Brilio.net - Bergelar doktor menjadi dambaan bagi sebagian besar orang, terutama bagi mereka yang sudah menjadi dosen. Jika berbicara mengenai gelar akademik lulusan program pendidikan doktor atau srata-3 (S3), maka kebanyakan orang akan berfikir bahwa yang mendapatkan gelar tersebut sudah tua. Namun penilaian itu tak sepenuhnya benar. Ada beberapa di antara mereka yang masih berusia sangat muda.

Seperti halnya yang baru-baru ini ramai menjadi perbincangan dalam gelaran wisuda ke-119 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang digelar 16–17 Maret 2019 di Graha Sepuluh Nopember ITS. Seorang pria bernama Rendra Panca Anugraha behasil menyandang gelar doktor di usianya 24 tahun 4 bulan. Kelulusan di usia yang tak biasa ini sama dengan Grandprix Thomryes Marth Kadja, peraih rekor MURI sebagai doktor termuda di Indonesia di Institut Teknologi Bandung pada tahun 2017 lalu.

Hal ini membuktikan bahwa tak semua orang yang mendapat gelar doktor telah berusia tua. Namun ada pula mereka yang masih sangat muda. Kisah mengenai gelar doktor termuda di Indonesia tak hanya kali ini saja, sebelumnya juga telah lahir orang-orang cerdas yang mampu menyelesaikan pendidikannya di usia yang tak biasa.

Berikut ini beberapa kisah doktor termuda Indonesia yang sangat menginspirasi. Perjuangan mereka untuk bisa meraih gelar dalam usia muda bukanlah perkara mudah, banyak perjuangan yang harus mereka lalui. Bagaimana kisahnya? Berikut lansiran brilio.net dari berbagai sumber, Jumat (22/3).

1. Cindy Priadi.

Doktor termuda Indonesia istimewa

foto: academicindonesia.com

Pada tahun 2011 silam, sosok Cindy Priadi menjadi sorotan publik karena mampu menyelesaikan study S-3 di usia yang sangat muda. Pada saat itu orang sangat sulit membayangkan bagaimana bisa usia 26 tahun sudah bergelar doktor? Namun nyatanya, Cindy Mampu meraihnya di usia yang tak biasa. Cindy Priadi berhasil menamatkan studi doktoralnya di Universitas Paris-Sud 11, Prancis.

Bukan hal mudah untuk meraih gelar doktor tersebut. Wanita kelahiran 30 Januari 1984 itu, sejak lama telah tertarik dengan kebudayaan Eropa dan isu-isu mengenai lingkungan. Ketertarikannya itu membuat Cindy belajar bahasa Prancis. Pada tahun 2005, ia berkesempatan melanjutkan studi pascasarjana di Universite Paris-Sud 11, Prancis, setelah mendapakan beasiswa dari Pemerintah Prancis melalui Pusat Kebudayaan Prancis di Indonesia.

Dalam Program masternya, Cindy mengambil program studi Ilmu Lingkungan dengan tesis berjudul "Caracterisation des Phases Porteuses: Metaux Particulaires en Seine" dan berhasil menyelesaikannya pada 2007. Dalam tesisnya pascasarjananya, Cindy melakukan penelitian mengenai logam berat yang terkandung di dalam sungai seinem Prancis. Ia melakukan penelitian secara mendalam, di mana ia mencari tahu logam yang terkandung dalam aliran sungai tersebut untuk kemudian mencari tahu interaksi dan dampaknya.

Namun siapa sangka, penelitiannya itu menjadi daya tarik pemerintah Prancis dan sebuah lembaga penelitian di Prancis tertarik untuk membiayai keberlanjutan penelitiannya di jenjang S-3. Saat menempuh jenjang S-3 ia mengambil program studi Geokimia Lingkungan di universitas yang sama.

2. Grandprix Thomryes Marth Kadja.

Doktor termuda Indonesia istimewa

foto: itb.ac.id

Tak kalah mengejutkan, Pada tahun 2017 silam, pria asal Nusa Tenggara Timur (NTT), meraih gelar doktor di usia 24 tahun di salah satu perguruan tinggi terbaik di Indonesia, Institut Teknologi Bandung (ITB). Kabar ini menggemparkan warganet, lagi-lagi beraih gelar doktor di usia yang tak biasa. Dia adalah Grandprix Thomryes Marth Kadja.

Dikutip dari itb.ac.id, Grandprix menulis disertasi yang berfokus pada material-material yang sering digunakan dalam industri misalnya petrokimia dan pengolahan biomassa. Tak hanya lulus S3 dengan umur yang begitu muda, Grandprix juga berhasil mendapat predikat Cum Laude. Selama kuliahnya, ia sudah 9 kali mengeluarkan publikasi seminar bertaraf Internasional. Hal ini jelas menjadi sebuah prestasi yang luar biasa.

3. Arief Setiawan.

Doktor termuda Indonesia istimewa

foto: brilio.net

Pada tahun 2015, Seorang pria yang menempuh pendidikan di bidang teknik, asal Semarang, Arief Setiawan ia berhasil meraih gelar doktor di usia 25 tahun. Kesuksesan yang diraih Arief bukan suatu keberuntungan belaka. Saat SMP, ia mengikuti akselerasi di SMP 2 Semarang yang saat itu baru pertama kali membuka kelas akselerasi. Karena belajar di kelas akselerasi, hampir setiap hari ia belajar sampai jam 2 pagi. Ia bahkan tak bisa bermain bersama teman-temannya. Karena tugas yang banyak dan tanggung jawab dirinya kepada orangtuanya yang telah menyekolahkannya. Di usianya yang baru 13 tahun, ia harus dituntut hidup mandiri jauh dari orangtua.

Meski demikian ia tidak merasa bahwa masa remajanya terenggut karena harus belajar dan belajar. Justru sebaliknya ia merasa sangat bersyukur, karena dengan mengikuti akselerasi, ia menjadi pandai dalam pelajaran, padai mengandalikan stres dan me-manage diri sendiri.

4. Shinta Amalina Hazrati Havidz.

Doktor termuda Indonesia istimewa

foto: sicas.cn

Shinta Amalina Hazrati Havidz menjadi wanita dengan mendapat gelar doktor pada usia 25 tahun 11 bulan. Shinta Amalina Hazrati Havidz termotivasi mengejar gelar doktor karena karena tak diwisuda secara resmi setelah menyelesaikan master. Setelah menyelesaikan kuliah master business of administration jurusan corporate finance di Wuhan University of Technology (WUT), Tiongkok. Shinta mendapat kabar dari pihak kampus bahwa dia tidak bisa ikut wisuda. Shinta yang menyelesaikan studinya 1,5 tahun tersebut dianggap tidak memenuhi syarat untuk bisa wisuda. Butuh minimal dua tahun.

Hal itu membuat dirinya sangat kesal dan sedih. Akhirnya ia kembali setahun kemudian untuk menyelesaikan program doktoral. Shinta pun mencatat prestasi yang membanggakan, di mana ia meraih gelar doktor termuda di perguruan tinggi Tiongkok.

5. Elanda Fikri.

Doktor termuda Indonesia istimewa

foto: Instagram/@elandafikri

Anak tunggal dari pasangan Agus Saptaji (52) dam Nina Mulyana (49) ini merupakan peraih gelar doktor termuda di Indonesia di bidang kesehatan lingkungan di Indonesia. Tepatnya saat ia berusia 26 tahun. Banyak yang tak tahu pria ini memiliki segudang prestasi diusianya yang tak biasa.

Pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, awalnya, ingin meneruskan studi di Sekolah Tinggi Pendidikan Dalam Negeri (STPDN) Jatinagor, setelah mendapatkan rekomendasi dari BKD. Ia terpilih untuk mewakili putra daerah dari Kabupaten Cirebon. Namun sayangnya, kampus yang ditujunya tutup karena sebuah kasus perudungan yang menyebabkan salah seorang praja tewas.

Pada tahun 2007, Elanda menuntut ilmu ke Universitas Diponegoro (Undip), Semarang melalui jalur tanpa tes. Walaupun menyelesaikan kuliah dengan cepat, namun ia masih aktif dalam kegiatan kampus. Usai menyelesaikan studi S-1 ia sempat bekerja di sebagai konsultan, kemudian ia memutuskan untuk melanjutkan S2. Ia menyelesaikan pendidikannya dalam satu tahun. di Undip dengan peminatan kesehatan lingkungan.

Setelah itu, salah satu dosennya meminta diriny untuk mengajukan sebagai lulusan doktor termuda ke dalam rekor Muri. Dan memang saat acara parade doktor di Jakarta ia yang turut hadir paling muda dan lagi-lagi mendapatkan saran dari para doktor untuk diajukan ke rekor Muri. Namun siapa sangka ia mampu menaklukkan tantangan tersebut.

6. Rendra Panca Anugraha.

Doktor termuda Indonesia istimewa

foto: its.ac.id

Rendra Panca Anugraha menjadi perbincangan hangat baru-baru ini. Pasalnya dalam gelaran wisuda ke-119 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) yang digelar 16–17 Maret 2019 di Graha Sepuluh Nopember ITS, ia mendapat gelar doktor termuda di usia 24 tahun 4 bulan.

Awalnya Rendra Anugraha mendapat usulan dari dosen pembimbingnya di masa studi sarjana (S1), untuk mengikuti sebuah program beasiswa bernama Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU). Program beasiswa tersebut diluncurkan oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) di tahun 2015. Di mana mereka menantang para sarjana unggulan untuk menyambung studi mereka hingga ke tingkat doktoral dalam kurun empat tahun.

Siapa sangka pria kelahiran Bondowoso, 25 November 1994 itu mampu menyelesaikan tantangan tersebut dalam kurun waktu 3,5 tahun saja. Menariknya dalam kurun waktu itu pula ia berhasil melakukan penelitian di tiga jurnal ilmiah internasional bereputasi, serta dua seminar internasional.