Hingga detik ini persebaran berita bohong yang diringi oleh ujaran kebencian yang provokatif masih saja tersebar luas. Hal itu tentu disebabkan oleh pengaruh media sosial. Pasalnya, dalam ruang informasi, peran media sosial cukup signifikan dalam mendorong partisipasi publik. Dengan kata lain, media sosial telah mampu melakukan pelembagaan demokrasi partisipatoris dalam nalar publik. Hal itu disebabkan kekuatan media sosial tidak lagi berlaku one man one vote, tetapi satu orang dapat memiliki kekuatan setara puluhan, ratusan, hingga ribuan lebih orang. Inilah kelebihan yang dimiliki media sosial, efektif sebagai sarana pertukaran ide dan gagasan. Dengan cara kerja seperti multi-level marketing, efektivitas media sosial dapat menjadi kekuatan dan sarana komunikasi paling efektif dan efisien yang dapat digunakan setiap individu untuk saling memengaruhi.

Artinya, media sosial yang telah menjadi pilar keenam demokrasi dapat menjadi cerminan dari dunia nyata, sekaligus saluran atas isu-isu terkait persoalan publik. Tapi, jika kemudian pengunaan media sosial tidak ada batasan yang jelas perihal komentar pribadi, maka dikhawatirkan dapat menjurus pada ujaran kebencian, caci maki yang tanpa batas, pelecehan kepada pihak-pihak tertentu, hingga pada pelanggaran Hak Azazi Manusia (HAM) ringan dan berat. Dampaknya tentu dikhawatirkan bisa melahirkan konflik horizontal berbasis politik identitas.

Identifikasi tersebut setidaknya dapat memberikan gambaran bila tidak dibatasi maka ruang informasi seperti media sosial bukan lagi sebagai ruang partisipatoris tetapi menjadi ruang pembodohan bagi para warganet. Pasalnya, ego sektoral lebih mengemuka ketimbang fakta sebenarnya yang kemudian berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan dapat mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apalagi, jika ditelaah selama ini embrio konflik horizontal yang hadir di tengah masyarakat lebih bermula pada persoalan sepele dan ringan. Biasanya berawal dari saling cela antar pendukung di media sosial, efeknya dapat menggerakkan massa hingga memicu konflik.

Oleh sebab itu untuk meredam merebaknya ujaran kebencian di media sosial, salah satu alternatifnya adalah mendorong terciptanya pers kebangsaan. Dalam konteks ini pers kebangsaan tentulah tidak semata mengkampanyekan perihal keberagamaan dan nasionalisme. Tapi juga ujaran kebenaran di media sosial. Tujuanya adalah sebagai sarana untuk mengajak semua anak bangsa meninggalkan kebiasaan buruk menuju kebiasaan yang lebih baik. Meninggalkan beragam ujaran-ujaran kebencian menuju ujaran-ujaran kebenaran, hingga meninggalkan pesimisme menuju sebuah optimisme. Termasuk meninggalkan kegaduhan menuju persatuan dan kerukunan.

Sebab, melalui ujaran kebenaran, diharapkan dapat membangun komitmen bersama untuk mempromosikan perdamaian dan pencegahan ekstremisme serta kekerasan terutama dalam langgam digital. Apalagi saat ini banyak masyarakat yang lupa atas keragaman dan terkadang menyebabkan mereka merasa tidak sebangsa dan setanah air. Ditambah lagi, dalam tahun politik ini kita harus lebih berhati-hati dengan merebaknya intoleransi hingga ekstremisme.

Dengan berkaca pada kenyataan tersebut, maka ada beberapa langkah taktis dalam upaya membangun pers kebangsaan, di antaranya; Pertama, pemerintah harus giat mendorong agar pers bisa bersikap netral dan mengutamakan kepentingan publik. Dengan begitu konten berita yang ditampilkan bisa berimbang dan tidak menimbulkan kontroversial. Kedua, mengajak publik untuk bersikap cerdas dalam memilah-milih informasi terutama berita dalam jaringan. Akan lebih baik publik juga digiring untuk mencerna informasi dari media mainstream yang telah dipercaya.

Dengan begitu, publik tentunya tidak mudah terbuai dengan isu-negatif dan hoaks yang dihembuskan oleh para penyebar kebencian. Sikap tersebut diyakini dapat meminimalisir ancaman politik adu-domba serta sebaran ujaran provokatif yang jauh dari upaya pencerdasan publik. Pada akhirnya, bila kita telah bersepakat untuk menjaga masa depan demokrasi digital dengan cara-cara terpuji. Tidak ada cara lain selain mendorong agar semua pers yang ada di Indonesia bisa berwatak kebangsaan. Dengan demikian, kehadiran pers kebangsaan dapat menjadi salah satu sarana untuk membangun pelembagaan demokrasi yang lebih beradab, santun, dan tentunya menyenangkan. (*Twitter: @BamsBulaksumur)