Brilio.net - Tebuireng bukan nama yang asing lagi bagi telinga masyarakat Indonesia. Tebuireng tak hanya dikenal sebagai salah satu nama pesantren tertua, lebih dari itu, Tebuireng sangat dikenal sebagai tempat bersejarah berdirinya ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Lalu, sebenarnya bagaimana asal usul nama Tebuireng?

Berdasarkan situs resmi Tebuireng yang dikutip brilio.net, Jumat (7/8), Tebuireng merupakan nama sebuah pedukuhan yang termasuk wilayah Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Tebuireng terletak 8 km sebelah selatan Kota Jombang. Nama pedukuhan seluas 25,311 hektar ini kemudian dijadikan nama pesantren yang didirikan oleh Kiai Hasyim Asyari.

Menurut penuturan masyarakat sekitar yang ditulis di situs Tebuireng, nama Tebuireng berasal dari kata 'kebo ireng' yang dalam bahasa Indonesia berarti kerbau hitam. Konon, ada seorang penduduk yang memiliki kerbau berkulit kuning. Suatu hari, kerbau tersebut menghilang dan setelah dicari, kerbau itu ditemukan sudah berwarna hitam. Kerbau itu hampir mati, tubuhnya penuh lintah karena terperosok di rawa-rawa yang penuh lintah dan lumpur.

Peristiwa tersebut menyebabkan pemilik kerbau berteriak, "Kebo ireng! Kebo ireng!".

Sejak sat itu, dusun tempat ditemukannya kerbau itu dikenal dengan nama Kebo Ireng. Versi lain yang menyebutkan bahwa nama Tebuireng berawal dari pemberian seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan kemudian tinggal di sekitar dusun tersebut.

Pada perkembangan selanjutnya, ketika penduduk dusun tersebut mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah menjadi Tebuireng. Tidak diketahui dengan pasti kapan perubahan itu terjadi dan apakah hal itu ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di selatan dusun tersebut, yang banyak mendorong masyarakat untuk menanam tebu? Ada kemungkinan karena tebu yang ditanam berwarna hitam maka dusun tersebut berubah nama menjadi Tebuireng.

Pada penghujung abad ke-19, di sekitar Tebuireng bermunculan pabrik-pabrik milik orang asing, terutama pabrik gula. Sekilas keberadaan pabrik tersebut menguntungkan warga setempat karena banyaknya lapangan pekerjaan yang dibuka, tetapi sebenarnya pabrik tersebut merugikan warga dari aspek psikologis. Masyarakat belum terbiasa menerima upah sebagai buruh, sehingga uang tersebut lebih banyak digunakan dalam hal konsumtif seperti judi dan mabuk. Ketergantungan masyarakat terhadap hal itu membuat mereka berbondong-bondong menjual tanah mereka.

Merasa prihatin dengan hal itu, Kiai Hasyam kemudian membeli sebidang tanah milik seorang dalang terkenal di dusun Tebuireng. Lalu pada tanggal 26 Rabiul Awal 1317 H, bertepatan dengan tanggal 3 Agustus 1899 M, Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu berukuran 6 X 8 meter. Selain menjadi tempat tinggal, bangunan itu digunakan Kiai Hasyim tempat menerima santri belajar agama Islam.

Tapi keberadaan Kiai Hasyim tak serta merta diterima. Gangguan dan ancaman selalu datang kepada Kiai Hasyim dan santri-santrinya. Tapi karena kesabaran dan kearifan Kiai Hasyim dalam menyikapi permasalahan yang ada, lambat laun keberadaannya diakui masyarakat. Santri yang datang berguru ke Kiai Hasyim juga semakin banyak.

Bisa dikatakan, Pesantren Tebuireng pada masa Kiai Hasyim merupakan pusatnya pesantren di tanah Jawa dan Kiai Hasyim merupakan kiainya para kiai. Terbukti, ketika bulan Ramadan tiba, para kiai dari berbagai penjuru tanah Jawa dan Madura datang ke Tebuireng untuk ikut berpuasa dan mengaji Kitab Shahih Bukhari-Muslim. Kini, Tebuireng semakin eksis menjadi salah satu pusat belajar agama Islam. Ribuan santri silih berganti datang untuk menuntut ilmu di pesantren dan sekolah yang ada di sana.