Pada akhir tahun 2019 dunia digemparkan dengan munculnya sebuah jenis virus baru yang pertama kali ditemukan di kota Wuhan, provinsi Hubei, Cina, yaitu 2019-nCoV atau dikenal sebagai COVID-19 yang tergolong virus Corona jenis baru. Virus ini masih sejenis dengan virus MERS dan SARS.

COVID-19 bersifat zoonosis yang artinya jenis virus yang tidak ditemukan pada manusia, melainkan ditularkan hewan kepada manusia. Gejala yang ditimbulkan mirip dengan influenza yaitu diawali dengan batuk, pilek, demam dan gangguan pernapasan. Penyebarannya pun juga sangat cepat, sudah ada sekitar 114 negara yang terjangkit virus tersebut.

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) di negara China sendiri sudah 80.565 kasus yang positif, 3.015 kematian. Di luar China sudah terdapat 14.678 kasus positif (ada tambahan kasus baru sejumlah 2098) sehingga secara global sudah terdapat 95.333 kasus dan terus meningkat. WHO juga menetapkan COVID-19 sebagai pandemic, yaitu jenis virus baru yang persebarannya sangat cepat ke berbagai negara (mendunia) dalam waktu yang bersamaan (Widyaningrum, 2020).

Kini, virus mematikan tersebut turut menyebar di negara Indonesia. Pada hari Senin, 2 Maret 2020 Presiden Joko Widodo mengumumkan bahwa terdapat 2 WNI yang terinfeksi COVID - 19. Sejak saat itu kasus COVID-19 di Indonesia kian meningkat. Per tanggal 9 April 2020 terdapat 3.296 kasus positif, 252 kasus sembuh, dan 280 kasus meninggal dunia. Pemerintah turut mengupayakan berbagai cara guna pencegahan virus tersebut agar tidak semakin meluas, salah satunya dengan social distancing.

Social distancing merupakan pembatasan interaksi atau interaksi sosial jarak jauh. Upaya ini turut dilakukan selama kurang lebih 2 minggu sampai batas waktu yang belum ditentukan. Mengapa harus 2 minggu? Menurut dr. Reisa Broto Asmoro, masa penularan COVID-19 terjadi selama 2- 14 hari hingga gejala muncul, artinya orang akan tetap merasa baik-baik saja walaupun sedang terinfeksi virus apabila sebelum 14 hari. 14 hari digunakan untuk saling memantau diri sendiri dan memutus rantai penularan apabila selama 14 hari tidak ada kontak dengan orang lain. Oleh karena itu, upaya tersebut dilakukan oleh berbagai instansi, salah satunya instansi pendidikan seperti kampus dengan metode pembelajaran daring atau kuliah daring.

Pada era revolusi industri 4.0 yang sedang menuju revolusi industri 5.0, perkembangan teknologi dan informasi kian pesat yang sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek yang dilakukan juga terhadap perkembangan dunia pendidikan. Sudah sejak tahun 2014 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) bekerja sama dengan beberapa Perguruan Tinggi menawarkan metode daring yang disebut PDITT (Sailah, 2014).

Masih banyak orang yang lebih familiar dengan kata online daripada daring. Menurut KBBI, daring merupakan akronim dari 'dalam jaringan' yang artinya terhubung oleh jaringan internet. Kuliah daring merupakan kuliah dengan metode jarak jauh yang menggunakan jaringan internet. Dengan begitu, mahasiswa dan dosen tidak perlu datang ke kampus untuk bertemu langsung, dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja, menggunakan laptop ataupun smartphone.

Kuliah daring dapat dilakukan dengan berbagai aplikasi seperti aplikasi forum, chatting, dan aplikasi yang menghadirkan fitur video. Sejauh ini metode yang paling banyak digunakan saat ini oleh dosen adalah menggunakan Whatsapp Group, Google Classroom, dan Zoom Us. Biasanya pada aplikasi Whatsapp Group dan Google Classroom dosen mengirimkan materi-materi dan tugas. Terdapat juga fitur komentar jika ingin mengajukkan pertanyaan kepada dosen. Sedangkan pada aplikasi Zoom Us, mahasiswa dan dosen dapat saling bertatap muka melalui fitur video juga disediakan kolom chat apabila ingin mengajukkan pertanyaan.

Dalam metode pembelajaran daring, sebenarnya terdapat beberapa tahapan yang dapat dosen lakukan seperti proses pemilihan topik yang sesuai dengan materi, merencanakan aktivitas atau kegiatan yang dapat dilakukan terkait materi agar tidak membosankan karena melalui online, melakukan pengawasan kepada mahasiswa pada setiap proses yang dilakukan, memberi penilaian pada mahasiswa bahwa sudah sampai mana pencapaiannya. Pada intinya ketika proses penilaian harus dilakukan dengan valid, adil, objektif, menyeluruh, berkesinambungan (dilakukan secara terus menurus), terbuka dan bermakna (dengan memberi gambaran hasil pencapaian, keunggulan dan kelemaha serta minat dan bakat mahasiswa) serta merekomendasikan strategi belajar bagi mahasiswa kedepannya. Tentu hal tersebut menjadi pekerjaan tambahan bagi dosen untuk mengembangkan skill kreativitas dan inovasi.

Kebijakan ini sudah dilakukan oleh sebanyak 276 kampus yang tersebar di Indonesia dari Sabang hingga Merauke baik swasta maupun negeri. Hal ini tentu mengundang banyak pendapat dari berbagai mahasiswa dan juga dosen. Dengan diterapkan metode ini, kita sebagai mahasiswa dapat lebih memahami dan memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada, juga tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk pergi ke kampus, membuat waktu yang dimiliki menjadi lebih fleksibel dan mahasiswa menjadi lebih aktif serta antusias dalam mengikuti pembelajaran. Banyak mahasiswa yang masih malu dan ragu untuk bertanya kepada dosen saat pembelajaran dikelas dan menjadi lebih aktif saat metode daring.

Namun di Indonesia sendiri fasilitas akan memanfaatkan kemajuan teknologi belum merata seperti jaringan internet yang tidak disemua daerah mendapatkan jaringan yang baik, sehingga menyulitkan mahasiswa untuk memberlakukan metode daring tersebut. Selain jaringan yang kurang baik dan tidak merata, tidak semua mahasiswa juga memiliki wifi atau modem dan perlu untuk terus membeli kuota yang dinilai sangat boros, membutuhkan uang yang lumayan banyak sedangkan tidak semua mahasiswa sedang berada pada kondisi ekonomi yang baik.

Selain itu, di sisi lain terkadang juga menjadi kurang efektif yaitu materi kurang bisa ditangkap oleh otak karena sudah terbiasa dengan metode tatap muka yang mana kita mendapatkan penjelasan langsung oleh dosen akan materi tersebut. Melalui akun social media seperti Twitter juga banyak yang beranggapan bahwa dengan adanya metode daring, tugas menjadi lebih banyak dari biasanya. Kemudian dari sisi dosen juga perlu memutar otak untuk memikirkan cara bagaimana agar kuliah daring ini dapat dilakukan dengan metode yang efektif bagi mahasiswa.

Menurut hemat penulis, kuliah daring merupakan salah satu alternatif yang cukup solutif namun masih dirasa kurang efektif walaupun pembelajaran dapat tetap berjalan sekaligus mengurangi risiko terinfeksi COVID-19. Pihak universitas perlu turut membantu kelancaran kegiatan ini seperti memberi free kuota bagi mahasiswa yang tidak memiliki wifi di rumah atau kos, membantu memberi pengarahan kepada para dosen bagaimana menciptakan pembelajaran yang efektif dan inovatif kepada mahasiswa mengingat kuliah daring jarang dilakukan karena selalu menggunakan metode tatap muka. Kemudian agar para dosen pun tidak terlalu terpaku pada 3 aplikasi yang disebutkan di atas seperti lebih memanfaatkan website pada e-learning yang sudah ada dan membuka forum diskusi yang tidak terlalu formal sehingga lebih luwes mengajukan pertanyaan agar mahasiswa tidak merasa bosan dengan metode kuliah daring.