Jasa Pawang hujan penting digunakan oleh penyelenggara acara saat musim hujan tiba. Terlebih apabila acara yang diselenggarakan di ruang terbuka. Namun seringkali, orang awam dibingungkan dengan cara kerja pawang hujan. Pawang hujan dianggap erat hubungannya dengan hal supranatural atau gaib.

Untuk mencari jawaban tersebut, Brilio.net mengunjungi salah satu pawang hujan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Panggilannya adalah Mas Eko. Mas Eko mengatakan bahwa praktik pawang hujannya jauh dari hal klenik, namun menggunakan ilmu metafisika.

“Kita memandang bahwa ilmu pawang hujan sebenarnya ilmu non ilmiah bisa di ilmiahkan. Kenyataannya demikian dan saya membuktikan,” paparnya.

Ia menjadi pawang hujan sejak tahun 2000. Awalnya hanya untuk keperluan internal saja, namun lambat laun ada permintaan dari luar. Hingga kini ia mengatakan pada musim hujan banyaknya permintaan dalam satu bulan bisa mencapai 10-15 kali. Bahkan dalam satu hari bisa 3 kali melakukan pemawangan hujan.

Mas Eko mengelola padepokan pencak silat bernama Siteki Teratai. Di padepokan itu juga terdapat kelas bernama SP45 yang didalamnya mempelajari tentang pawang hujan. Mas Eko menceritakan aktivitasnya sebagai pawang hujan, namun sebagai orang awam kami kesulitan mengilmiahkan hal supranatural seperti yang ia ceritakan.

Menurutnya hal paling penting dimiliki oleh seorang pawang hujan di padepokannya adalah kemampuan berkomunikasi dengan alam, kemampuan komunikasi itu adalah komunikasi dasar yang nantinya ia gunakan untuk berdoa.

"Saya meminta belum tentu yang diminta pun mau karena sebenarnya alam ini kan hidup. Pohon hidup batu yang tidak bergerak sebenarnya hidup, apalagi yang namanya alam seperti air juga kan punya kehidupan. Jadi karena kita percaya yang namanya sedulur papat itu kan dari kekuatan empat penjuru mata angin. Terus kekuatan empat dari namanya tirto, agni, siti dan bayu nah ini termasuk air kan tirto ya dan bayu, air dan angin itu kan punya kehidupan," jelasnya.

Ia menambahkan, empat kekuatan alam yang ia sebutkan juga berada dalam tubuh manusia, sehingga setiap manusia bisa mengasah energi tersebut untuk berkomunikasi dengan energi yang lebih besar. Ia menyebut cara yang ia gunakan sesuai dengan agama yang ia anut yakni agama Islam. Selain itu ia juga memperhatikan budaya kejawen untuk menghormati budaya tempat ia tinggal.

Mas Eko kembali menekankan bahwa dirinya dalam melakukan praktik pawang hujan tidak menggunakan syarat yang aneh-aneh seperti umba rampe. Syarat yang ia mau hanya data pemesan, alamat lengkap, foto 4 sudut lokasi acara, nama acara, jam pelaksanaan,  jumlah peserta serta uang sebanyak Rp 77 ribu. Uang tersebut sebagai tanda tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi. Diinginkan doa yang mereka sampaikan sampai pada langit ke-7.

"Kami tidak menggunakan syarat aneh-aneh karena kami tidak menggunakan perewangan. Perewangan itu kekuatan jin untuk membantu pekerjaan manusia. Kalau pawang-pawang ada yang menggunakan yaa monggo silahkan," terangnya kepada brilio.net.

Syarat tersebut dikumpulkan 3 hari sebelum acara berlangsung, hal tersebut untuk melihat kemungkinan yang terjadi pada hari pelaksanaan.

"Contohnya kalau ada orang pesen, pawang hujan misalkan tanggal 20 desember nah kita lihat 20 desember hari apa, kalau hari ini jatuhnya sifat ini, kalau nanti hujan berarti hujan akan lebih banyak turun daerah ini itu mempelajari itu mas, jadi 3 hari itu kita mempelajari tentang itu. Ini nanti turunnya jam berapa hari apa. Bukannya kita mendahului tidak, minimal kita mengetahui kemungkinan kemungkinan yang ada. Ya sekarang seumpama di negara kita ada prediksi cuaca BMKG, BMKG itu memastikan atau hanya prediksi, artinya boleh kita memprediksi, nyatanya orang tidak mengatakan ini baik ini benjar ini buruk atau salah kan gitu."

Dari contoh yang ia berikan kemudian Mas Eko menjelaskan bahwa pawang hujan itu menggunakan teknologi. Ia menggunakan ilmu perbintangan dan matematika untuk menghitung hari selanjutnya ia juga melihat lokasi secara detail melalui GSP untuk melihat arah mata angin saat acara berlangsung.

Sementara itu adat dan budaya jawa yang ia maksud terkait dengan cara Mas Eko dan padepokannya menyelenggarakan acara syukuran. Secara berkala ia mensyukuri atas permohonan mereka yang terkabul terkait penolakan hujan. Syukuran menggunakan tumpeng gudangan lengkap dengan lauk pauknya. Syukuran dilakukan setelah acara selesai, bukan sebelum acara dimulai. Menurutnya esensi waktu syukuran sangat berbeda. Apabila dilakukan di depan terkesan seperti menyogok Tuhan.

"Saya ingin merubah, image masyarakat bahwa pawang hujan adalah hal-hal yang sifatnya klenik, sifatnya magis. Tetapi setiap manusia itu mempunyai energi khusus yang bisa digunakan untuk pawang hujan tanpa menggunakan hal yang sifatnya demikian" pungkas Mas Eko.