Berbicara tentang Bubat, tentu akan tertuju pada satu hal yaitu Perang Bubat yang masih erat kaitan dengan kisah Raja Majapahit, Hayam Wuruk dengan putri kerajaan Pajajaran, Diah Pitaloka. Bubat bukan tentang peristiwa berdarah saja, namun juga menyimpan banyak cerita, fakta, dan bahkan misteri yang hingga kini belum terpecahkan secara pasti. Berikut adalah fakta dan misteri tentang Bubat.

1. Lapangan luas yang digunakan oleh raja Majapahit melakukan perayaan.

Nama Bubat sudah tertulis dalam kitab Negarakertagama (1365) karya Mpu Prapanca dan disebut sebanyak tiga kali. Pada pupuh ke-87 dijelaskan mengenai gambaran tempat ini. Konon, tempat tersebut sering dikunjungi Raja Majapahit dan bahkan sering dilakukan perayaan di sana.

Lokasinya berada di utara ibu kota Majapahit dan terbentang luas, panjangnya setengahkrosa ke arah Timur sampai ke jalan raya dan setengahkrosake utara hingga terdapat tebing sungai. Setiap sisi dikelilingi oleh rumah para menteri kerajaan Majapahit. Sedangkan sisi baratnya adalah istana Kerajaan.

Berdasarkan gambaran tersebut, lapangan bubat tampak semacam alun-alun yang letaknya di tengah kota. Sifatnya strategis serta tidak jauh dengan istana maupun rumah para menteri kerajaan.

2. Merupakan bandar pelabuhan yang ramai di masa Majapahit.

Tome Pires mencatat bahwa pada sekitar abad ke-14 Bubat adalah bandar pelabuhan sungai yang cukup ramai, sebagaimana yang dijelaskan oleh De Graaf dan Pigeaud dalam bukunya Kerajaan Islam di Jawa. Letaknya jauh dari Surabaya dan masih berada di daerah pedalaman.

Diceritakan pula bahwa tempat tersebut cukup ramai dan banyak disinggahi oleh bangsa asing dan bahkan diperkiran terdapat perkampungan para pedagang asing, di antaranya adalah Cina. Dari gambaran di tersebut, bisa jadi bandar Bubat berada di sekitar sungai Brantas yang mengalir sepanjang Sidoarjo hingga Mojokerto kini.

3. 'Pate Bobat' adalah nama penguasa lokalnya.

Bubat digambarkan sebagai suatu wilayah yang masih berada di bawah kekuasaan Majapahit. Meskipun begitu tetap memiliki penguasa atau pemimpin lokal. Ia sering disebut sebagai "Pate Bobat" atau Yang Dipertuan di Bubat. Gelar tersebut diberikan oleh raja Majapahit bagi penguasa lokal sekitar sungai Brantas.

Konon, ia berasal dari kalangan muslim. Entah siapa sebenarnya Pate Bubat tersebut, namun menurut Tome Pires ia berasal dari Surabaya dan sering terlibat perlawanan terhadap Blambangan pada awal abad ke-16.

4. Lokasi terjadinya peristiwa berdarah antara Majapahit dengan Pajajaran Tahun 1357 Masehi.

Sebagaimana namanya, perang Bubat yaitu pertempuran antara kerajaan Pajajaran dengan Majapahit sekitar tahun 1357 Masehi. Peristiwa ini diceritakan dalam beberapa karya seperti Kidung Sunda, Kitab Pararaton.

Peristiwa berdarah tersebut terjadi era Hayam Wuruk. Hal itu ditengarahi oleh rencana pernikahannya dengan puteri Pajajaran, Pernikahan tersebut ternyata juga mengandung unsur politik, sehingga membuat Raja Linggabuwana enggan menyerahkan putrinya serta semua seserahan yang dibawanya.

Akhirnya timbul peperangan di lapangan Bubat dan memakan banyak korban jiwa. Raja Linggabuwana mati terbunuh, sedangkan Diah Pitaloka dan ibunya bunuh diri setelah mengetahui hal itu. Sedangkan dari pihak Majapahit juga kehilangan banyak pasukan, termasuk konon Patih Gajah Mada.

5. Perang Bubat, antara mitos dan fakta sejarah.

Ternyata peristiwa perang bubat tidak didukung dengan primer yang kuat semacam prasasti ataupun relief yang sezaman. Mengingat zaman dahulu banyak kejadian yang diabadikan dengan prasasti, tugu, atau semacamnya. Hanya ada satu prasasti yaitu Batu Tulis yang mencatat kematian raja Linggabuwana akibat Perang Bubat.

Hal itu hanya dituturkan dalam historiografi tradisional seperti kitab Pararaton (1357), Kidung Sunda (1540), Carita Parahiyangan. Semuanya menceritakan mengenai peristiwa Perang Bubat. Versi isi ceritanya hampir sama antara satu dengan lainnya, begitu pula dengan Kidung Sundayana (1920) karya C.C Berg, sejarawan Belanda. Sedangkan Negarakertagama tidak menyinggung sama sekali mengenai peristiwa Bubat.

Di sisi lain, peristiwa tersebut sering menjadi cerita turun temurun, dari mulut ke mulut khususnya di masyarakat Sunda dan Jawa. Hal itu menjadi hegemoni tersendiri antara kedua masyarakat tersebut, misalnya adanya mitos perempuan Sunda tidak boleh menikah dengan laki-laki Jawa.

6. Titik lokasi perang Bubat masih menjadi misteri

Tak hanya peristiwanya, lokasi Perang Bubat juga masih menjadi misteri sampai saat ini meskipun sudah adanya deskripsi dalam historiografi tradisional. Hadi Sidomulya berpendapat bahwa kini lapangan Bubat berada di Desa Tempuran, selatan Kali Brantas dan barat daya Pelabuhan Canggu.Kalau pun memang di sana titik lokasinya, mengapa tidak ada peninggalan prasasti ataupun tugu peringatan mengenai kejadian tersebut?