Kamu tentu sering mendengar kalimat seperti: Jangan ini, jangan itu! Kamu tuh harusnya seperti ini! Patuh dong sama orang tua jangan ngelawan! Atau justru tanggapan seperti ini ketika ingin menceritakan tentang curahan hati: Kakak mau curhat? Ayuk sini mama dengerin.

Apakah orang tua kamu hanya mengobrol mengenai bidang akademis? Bertanya apa nilai kamu baik-baik saja, seperti Kok, nilai kamu turun ya? Atau justru melakukan obrolan yang lebih terbuka tanpa kamu harus takut untuk menceritakannya, seperti hubungan kamu dengan si dia atau mengenai temantemanmu yang sangat menyebalkan?

Apakah orang tuamu tentu pernah melarangmu untuk melakukan ini itu dan kamu jadi merasa tertekan? Atau justru orang tuamu mulai tidak peduli terhadap apa yang kamu lakukan?

Ahli komunikasi Ascan Koerner dan Mary Ann Fitzpatrick menjelaskan bahwa ada keluarga yang memperlihatkan orientasi percakapan, yaitu di mana anggota keluarga dapat membicarakan pendapat mereka mengenai topik apa saja karena menurut mereka keterbukaan sangat penting untuk kehidupan keluarga. Tetapi ada juga orientasi konfromitas, yaitu keadaan di mana anggota keluarga menciptakan kepercayaan dan keyakinan kepada anggota keluarganya yang lain.

Pernahkah kamu membicarakan halhal kecil kepada orang tuamu? Jika pernah, itu adalah contoh dari orientasi percakapan. Atau kamu pernah sedang menyapu lantai namun tidak bersih ataupun tidak kinclong, lalu orang tuamu berkata: Nyapu tuh yang bersih, nanti kalau punya suami jenggotan loh. Hal seperti itu adalah contoh dari orientasi konfromitas.

Sempatkah kamu berpikir, ada atau tidak jenis keluarga seperti kamu dengan keluargamu. Lalu, ada atau tidak sebutan keluarga yang berbeda dan sangat mewakili keluargamu? Orientasi apa saja yang ada pada jenis keluarga itu, ya? Yuk, mari kita bahas.

Dalam buku Komunikasi Perilaku dan Manusia yang ditulis oleh Brent D.Ruben dan Lea P. Steawart terdapat struktur keluarga tradisional, yaitu empat jenis keluarga yang berbeda-beda.

1. Keluarga Konsensual.

Keluarga yang cenderung mengobrolkan hal-hal penting saja dan menerapkan keyakinan yang kuat kepada setiap anggota keluarganya.

2. Keluarga Pluralistik.

Keluarga yang cenderung lebih terbuka perihal obrolan yang bersifat hal tidak penting ataupun formal dan tidak menekankan keyakinan yang dalam kepada anggota keluarganya.

3.Keluarga Protektif.

Keluarga yang cenderung menekankan kemauan orang tua untuk segala jenis keputusannya.

4. Keluarga Laisess-Faire atau Bebas.

Keluarga yang jarang ikut campur dalam pengambilan keputusan mereka dan tidak adanya komunikasi kepada anggota keluarganya.

Setelah mengetahui jenis-jenis keluarga menurut buku Komunikasi Perilaku dan Manusia, kira-kira jenis keluarga seperti apakah keluargamu? Protektif yang suka menentukan pilihan, konsensual yang obrolannya sangat kaku, pluralistic yang sangat terbuka dalam menceritakan hal apa saja, atau si bebas yang tidak pernah berkomunikasi sama sekali?

Kira-kira, apa sih yang menjadikan orang tua terlalu overprotektif kepada anaknya? Baikkah untuk anak atau malah sebaliknya?

Menurut buku Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis yang ditulis oleh Drs. Ngalim Purwanto, ada beberapa faktor yang menyebabkan orang tua overprotektif.

1. Ketakutan yang berlebihan terhadap anak oleh orang tua.

2. Orang tua selalu mengikuti kemauan anak.

3. Orang tua tidak mengetahui bahwa anaknya perlu diajarkan kemandirian.

Bagaimana cara menyikapi orang tua dengan berbagai jenis keluarga di atas? Seharusnya seperti apa? Membentak atau hanya diam?

Menurut penulis, untuk jenis keluarga yang konsensual sebaiknya dibicarakan dan ceritakan tanggapan yang kamu harapkan dari orang tua. Untuk keluarga dengan jenis pluralistik, lanjutkan saja bercerita hal-hal yang ingin kamu ceritakan kepada orang tuamu namun tetap dengan cara yang sopan. Untuk keluarga protektif, mulailah menyuarakan pendapat bahwa kamu bisa mandiri dan mengetahui batasan. Serta terakhir bagi keluarga bebas, jangan menunggu untuk diajak berkomunikasi, kamu dapat memulainya tanpa harus menunggu.

Ingat, komunikasi antar keluarga itu penting. Yuk, mulai terlebih dahulu daripada tidak berkomunikasi sama sekali.

Oleh: Amanda Desriva Onassis, Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Jaya.