Brilio.net - Penyelenggaraan Pemilu 2019 penuh dengan perjuangan. Bahkan tak sedikit Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) sakit hingga meninggal. Hingga saat ini diketahui 554 petugas KPPS meninggal dunia.

Mengenai fenomena ini, Universitas Gadjah mada membentuk tim riset untuk mencari tahu. Fisipol UGM menggandeng Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) dan Fakultas Psikologi UGM membentuk Kelompok Kerja Kajian Mortalitas Petugas Pemilu 2019.

"Tanggal 8 Mei kami sudah melakukan FGD untuk menentukan langkah kerja selanjutnya, dalam FGD itu juga kami menemukan tiga poin penting yang menjadi pendalaman riset ini," ujar Abdul Gaffar Karim, dosen Fisipol UGM dalam jumpa pers di Digilib Cafe, seperti dikutip brilio.net dari Liputan6, Jumat (10/5).

ugm kpps © 2019 brilio.net berbagai sumber

foto: Liputan6.com

 

Pertama, mereka mengidentifikasi ada celah dalam rekruitmen petugas Pemilu 2019, seperti surat kesehatan dibuat secara massal dan tidak dilandasi pemeriksaan kesehatan yang memadai dan kebanyakan petugas berusia 50 tahun ke atas.

Yang kedua, cara, ritme, dan jam kerja terindikasi memiliki masalah yang harus diteliti lebih dalam. Ketiga, tekanan politik berlebihan termasuk kecurangan berkontribusi dalam menekan psikis petugas pemilu.

Ia menuturkan, hasil riset akan diterapkan pada Pilkada 2020 di DIY. Kontestasi pemilihan kepala daerah di DIY ini siap menjadi laboratorium riset untuk menerapkan kebijakan itu.

Dekan Fisipol Erwan Agus Purwanto menegaskan banyaknya petugas pemilu sebagai korban tidak bisa menjadi alasan untuk mendelegitimasi Pemilu. Sebab, kematian itu bukan hal yang direncanakan atau disengaja.

Ia memaparkan, hampir enam juta petugas pemilu tersebar di seluruh penjuru negeri. Pekerjaan dilakukan dalam satu kelompok sehingga penyelenggaraan Pemilu 2019 tetap bisa dilaksanakan tahap demi tahap dan tidak perlu dibatalkan

"Penghormatan kepada mereka harus tetap dihargai dengan tetap mengapresiasi hasil pemilu dan berusaha memahami yang terjadi jangan sampai peristiwa ini terulang lagi," ujar Erwan.

Dekan Kedokteran FKKMK UGM Ova Emilia mendukung dilakukannya kajian mendalam. Ia berpendapat perlu dibuat syarat pemeriksaan kesehatan, termasuk fisik dan mental.

"Bukan hanya di selembar kertas," tutur Ova Emilia.

Ia tidak menampik kelelahan bisa menyebabkan orang meninggal, meskipun hanya sebagai pemicu. Pasalnya, tidak semua orang mengetahui jika dirinya terindikasi gejala penyakit tertentu.

Ova mencontohkan seorang dokter saja sering tidak sadar tubuhnya terindikasi gejala penyakit jantung, apalagi orang awam.

"Kalau orang yang terbiasa lelah dan memiliki ketahanan tubuh yang baik tidak masalah, tetapi jika dia ternyata membawa penyakit yang tidak disadari bisa menjadi pemicu," kata Ova Emilia.

ugm kpps © 2019 brilio.net berbagai sumber

foto: merdeka.com

 

Terkait perlu atau tidaknya autopsi, ia menilai tergantung dari kasusnya. Hal pertama yang dilakukan justru autopsi verbal, yakni mewawancarai orang yang berada di sekitar korban. Apabila penyebab langsung kematian dari autopsi verbal sudah jelas, maka tidak perlu dilanjutkan autopsi fisik.

"Namun, kalau ada data-data yang kontroversial maka kami bisa mengusulkan autopsi fisik," ucap Ova Emilia.

Dekan Psikologi UGM Faturochman menuturkan kajian akan fokus pada menganalisis beban kerja petugas pemilu.

"Kami tidak tahu apakah seperti ini sudah dirancang dulu beban kerjanya atau tidak," kata Fatur.

Indikasi awal yang menjadi hipotesisnya adalah beban kerja tidak sebanding dengan tenaga kerja yang tersedia.

Menurut Fatur, kerja temporer seperti petugas pemilu kebanyakan tidak dipikirkan soal kesejahteraan karena yang paling penting bisa terselenggara dengan baik.

Ia mengusulkan perlu ada asuransi sebagai bentuk dukungan supaya mereka lebih aman.

"Termasuk bebas dari tekanan dicurigai berbuat curang," ucap Fatur.

Ia menceritakan pengalamannya ketika mendapat surat undangan coblosan dari petugas pemilu. Mereka sudah tampak dalam tekanan dan penuh kebingungan dengan teknis penyelenggaraan.

Fatur juga mengungkapkan kekhawatirannya, ketika hasil pemilu dibatalkan tanpa perbaikan sistem, justru dapat menimbulkan korban lebih banyak lagi.