Brilio.net - Saya seorang wanita, bungsu dari 3 bersaudara dan terlahir sebagai satu-satunya anak perempuan dalam keluarga. Almarhum papa meninggal 9 bulan sebelum saya lahir, kecelakaan yang menimpanya kala itu membuat kedatangan saya ke dunia disambut dengan kondisi yang penuh dengan kesederhanaan. Lahir di rumah, dengan bantuan tangan bidan dan ketika itu hanya mengenal mama serta kedua kakak saya yang masih kecil sekitar umur 8 tahun dan 4 tahun.

Mama saya seorang ibu rumah tangga pekerja keras dan tanpa kehadiran kepala keluarga untuk selamanya, secara mendadak mengubah keadaan yang tadinya serba berkecukupan menjadi terbatas. Mama memilih untuk hidup sendiri, mengesampingkan keinginannya untuk kembali menikah dan mengutamakan mencari uang sambil mengasuh ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Apapun ia jalani demi bisa menghasilkan uang untuk membeli beras, susu, biaya sehari-hari yang tak terhitung banyaknya. Beberapa profesi ia geluti seperti menjadi sales kosmetik, menerima pesanan masakan, berjualan makanan dan sebagainya.

Meskipun begitu, besar harapan mama untuk bisa membesarkan ketiga anaknya sampai berhasil dan sukses. Segala cemoohan dan hinaan orang hanya ia pendam dalam hati ketika merasakan pahitnya kondisi, keuangan saat itu mengharuskan beliau untuk berhutang sana-sini demi untuk menyambung kebutuhan hidup dan meneruskan sekolah kami bertiga. Pernah suatu hari, mama kehabisan uang tatkala beras habis dan kami bertiga tidak punya ongkos untuk pergi ke sekolah. Dengan menahan tangis, mama bersama kakak pertama saya menggali tanah kebun kecil di sekitar rumah kami untuk mendapatkan tanaman bumbu dapur seperti kunyit, jahe, lengkuas dengan harapan bisa dijual dan dibelikan beras serta untuk ongkos sekolah.

Seiring masa pertumbuhan, mama pernah sangat cemas dan bingung ketika saya mengalami demam tinggi karena pergelangan tangan kiri saya retak setelah jatuh terpeleset. Karena tidak ada uang untuk berobat, mama berkeliling menjual radio lama peninggalan almarhum papa untuk mendapatkan uang sebagai biaya berobat. Itu semua hanya sebagian kecil dari drama kehidupan keluarga kami dengan mama sebagai peran utamanya. Tidak akan pernah cukup kata dan ruang untuk menuliskan semua jerih payah dan kisah pedih yang mama dan kami alami, bahkan ketika ia harus merelakan harta nya yang paling berharga, yaitu rumah warisan almarhum papa untuk dijual demi membiayai pendidikan kami bertiga ke level sarjana.

Kini mama sudah separuh abad, dengan hari-hari yang mama habiskan di rumah kontrakan sederhana bersama kakak saya, memandangi foto wisuda kami satu per satu dengan senyum haru. Mama sudah tidak memiliki harta lagi, namun kasihnya tidak akan pernah habis untuk kami. Sebesar apapun usaha kami bertiga, tidak akan sanggup mengganti semua keringat dan air matanya. Maka, sekiranya pembaca berkenan mendoakan kami bertiga untuk diberi kesempatan membahagiakan mama dengan cara kami masing-masing.