Brilio.net - Jodoh adalah rahasia yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Banyak yang telah menjalin hubungan dekat dan ternyata tidak berjodoh, hal itulah yang dialami oleh pria kelahiran Padang, Sumater Barat, Dito (29). Dito yang bekerja di Bengkulu harus menerima kenyataan bahwa dirinya dijodohkan dengan wanita pilihan ibunya. Meski saat itu dia sudah memiliki kekasih, tapi tetap saja dia tidak dapat menolak keinginan ibunya.

"Saya akui bahwa selama ini saya memang sangat egois, sampai usia pernikahan 2 tahun, saya belum bisa menerima perjodohan tersebut, saya merasa sebagai pihak yang dirugikan dalam perjodohan itu," cerita Dito kepada brilio.net melalui layanan story telling bebas pulsa 0-800-1-555-999, Sabtu (12/12).

Pernikahan yang berlangsung karena perjodohan itu terjadi pada akhir tahun 2012. Dito yang merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarganya diminta kembali pulang ke Padang, Sumatera Barat. Sesampainya di kota kelahirannya itu, dia ternyata dijodohkan dengan seorang wanita. Tradisi perjodohan memang masih kental di keluarganya dan dia tidak bisa menolaknya.

Setelah melangsungkan pernikahan, dia membawa istrinya hidup dengannya di Bengkulu, tempat dimana dia bekerja sebagai salah satu pegawai swasta. Hidup bersama orang yang baru dikenalnya tidaklah mudah. Perjodohan memang tidak ditolaknya namun perasaan cinta kepada istrinya tidak dimilikinya sedikitpun. Apalagi Dito makin kecewa saat mengetahui istrinya itu mengalami cacat fisik di kakinya. Dia merasa tidak bisa menerima kekurangan fisik yang ada di istrinya itu.

"Saya sulit menerima kenyataan bahwa istri saya cacat fisik dan saya selalu membanding-bandingnya dengan mantan pacar saya yang sempurna secara fisik," ujar Dito.

Dito menjalani pernikahan tanpa cinta, bahkan sering dia melakukan penyiksaan kepada istrinya dan hanya memberikan uang Rp 20.000 setiap harinya untuk kebutuhan dapur. Meski diperlakukan tidak baik oleh Dito, istrinya itu tidak pernah mengeluh ataupun meninggalkan Dito. Dia tetap setia kepada laki-laki lulusan sekolah tinggi ekonomi ini.

Sampai pada suatu waktu istrinya mengeluhkan kepalanya yang sakit, tapi Dito tidak merespon hal tersebut. "Pagi-pagi dia mengeluh sakit kepala tapi saya tidak peduli dan tetap berangkat ke kantor, siangnya saya dapat kabar kalau dia jatuh pingsan dan dilarikan ke rumah sakit, ternyata dia menderita tumor otak dan tidak bisa lagi diselamatkan."

12 April 2015 adalah hari kematian istrinya. Hari itu Dito baru tersadarkan bahwa wanita yang selalu tampak sehat dan tidak pernah mengeluh dihadapannya itu ternyata menderita penyakit ganas. Dia menyesal telah memperlakukan istri yang begitu setia padanya dengan tidak baik. Istrinya selalu menjalankan tugasnya sebagai istri dengan begitu patuh tanpa mengeluh sedikitpun meski dia dalam keadaan tidak sehat.

"Sedikitpun saya tidak pernah mendengarnya mengeluh, bahkan saat uang belanja yang saya kasih hanya Rp 20.000 dia tidak pernah mengatakan itu kurang padahal saya tahu untuk membeli beras dan lauk pauk itu tidaklah cukup, tapi makanan di atas meja selalu ada. Setelah dia pergi saya baru merasa menyesal menyia-nyiakannya," jelas Dito.

Ya, penyesalan memang selalu datang terlambat. Dito mengalami penyelasan betapa dia tidak menghargai orang yang telah tulus menyayanginya. Pelajaran hidup dapat kita petik dari kisah Dito bahwa hargailah setiap ketulusan yang diberikan oleh orang yang ada disisimu sebelum kamu kehilangannya. Dito pun menyesali jika selama ini dirinya hanya melihat kekurangan istrinya dan membanding-bandingkannya dengan mantan pacarnya dan tidak menerima istrinya apa adanya, padahal sang istri telah menerima Dito pada adanya tanpa mengeluh sedikitpun.