Dangdut bermula berakar pada musik melayu sejak akhir abad ke-19 yang dimainkan di Daerah Deli, Sumatera Utara. Para musisi dangdut kala itu merupakan pemain orkes keliling yang melawat dari wilayah Melayu (Malaysia) ke Pulau Jawa. Kemudian pada perkembangannya, musik Melayu melebar dan bercampur dengan berbagai jenis musik lain seperti India, Tionghoa, Arab dan Eropa.

Pada tahun 1930-an, industri musik Melayu kemudian memasarkan karyanya secara luas di kawasan Sumatera dan Malaya yang merupakan pasar tunggal musik Melayu untuk sebagian label rekaman piringan hitam. Radio mengambil peran yang penting dalam penyebarluasan rekaman musik kala itu yang didominasi oleh tiga jenis orkes utama yaitu Orkes Harmonium, Orkes Gambus dan Orkes Melayu.

Pada rezim Presiden Soekarno, budaya komersil Amerika dan Eropa diboikot. Meski menutup jalur bagi budaya Amerika dan Eropa, Presiden Soekarno tetap membuka pintu masuk bagi musik dan film India pada tahun 1950-an sampai pertengahan 1960-an. Sehingga hal ini turut mempengaruhi musik Melayu dan meletakkan landasan untuk musik dangdut.

Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, lagu-lagu India terjemahan yang dimainkan oleh orkes-orkes saat itu secara perlahan melebur dengan musik India, Timur Tengah dan Amerika. Bahkan salah satu orkes saat itu yaitu Orkes Melayu Purnama (OM. Purnama) mempelopori perubahan alat dan instrumen gendang yang terinspirasi dari gendang India yang kemudian disebut sebagai gendang dangdut.

Pergantian kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Soeharto turut mempengaruhi realitas politik, sosial dan ekonomi yang membuka ekspansi industri musik ke Indonesia. Teknologi elektronik yang baru diperkenalkan seperti rekaman kaset yang secara cepat menyebar ke pelosok-pelosok.

Akhir tahun 1960-an adalah catatan penting transformasi musik Melayu ke Dangdut. Seorang penyanyi pop melayu dan Indonesia kala itu yakni Oma Irama yang belakangan dikenal sebagai Rhoma Irama masuk dalam dapur rekaman bersama grup Orkes Melayu Candraleka yang kemudian menyanyi lagu duet bersama OM. Purnama dan Elvy Sukaesih.

Rhoma Irama menduduki tempat sentral dalam sejarah perkembangan musik dangdut. Ia menciptakan hampir 1000 lagu dan membintangi 27 judul film. Rhoma Irama menjadi kekuatan dominan dalam musik dan budaya populer Indonesia sejak 1970-an. Dia kemudian melakukan revolusi musik dari Orkes Melayu ke Dangdut. Segala aspek diubah, penampilan diubah menjadi atraktif. Sound system yang hanya puluhan watt diubah menjadi puluhan ribu watt. Pencahayaan panggung diubah sejajar dengan pentas kelas tinggi. Musik yang mendayu serta lirik yang pesimis diubah menjadi optimis.

Berdasarkan data penjualan kaset, dan jumlah penonton film-film yang dibintanginya, penggemar Rhoma tidak kurang dari 15 juta atau 10% penduduk Indonesia. Ini catatan sampai pertengahan 1984. Tak ada jenis kesenian mutakhir yang memiliki lingkup sedemikian luas.

Bahkan akhir April 1994, Rhoma menandatangani MoU dengan Life Record di Tokyo. Sebanyak 200 buah judul lagunya direkam dalam bahasa Inggris dan Jepang untuk diedarkan di pasar Internasional dalam bentuk laser disc (LD) dan compact disc (CD).

Pada tahun 2014, Reform Institute mengadakan survei yang menunjukkan bahwa musik dangdut masih menjadi musik yang paling banyak disukai masyarakat yakni sebesar 38,36%. Sedangkan untuk kategori grup musik paling populer Rhoma Irama dan Soneta Grup berada di tempat teratas dengan 14,04%.

Ini menjadi angka yang fantastis. Dengan tingkat produktifitas, keindahan musik dan perpaduan lirik yang menciptakan suasana ke-Indonesia-an sebagai musik rakyat serta penggemar musik dangdut yang ramai tentunya juga menjadi daya tarik sebagai nilai industri yang menjanjikan bagi pencipta dan produser perusahaan rekaman untuk meningkatkan produksi di indutri musik sebagai penggerak ekonomi nasional. Data-data penjualan CD, VCD dan DVD Dangdut menunjukkan angka yang signifikan. Dari data di atas menunjukkan minat masyarakat untuk menikmati musik dangdut masih sangat tinggi.

Kemajuan teknologi mempermudah proses rekaman musik dan video, namun di sisi lain kemajuan teknologi semakin mempermudah orang untuk membajak sebuah produk rekaman. CD, VCD dan DVD merambah menggantikan kaset pita. Produk rekaman asli ataupun pentas di televisi direkam ulang ke dalam berbagai media penyimpanan seperti CD, VCD, DVD, flashdisk, hardisk maupun alat penyimpanan lainnya kemudian dijual bebas dan marak di pasaran. Industri musik pun hancur dihantam pembajakan. Disaat tingginya minat masyarakat untuk membeli dan memiliki produk rekaman Dangdut, terdapat oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab yang mencoba untuk membuat barang palsu atau membajak produk rekaman Dangdut palsu. Murahnya harga produk bajakan membuat masyarakat menengah kebawah sebagai konsumen utama musik dangdut beralih membeli hasil bajakan tersebut. Kaset, CD, VCD dan DVD asli tidak laku menumpuk di gudang perusahaan rekaman. Efeknya menjadikan pendapatan dari royalti pencipta lagu menjadi menurun.

Hal ini juga dialami oleh Rhoma Irama dan Soneta. Industri musik dan film yang semakin lesu juga membuat Rhoma mengurangi aktifitas membuat album rekaman. Semisal dengan kasus belakangan ini, setidaknya dalam kurun waktu 1990 sampai sekarang Rhoma hanya mengeluarkan beberapa album single yang hanya berisi satu atau dua lagu baru saja, sisanya diambil dari album-album lawas.

Kasus pembajakan tidak dapat dipandang sebelah mata. Industri musik sebagai salah satu pengembangan ekonomi nasional perlu mendapat perhatian penting. PembajakanDVD adalah kejahatan yang sangat terorganisir dan merugikan negara setiap bulannya hingga 5 triliun rupiah dari sektor pajak. Jika semua DVD bajakan dikenakan pajak, maka triliunan uang tersebut masuk ke kas negara. Tidak adanya keseriusan penegak hukum untuk mengantisipasi dan mencegah pembajakan ditambah adanya pembiaran serta kurangnya laporan masyarakat menjadi faktor suburnya bisnis pembajakan di Indonesia.

Sangat disayangkan juga, karena sebagai penggemar musik dangdut atau bahkan yang mengaku fans sekalipun justru cenderung membeli produk rekaman palsu atau yang dibajak. Mereka tidak menyadari bahwa produktifitas idola atau industri musik menjadi lesu dan kurang ramai di pasaran. Ditambah dengan penjual atau distributor barang hasil bajakan yang turut mencari nafkah dan menjadi agen penjualan barang ilegal tersebut.