Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setidaknya telah menerima 3811 aduan masyarakat terkait kasus dugaan korupsi sejak 1 Januari 2018 hingga 31 Agustus 2018. Dari 3.811 laporan tersebut, sebanyak 968 laporan telah selesai ditelaah.

Berdasarkan data statistik KPK pada 30 Juni 2018, KPK telah melakukan penanganan kasus korupsi dengan rincian penyelidikan 84 perkara, penyidikan 93 perkara, penuntutan 63 perkara, inkracht 55 perkara, dan eksekusi 54 perkara sepanjang 2018. Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang mengatakan dari tahun ke tahun semakin banyak laporan dari masyarakat tentang tindak pidana korupsi yang dilakukan penyelenggara atau pejabat negara. Meningkatnya operasi tangkap tangan (OTT) merupakan salah satunya bukti peran serta masyarakat.

Diketahui Presiden Jokowi meneken PP Nomor 43 Tahun 2018 dan telah diundangkan oleh Kementerian hukum dan HAM (Kemenkumham) tertanggal 18 September 2018. PP Nomor 43 Tahun 2018 itu telah masuk dalam lembaran negara RI tahun 2018 nomor 157. Dalam aturan tersebut terdapat premi Rp200 juta bagi pelapor kasus korupsi.

Saut menerangkan, terkait premi Rp200 juta untuk pelapor kasus korupsi tetap harus melewati penilaian oleh penegak hukum, termasuk KPK. Menurutnya, penegak hukum akan melakukan penilaian terhadap tingkat kebenaran laporan yang disampaikan oleh pelapor dalam upaya pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Penilaian itu dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari kerja terhitung sejak salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima oleh jaksa. Bahkan, dalam memberikan penilaian, penegak hukum mempertimbangkan peran aktif pelapor dalam mengungkap tindak pidana korupsi, kualitas data laporan atau alat bukti, dan risiko bagi pelapor.

Dampak yang ditimbulkan dengan adanya kenaikan tingkat korupsi di antaranya menghambat investasi, investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri ragu-ragu menanamkan modalnya di Indonesia. Sebab investasi yang terjadi di negara dengan tingkat korupsi tinggi memiliki tingkat risiko yang tinggi dalam kegagalan. Menurunnya tingkat investasi dan pertumbuhan ekonomi akan berdampak langsung pada penurunan kesempatan kerja. Akibatnya, jumlah pengangguran mengalami peningkatan. Jika masyarakat produktif menganggur, maka tingkat kemiskinan pun mengalami peningkatan.

Untuk mengatasi permasalahan tindakan korupsi, maka dikeluarkanlah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menurut Undang Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk tindak pidana korupsi adalah Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Di Indonesia terbentuk sebuah lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani masalah korupsi tersebut.

Dengan dituliskannya artikel ini diharapkan adanya kasadaran dari berbagai pihak dalam menangani kasus ini dengan tindakan yang tegas, terutama dari KPK. Pertama, dalam upaya perbaikan dalam pengadaan barang dan jasa di pemerintah agar lebih akuntabel dan transparan. Kedua, KPK membantu melakukan perbaikan masalah perizinan dengan tujuan mencegah pertemuan pihak pemohon dan pemberi izin yang berpotensi menimbulkan korupsi. Ketiga, dalam sistem penganggaran harus ada sistem e-planning dan e-budgeting. Hal itu untuk mencegah mark up yang biasa terjadi pada saat perencanaan anggaran. Dan yang keempat, yakni penguatan peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Tindakan-tindakan tersebut merupakan upaya untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Karena akibat yang ditimbulkan dari tindakan korupsi bukan hanya berdampak bagi perekonomian negara, akan tetapi juga berdampak bagi masyarakat.