Sebagian besar siswa masih menganggap matematika sebagai bidang ilmu yang sulit dan menakutkan (Yoenanto dalam Anggreany, 2019). Anggapan tersebut dapat mengarah pada kecemasan terhadap pelajaran matematika. Jackson dan Leffingwell (dalam Anggreany, 2019) membuat klasifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kecemasan terhadap matematika berdasarkan kelasnya. Pada tingkat sekolah dasar, khususnya kelas 3 dan 4, faktor yang menyebabkan kecemasan terhadap matematika adalah sulitnya materi, perilaku yang buruk dari guru, dan mempersepsikan guru sebagai orang yang tidak sensitif dan tidak peduli. Karenanya, siswa dengan tingkat kecemasan lebih tinggi cenderung mendapat skor yang lebih rendah dibanding siswa dengan tingkat kecemasan yang lebih rendah (Sarason, Davidson, Lightall, Waite, & Ruebush dalam Anggreany, 2019).

Sejalan dengan hal tersebut, nyatanya kondisi pemahaman dan penguasaan matematika anak-anak sekolah di Indonesia pun sudah sampai tahap 'lampu merah' alias berada pada stadium 'gawat dan darurat' (Pradityo, 2019). Berdasarkan Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia atau Indonesian Nasional Assessment Program (AKSI/INAP) tahun 2016 dari Pusat Penilaian Pendidikan Balitbang Kemendikbud, data nasional menunjukkan 77,13 persen siswa SD yang kemampuan matematikanya sangat rendah. Hanya 20,58 persen sedang, dan hanya 2,29 memiliki kemampuan tinggi (Harususilo, 2019). Data hasil asesmen siswa AKSI tahun 2017 untuk siswa SMP kelas VIII di DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, hasil kompetensi literasi matematika hanya 27,51 dari skala 0-100 sehingga masuk dalam kategori sangat buruk. Selain itu, menurut laporan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS) oleh International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) dan Lynch School of Education di Boston College pada 2015, menempatkan Indonesia pada urutan ke-45 dari 50 negara yang dikaji (Pradityo, 2019).

Kenapa kemampuan matematika siswa rendah?

Melihat rendahnya kemampuan siswa dalam menguasai matematika dapat berkaitan dengan metode pengajaran yang diberikan oleh guru. Sering kali dalam pelajaran matematika, guru hanya mentransfer pengetahuan matematika kepada siswa dan tak diberikan ruang bagi siswa untuk berpikir dari mana konsep atau rumus tersebut didapat. Hal tersebut membuat siswa kurang terasah kemampuan penalarannya sehingga mereka kesulitan dalam menyelesaikan soal matematika (Mustofa, 2019).

Mirisnya, Program Research on Improving System of Education (RISE) 2018 mencatat, kemampuan siswa dalam memecahkan soal matematika hanya meningkat 10,5 persen dalam 12 tahun (Harususilo, 2019). Soal penyelesaian masalah matematika biasanya sudah kategori soal HOTS (higher order thinking skills) yang menuntut siswa berpikir tingkat tinggi. Mengaitkan konsep satu dengan yang lain serta berpikir dengan beberapa tahap atau berjenjang. Bagi siswa berkemampuan rendah, hal seperti ini sangat sulit dilakukan. Dibutuhkan pemilihan berbagai metode, strategi, pendekatan, serta teknik pembelajaran yang tepat (Mustofa, 2019).

Ada cara asyik belajar matematika, lho!

Pemilihan model pembelajaran yang dilakukan guru merupakan bagian penting untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sudah direncanakan. Agar dapat mengasah penalaran siswa, model pembelajaran kooperatif dapat menjadi alternatif lain yang tepat dalam pembelajaran di kelas. Model pembelajaran kooperatif menuntut siswa belajar dalam kelompok heterogen (Mustofa, 2019). Pembelajaran kooperatif terjadi ketika siswa bekerja dalam kelompok kecil untuk saling membantu belajar (Santrock, 2011). Selain dapat saling membantu belajar, siswa juga memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya. Keberhasilan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok (Suaidin, 2019).

Model pembelajaran Student Teams-Achievement Divisions bisa jadi pilihan.

Banyak model pembelajaran kooperatif yang dapat diterapkan oleh guru, salah satunya model pembelajaran kooperatif tipe Student Teams-Achievement Divisions (STAD). Menurut Alim (dalam Yanuar, Sukmawati, & Arifin, 2019) dengan pembelajaran STAD akan tercipta pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi belajar, dan kondisi belajar yang menyenangkan, maka siswa dapat saling bekerja sama dalam menguasai suatu konsep pembelajaran, sehingga pamahaman konsep matematis siswa dapat di tingkatkan. Putra (dalam Yanuar, Sukmawati, & Arifin, 2019) mengemukakan bahwa melalui pembelajaran STAD siswa didorong untuk melakukan tukar-menukar (sharing) informasi, pendapat, mendiskusikan permasalahan secara bersama, membandingkan jawaban teman, dan mengoreksi hal-hal yang kurang tepat sehingga dapat memahami suatu konsep dengan baik dan benar.

Mau tau cara belajarnya?

Model Student Teams Achievement Divisions (STAD) adalah salah satu tipe model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada prestasi tim yang diperoleh dari jumlah seluruh skor kemajuan individual setiap anggota tim. Adapun langkah-langkah pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe STAD yang diterapkan sesuai dengan langkah-langkah menurut Slavin (dalam Yanuar, Sukmawati, & Arifin, 2019) yaitu:

1. Pembentukan kelompok yang dilakukan sebelum pemberian materi. Dalam pembelajaran ini, peserta didik dibagi menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan empat atau lima peserta didik secara heterogen dalam hal kemampuan dan jenis kelamin.

2. Setelah kelompok telah terbentuk maka guru akan memberikan materi kepada seluruh siswa. Guru menjelaskan materi secara singkat dan kemudian peserta didik di dalam kelompok itu memastikan bahwa anggota kelompoknya telah memahami materi tersebut.

3. Setelah itu, guru akan memberikan kuis tentang materi yang telah diajarkan dan siswa mengerjakan kuis secara individu.

4. Selanjutnya, guru melihat skor kemajuan individual. Guru menghitung skor kemajuan siswa dengan melihat skor awal yang diperoleh dari kuis-kuis sebelumnya. Skor tersebut dibandingkan dengan skor awal peserta didik sehingga guru akan memberikan skor sesuai dengan skor peningkatan yang telah diperoleh peserta didik. Skor tersebut kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan nilai kelompok sehingga skor individu yang dihasilkan berkontribusi pada skor keseluruhan tim dan kelompok yang bisa mencapai kriteria skor tertentu akan mendapatkan penghargaan.

5. Terakhir, rekognisi tim. Tahap ini merupakan puncak dari pembelajaran STAD, dimana setiap kelompok menerima penghargaan atau reward berdasarkan skor yang memenuhi patokan nilai yang sudah ditentukan oleh guru.

Dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif tipe STAD ini siswa akan memperoleh pengetahuan melalui interaksi dengan siswa lain, sehingga pengetahuan yang diperoleh lebih bermakna. Pemberian nilai skor dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat membangkitkan motivasi siswa untuk berusaha lebih baik lagi sehingga hasil belajar yang diperoleh meningkat (Putra, 2019).

Ternyata pembelajaran kooperatif banyak manfaatnya lho!

Adapun beberapa manfaat pembelajaran kooperatif bagi siswa menurut Kagan (dalam Gora & Sunarto, 2010) yaitu; a) Dapat meningkatkan pencapaian dan kemahiran kognitif siswa, b) Dapat meningkatkan kemahiran sosial dan memperbaiki hubungan sosial, c) Dapat meningkatkan keterampilan kepemimpinan, d) Dapat meningkatkan kepercayaan diri. Selain itu, pembelajaran kooperatif juga memiliki aspek positif bagi siswa seperti adanya peningkatan motivasi belajar siswa, peningkatan saling ketergantungan dan interaksi dengan siswa lain (Santrock, 2011).

Eiits, tapi ada kekurangannya juga.

Meski begitu, pembelajaran kooperatif juga memiliki kelemahan seperti halnya terdapat beberapa siswa yang lebih suka bekerja sendiri; siswa berprestasi rendah dapat memperlambat progres siswa yang lebih berprestasi; adanya social loafing, dimana beberapa siswa mungkin melakukan kontibusi lebih banyak sementara siswa yang lain melakukan sedikit kontribusi, beberapa siswa mungkin menjadi teralihkan dari tugas kelompok karena mereka lebih senang bersosialisasi; dan banyak siswa tidak memiliki keterampilan yang diperlukan untuk berkolaborasi secara efektif dengan orang lain, terlibat dalam diskusi yang produktif, dan menjelaskan ide-ide mereka atau mengevaluasi ide-ide orang lain secara efektif (Santrock, 2011).

Dengan demikian, pembelajaran kooperatif dengan model Student Teams Achievement Divisions (STAD) menjadi alternatif lain dalam pembelajaran matematika. Model pembelajaran ini memiliki banyak manfaat. Namun, tidak terlepas pula adanya kelemahan dari pembelajaran ini sehingga guru yang menerapkan pembelajaran kooperatif di ruang kelas mereka harus memperhatikan kelemahan-kelemahan tersebut dan dapat berusaha untuk menguranginya.