Saat ini kita mengetahui semakin murah harga baju atau fashion di pasaran sehingga menjadi sebuah kebiasaan yaitu mudahnya membeli baju baru yang kemudian numpuk di lemari. Sering kali kita membeli baju yang sebenarnya mirip-mirip, kemudian bosan. Selanjutnya akan dikemanakan baju-baju tersebut?

Tanpa disadari kita telah menumpuk sampah tekstil di rumah. Munculnya banyak merek fast fashion (fashion cepat) dan semakin banyaknya industri fashion di Indonesia tanpa disadari sangat memengaruhi gaya berpakaian khususnya bagi para wanita, hal ini menjadikan perilaku konsumtif untuk selalu berbelanja fashion demi mengikuti tren gaya terbaru.

Zero waste tak hanya sebatas meminimalkan penggunaan kemasan plastik.

Gaya hidup minim sampah atau zero waste tidak hanya sebatas dalam meminimalisir penggunaan kemasan plastik saja. Masih banyak jenis sampah lain yang individu hasilkan setiap harinya. Sering kali kita terjebak pada anggapan "sampah itu plastik" dan lupa dengan sampah-sampah lain yang berpotensi untuk merusak Bumi.

Kini saatnya menyadari bahwa sampah yang kita hasilkan tidak hanya plastik, namun juga bisa berasal dari lemari kita sendiri. Faktanya, baju yang kita gunakan sehari-hari bisa menjadi limbah tekstil yang merusak Bumi apabila baju-baju tersebut menumpuk di lemari dan kemudian turun ke landfill (penimbunan sampah pada suatu lubang tanah).

Industrifashionmerupakan salah satu penyumbang sampah terbesar.

Industri fashion merupakan salah satu penyumbang sampah terbesar berupa limbah tekstil yang sangat berpengaruh terhadap lingkungan. Limbah tekstil masuk dalam rangking keempat terbesar penyumbang carbon emission (emisi karbon) di landfill. Lebih parahnya banyak negara seperti di Afrika dan Asia terpaksa membeli baju-baju second hand dari negara maju.

Dikutip dari BBC, enam tahun lalu terjadi kecelakaan terbesar dalam industri fashion, yaitu runtuhnya Rana Plaza di pinggiran Ibu kota Bangladesh, Dhaka. Yang mana merupakan pabrik dari 29 merek fast fashion dunia. Ada 1135 orang meninggal dunia dan 2438 orang terluka dalam peristiwa ini.

Fast fashion (fashion cepat) memang begitu menggiurkan karena dibanderol dengan harga yang murah dan koleksi cepat berganti. Hal ini menyebabkan para pembeli menjadi semakin konsumtif dan juga tidak ingin ketinggalan tren. Namun harga murah tersebut sering kali dibayar dengan risiko keselamatan para pekerja industri fast fashion. Limbah tekstil tidak hanya menjadi penyumbang keempat terbesar carbon emission ke landfill, namun juga berisiko pada keselamatan para pekerjanya.

Menurut data yang dikutip dari Fashion Industry Waste Statistic, pasar pakaian global bernilai 3 triliun dollar atau 3.000 miliar dan menyumbang 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dunia. Hampir 75% pasar mode terkonsentrasi di Eropa, Amerika Serikat, Cina, dan Jepang. Industri pakaian dan tekstil adalah pencemar terbesar kedua di dunia setelah minyak. Berita perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan, industri fashion menyumbang 10% persen dari emisi gas rumah kaca global karena rantai pasokannya yang panjang dan produksi yang intensif energi.

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa betapa bahaya limbah tekstil dan sampah fesyen yang menyumbang sampah tekstil berupa limbah tekstil, apalagi jika pabrik industri tekstil tidak memiliki pengolahan limbah, pabrik tersebut langsung membuang limbahnya ke sungai tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. Pembuangan limbah menyebabkan air sungai menjadi kotor dan tercemar sehingga akan memperburuk kondisi lingkungan dan setiap orang dapat terkena dampaknya.

Solusi menangani permasalahan limbah tekstil.

Ternyata secara tidak langsung setiap individu berkontribusi dalam sebuah masalah atau solusi. Jadi, bagian mana yang kita pilih? Membuat masalah atau solusi?

Berbicara tentang solusi, ada beberapa cara untuk menangani permasalahan limbah tekstil. Di antaranya yaitu dengan melakukan upcycle atau penambahan nilai barang dengan barang yang ada. Lalu apa bedanya dengan recycle?

Arti dari upcycle sendiri adalah menggunakan atau mengolah kembali barang yang tidak dipakai dengan cara memodifikasi lalu menambah nilai gunanya sehingga kualitasnya menjadi lebih baik dari barang sebelumnya. Sedangkan recycle adalah mengubah sebuah barang menjadi barang mentah namun kualitas barang yang dihasilkan menjadi sama atau malah berkurang.

Ada salah satu komunitas yang sudah melakukan upcycle terhadap limbah kain, yaitu Komunitas Kekno Klambimu di Surabaya. Komunitas ini melakukannya dengan sistem dropbox dengan proses penyaluran limbah kain dari masyarakat hingga kembali ke masyarakat sebagai produk yang ramah lingkungan.

Proses awalnya kain disumbangkan di dropbox, selanjutnya jenis kain dipilah dan dipisahkan kemudian kain diubah bentuknya lalu dijual kembali sebagai barang yang ramah lingkungan. Komunitas ini tidak hanya menerima limbah kain dari masyarakat sekitar Surabaya, tetapi juga menerima sumbangan-sumbangan baju dari berbagai kota.

Solusi kedua yaitu menerapkan hirarki dalam membeli pakaian: 1. Pakai baju yang sudah ada. 2. Pinjam 3. Tukar baju 4. Buat 5. Beli (opsi yang paling akhir). Terkait dengan tukar baju, saya setuju dan terinspirasi dengan sebuah kampanye tukar baju yang digagas oleh zerowaste.id untuk menambah kepedulian masyarakat dan memberikan solusi untuk meminimalisir sampah fesyen dan limbah tekstil di Indonesia. Juga sebagai langkah awal bagi zerowaste.id untuk mewujudkan toko #TukarBaju.

Adapun mekanisme dari event#TukarBaju ini yang pertama adalah kita membawa baju yang ingin ditukar. Kedua, tim zerowaste.id akan mengkurasi. Baju yang tidak lolos kurasi akan dikembalikan pada pemiliknya, sedangkan baju yang lolos kurasi akan digantung agar orang dapat menukarnya. Ketiga, kita akan mendapat token berdasarkan jumlah baju yang lolos kurasi. 1 token berarti 1 baju. Tukar yang dimaksud di sini bukan berarti tukar dalam jumlah yang sama. Ada kemungkinan kita menemukan kurang dari jumlah barang yang diberikan.

Kampanye ini sudah beberapa kali diselenggarakan di beberapa kota, salah satunya di kota Jogja. Saya merasa senang bisa mengikuti event ini. Event ini mengingatkan tentang sistem barter di mana manusia dulu saling tukar menukar untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa perantara uang. Ternyata kita bisa menerapkan sistem ini untuk salah satu kebutuhan yaitu fesyen sekaligus memberi manfaat bagi baju lama kita. Selain itu kita bisa punya baju baru tanpa harus membelinya. Kita juga menjadi bagian dari pengurangan limbah tekstil di dunia. Dengan bertukar baju kita bisa memperpanjang usia pakaian hingga 9 bulan dan mengurangi jejak emisi karbon hingga 30%.

Marilah kita bijak dalam memilih, membeli, dan menggunakan pakaian. Pikirkan tentang beforlife (sebelum pakaian itu dibuat) dan afterlife (akan berakhir di mana pakaian itu jika sudah tidak dipakai lagi). Sekiranya kita membeli sebutuhnya, memilih yang baik lalu menggunakan dalam jangka waktu lama. Marilah kita jadi salah satu bagian untuk mengurangi limbah kain karena perubahan besar bermula dari langkah-langkah kecil.