Setiap orang yang dilahirkan ke dunia menginginkan bentuk fisik yang lengkap dan sempurna. Namun banyak di antara kita yang terlahir dengan kekurangan pada bentuk fisiknya. Mereka tergolong kelompok individu yang memiliki kebutuhan khusus (individu with special needs) atau biasa disebut dengan disabilitas karena ketidak sempurnaan kondisi fisik yang dimiliki. Akan tetapi, kondisi yang mereka miliki tidak menghambatnya untuk menunjukkan bahwa mereka mampu menjadi atlet yang berprestasi, baik di level nasional maupun internasional walaupun dalam keadaan disabilitas.

Asian Para Games merupakan ajang olahraga untuk atlet disabilitas yang diadakan empat tahun sekali. Ajang ini mempertemukan 42 negara Asia anggota Asian Paralympic Committee yang akan bertanding dalam 18 cabang olahraga. Pada pelaksanaannya tahun ini, tercatat ada 2.800 atlet dan 1.200 official yang akan ambil bagian dalam ajang olahraga empat tahunan tersebut. Cikal bakal pelaksanaan Asian Para Games berawal dari Far East and South Pacific Games for the Disabled atau FESPIC Games, sebuah ajang olahraga bagi atlet difabel yang pertama kali digelar di Oita, Jepang pada 1975. Tujuan awal diselenggarakannya FESPIC Games adalah meningkatkan kesejahteraan serta mempererat persahabatan para penyandang disabilitas melalui partisipasi dalam ajang olahraga bertaraf internasional. Indonesia pun tercatat dalam buku sejarah karena pernah menjadi tuan rumah FESPIC Games IV pada 1986 (Permana & Uyun, 2019).

Seligman (Mahendra & Lestari, 2018) mengartikan optimisme sebagai suatu keyakinan bahwa peristiwa buruk hanya bersifat sementara, tidak sepenuhnya memengaruhi semua aktivitas, dan tidak sepenuhnya disebabkan kecerobohan diri sendiri tetapi bisa karena situasi, nasib, atau orang lain. Ketika mengalami peristiwa yang menyenangkan, individu yang optimis akan yakin bahwa hal tersebut akan berlangsung lama, memengaruhi semua aktivitas dan disebabkan oleh diri sendiri. Seseorang yang optimis akan memandang kegagalan sebagai proses pengembangan diri yang akan berakibat baik di masa depan dan memandang pengalaman baik sebagai sesuatu yang pantas untuk didapatkan.

Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan terhadap optimisme, disimpulkan bahwa optimisme sangat membantu individu dalam berbagai bidang. Optimisme akan lebih cepat menerima kenyataan akan kondisi yang dihadapinya sekarang dibandingkan dengan individu yang pesimis (Carver & Scheier dalam Tita, 2016). Optimisme berkaitan dengan kondisi kesehatan yang lebih baik. Individu dengan optimis yang rendah lebih membutuhkan psikoterapi dibandingkan dengan individu dengan optimis yang tinggi (Karlsson dalam Tita, 2016). Ketika individu memiliki ekspektasi, maka individu akan mampu mengatasi kesulitan yang dihadapinya dan mencari penyelesaian dari masalah tersebut meskipun sulit (Carver & Scheier dalam Tita, 2016). Individu yang memiliki kepercayaan tentang masa depan akan terus mengeluarkan usaha walaupun menghadapi masa sulit, sedangkan individu yang ragu akan berhenti mengeluarkan usahanya. Ketika menghadapi kondisi yang sulit, akan muncul perasaan sedih, cemas, dan stres.

Optimisme adalah salah satu komponen psikologi positif yang dihubungkan dengan emosi positif dan perilaku positif yang menimbulkan kesehatan, hidup yang bebas stres, hubungan sosial dan fungsi sosial yang baik (Daraei & Ghaderi dalam Rahmawati, 2016). Terdapat dua pandangan utama mengenai optimisme, the explanatory style dan the dispositional optimism view, yang juga disebut sebagai the direct belief view (Caver dalam Rahmawati, 2016).

1. Explanatory Style.

Explanatory Style merupakan pandangan yang melihat bahwa dalam menentukan kepercayaan seseorang, ditentukan berdasarkan pengalaman masa lampau. Pandangan ini didasarkan pada person's attributional style (Scheier dkk, 2000). Attributional style dibentuk oleh cara kita mempersepsikan, menjelaskan pengalaman masa lampau.

2. Dispositional Optimism or Direct Belief Model.

Konstruk ini berusaha untuk mempelajari optimisme melalui kepercayaan langsung individu mengenai kejadian masa depan. Pendekatan ini lebih fokus pada kepercayaan optimistik mengenai masa depan, dibanding dengan attributional theory yang berusaha memahami mengapa individu optimis atau pesimis dan bagaimana mereka bisa menjadi seperti itu.

Para penyandang disabilitas memerlukan optimisme untuk bangkit dari keterpurukan yang dialami sehingga menjadi atlet yang berprestasi. Proses penerimaan diri menjadi hal yang sangat penting sehingga individu menyadari dan menghargai kekurangan yang dimiliki. Ketika individu telah memahami dirinya maka hanya akan muncul pikiran-pikiran positif sehingga individu lebih bersyukur terhadap keadaan yang dialami sehingga mampu bangkit dan yakin akan masa depan yang lebih baik lagi (Permana & Uyun, 2019).