

Beberapa penelitian telah menunjukkan paparan senyawa beracun e-waste berdampak serius pada kesehatan. Sebagai contoh timbal dalam jangka panjang akan merusak sistem saraf pusat dan perifer serta ginjal, paparan merkuri akan merusak ssistem saraf hingga menyebakan cacat bawaan, sedangkan paparan akut kadmium dapat merusak ginjal dan hati serta menyebabkan keropos tulang.

Apa yang dapat kita lakukan?

E-waste, sampah elektronik yang belum menjadi perhatian

Selayaknya limbah, tindakan kecil namun berdampak besar yang dapat kita lakukan adalah melakukan reduce, reuse dan recyle. Kita perlu lebih bijak saat akan membeli dan menggunakan produk listrik dan elektronik, menyumbangkan atau menjual produk listrik dan elektronik yang masih dapat digunakan namun sudah tidak kita butuhkan, hingga melakukan daur ulang produk-produk yang sudah tidak dapat diperbaiki. Jika memang benar-benar akan menghasilkan produk e-waste perlu diingat untuk tidak dibuang di tempat sampah biasa karena pengelolaannya tidak dapat sembarangan. Buang produk tersebut di dropbox khusus e-waste yang terdapat di beberapa titik di Indonesia.

Semoga setelah membaca artikel ini kita dapat lebih bijak menggunakan produk listrik dan elektronik mengingat dampak e-waste yang begitu serius bagi kehidupan makhluk hidup.