Brilio.net - Rumah Atalarik Syach di Cibinong, Jawa Barat, dibongkar secara paksa oleh aparat pada Kamis (15/5). Pembongkaran tersebut merupakan buntut panjang dari sengketa tanah yang telah berlangsung sejak tahun 2015 antara Atalarik dan pihak penggugat, Dede Tasno. Kejadian ini memicu perhatian publik terhadap proses hukum yang dijalankan serta mempertanyakan keadilan yang diterima Atalarik.

Sengketa yang terjadi melibatkan tanah seluas 7.000 meter persegi, lokasi tempat rumah Atalarik berdiri. Dede Tasno mengklaim sebagai pemilik sah tanah tersebut, sedangkan Atalarik menegaskan bahwa ia telah membeli lahan tersebut secara sah pada tahun 2000 dari PT. Sapta Usaha Gemilang Indah. Dalam pembelaannya, Atalarik menyebut memiliki sejumlah dokumen penting, seperti sertifikat tanah dan Akta Jual Beli (AJB), namun kehilangan surat pelepasan hak menjadi penghambat utama dalam proses hukum.

Atalarik mengaku merasa dirugikan atas pembongkaran yang dilakukan tanpa adanya pemberitahuan resmi sebelumnya. Ia menilai tindakan tersebut tidak adil karena dilakukan bahkan sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah). Peristiwa ini meninggalkan luka mendalam bagi dirinya, yang kemudian menyuarakan kekecewaannya melalui media sosial.

Perseteruan hukum antara Atalarik dan Dede Tasno telah berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun. Atalarik tetap pada pendiriannya bahwa tanah tersebut telah dibeli secara sah dan dilengkapi dokumen legal. Sayangnya, hilangnya surat pelepasan hak dimanfaatkan oleh pihak lawan sebagai celah hukum dalam menggugat kepemilikannya.

Dalam pernyataannya, Atalarik menilai proses hukum yang dijalaninya penuh kejanggalan. Ia menuding pembongkaran rumah dilakukan tanpa dasar yang kuat, tanpa surat eksekusi ataupun pemberitahuan, yang menurutnya bertentangan dengan hak-hak dasar sebagai warga negara.

“Saya lagi didzolimi, saya berjuang mempertahankan tanah saya dari tahun 2015. Padahal tanah ini sudah dibeli sejak tahun 2000,” kata Atalarik melalui video di media sosial pada Jumat (16/5).

Proses eksekusi rumah Atalarik sebelum adanya keputusan pengadilan yang bersifat inkrah menimbulkan tanda tanya besar tentang integritas proses hukum tersebut. Ia merasa tidak diberikan ruang yang adil untuk menyampaikan pembelaan. Kondisi ini membuatnya merasa dirampas hak hukumnya sebagai warga negara yang taat hukum.

Atalarik juga menyoroti dugaan kejanggalan dalam pengurusan dokumen pertanahan di instansi pemerintah. Ia menduga adanya ketidakwajaran dalam proses administratif yang seharusnya menjamin perlindungan atas hak kepemilikan warga negara. Kasus ini mempertegas pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem hukum pertanahan di Indonesia.

"Padahal belum inkrah, masih ada gugatan lagi dirapihin. Saya bukan penipu, bukan penjahat. Gampang nyari saya pada dasarnya, tapi saya tidak dapat ruang untuk itu semua," ujar Atalarik dengan nada kecewa.

"Dianggap kami ini binatang, tidak ada surat. Sekarang dieksekusi, udah sampai ke genteng segala macam," jelasnya.