Brilio.net - Kalau kamu tinggal atau sekadar main ke Yogyakarta, kamu bakal menemukan bahwa terdapat seabrek penerbit di Daerah Istimewa ini, baik mayor maupun indie. Salah satunya adalah Diva Press yang berdiri sejak 2001 dan digawangi Edi Mulyono alias Edi Akhiles alias Edi AH Iyubenu.

Meskipun menghabiskan masa studi S1-S3 di bidang agama (S1 Syariah, S2 Filsafat Islam, dan S3 Islamic Studies di kampus Universitas Islam Negeri Sunan (UIN) Kalijaga Yogyakarta), namun Edi telah bergelut di dunia literasi dan sastra sejak 1995. Terkait kepenulisan, pria yang memiliki nama lahir Herman Hidayatullah ini berpendapat, pada dasarnya semua orang bisa menjadi penulis. Namun yang menjadikannya berbeda adalah soal kegigihan, jelajah bacaan, soal pergaulan, serta soal attitude. BACA JUGA: Prihatin dengan dunia literasi, Edi gagas pelatihan kepenulisan gratis

"Taglinenya Kampus Fiksi begini: Menulis itu bisa sendirian tetap menjadi penulis butuh kawan. Kalau cuma saat ngetik memang paling enak sendirian. Tapi dalam posisi mendapat ide, memperdalam ide, mencari referensi, itu kan butuh kawan-kawan diskusi. Itulah prinsip yang benar2 harus dipegang oleh orang yang mau jadi penulis," terang pria kelahiran Sumenep, 13 November 1977 ini.

Minat baca masyarakat, menurutnya, kian meningkat, terlebih dengan adanya media sosial. Fenomena pedagang buku online yang perkembangannya signifikan adalah salah satu buktinya.

Lebih lanjut, terkait kehadiran bacaan versi online, Edi berpendapat, untuk jangka panjang memang buku cetak akan bergeser, tapi butuh puluhan tahun. "Kalau jangka pendek katakanlah 10-20 tahun ke depan saya kira tidak. Perkara online memengaruhi dunia cetak itu ada," sebut dia.

Jenis buku cetak yang menurutnya akan tergerus oleh online ialah buku-buku yang bukan bertema besar, serta koran cetak. Tema-tema besar yang butuh penjelasan panjang dan pembahasan dalam seperti buku-buku sejarah tidak akan tergerus. "Makanya jangan nerbitin buku yang bertema sepele. Orang nggak puas dengan sebuah link," tegasnya.

Program baru selain Kampus Fiksi yang digagas penerbitannya adalah Sastra Perjuangan. Program ini didasari oleh minimnya karya sastra di perbukuan tanah air. Edi akan menyediakan tempat 1-2 buku sastra untuk diterbitkan di penerbitnya setiap bulan. Akan ada perlakuan khusus pula terkait honor untuk mendorong penulis karya sastra untuk produktif menulis. "Saya berhasrat untuk 'memecah batu'. Opini masyarakat kita selama ini mengatakan buku sastra itu buku yang asyik dengan dunianya sendiri, susah dibaca karenanya tidak laku. Novel yang merajai pasar buku kita novel pop semua, jarang lah novel sastra," ungkap Edi.

Edi mengumpamakan karya sastra seperti produk branded. Dari kacamata bisnis, barang branded seperti Hermes meskipun kecil sekali, namun pangsanya ada dan nyatanya mereka survive. Maka menurut Edi berarti di dalamnya perlu diberlakukan strategi.

"Karena pangsanya ada saya pikir perlu digarap dan dioptimalkan. Sampai hari ini, siapa sih penerbit yang intens menggarap karya sastra? Ada tapi nggak banyak. Siapa penerbit yang peduli untuk menerbitkan karya anak muda belum punya nama besar yang karyanya cita rasa sastrawinya bagus? Itu langka sekali untuk tidak disebut tidak ada," jelas Edi panjang lebar dengan gaya tenangnya. "Makanya saya sebut Sastra Perjuangan karena sesuatu yang tidak seksi lah, begitu."