Brilio.net - Bagi banyak anak muda, puisi masih menjadi salah satu pilihan dalam mengekspresikan perasaannya, terutama kepada lawan jenis. Wajar saja jika kemudian kita banyak disuguhi kata-kata puitis di media sosial. Namun, dari sekian banyak yang gemar menuliskan kata-kata puitis, sedikit yang betul-betul menekuni dunia sastra, khususnya puisi.

Salah satu yang banyak mencurahkan perhatian untuk menekuni puisi adalah Muhammad Akid Ainul Haq (25). Mahasiswa Filsafat UGM ini pernah ngamen puisi di Jalan Malioboro, Yogyakarta pada tahun 2011. Menggunakan satu set sound system yang terdiri dari mikrofon, headset, dan kotak soud ia bersedia membacakan puisi dengan tarif Rp 5.000 per puisi.

Mekanisme pembacaannya adalah dengan memasangkan sepasang headset ke pelanggan, kemudian ia akan membacakan puisi yang dipilih. Sementara orang di sekitar tetap bisa menikmati lantunan syairnya melalui pengeras suara. Setiap hari selalu ada pelanggan yang meminta dibacakan puisi. Kebanyakan mereka adalah muda-mudi yang lagi mabuk kasmaran.

Ia menekuni aktivitas unik ini selama empat bulan karena menyadari penghasilan dari ngamen ini tidak cukup untuk kebutuhan hidupnya maupun idealismenya. Akid ingin puisinya memberikan makna yang lebih besar bagi kehidupan. "Di tengah hiruk pikuk kehidupan perkotaan ini, puisi itu seperti air hujan yang menghujani penikmatnya. Ia bisa menenteramkan hati penikmatnya," ujarnya Minggu (6/9).

Lalu, pada tahun 2010 ia bersama teman mahasiswanya, Rabu Pagisyahbana, berpikir untuk membuat pementasan puisi yang lebih besar, baik dari segi penonton maupun dari segi cakupan. "Gagasan awalnya adalah untuk mengembalikan puisi kepada pendengarnya. Tidak untuk menciptakan jarak antara pembaca dengan pendengar," sebut dia.

Dari kafe ke kafe ia berusaha mengisi acara pembacaan puisi. Selama dua tahun ia terus berjibaku dengan kerasnya kota metropolitan, Yogyakarta, demi mempopulerkan kembali sastra.

Usaha itu tidak sia-sia, membuahkan hasil sebuah Komunitas Ngopi Nyastro. Komunitas ini sendiri resmi berdiri pada 2012. Pada tahun itu pula, salah satu rekannya Awang kebetulan memiliki kafe, Bjong. Dari kesepakatan dengan rekannya itu lah komunitas Ngopi Nyastro rutin tampil paling tidak satu bulan sekali.

Menariknya, ia membuat penampilan komunitas ini terbuka dan dekat dengan penonton. Penonton dipersilakan membacakan puisinya sendiri. Lambat laun, dari tahun ke tahun, penikmat orasi puisi dari komunitas ini meningkat. Tiap acara rata-rata tiga ratusan orang setia menghiasi meja kursi yang disiapkan, di mana hampir semua penikmatnya adalah para mahasiswa. Tidak jarang pula, pelanggan kafe yang tidak tahu ada acara tersebut menjadi tertarik dan ikut serta.

Saat ini ia masih menikmati kesibukannya sebagai salah satu supervisor dari komunitas tersebut. Kedepan dengan komunitas itu ia ingin menjadikannya semakin kuat dan berpengaruh, ia juga ingin memperkuat perpustakaan sastra dari komunitas itu.