Brilio.net - Atmo Wiyono berasal dari Pandes, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Sejak ia kecil, setiap hari ia memperhatikan sang ibu saat membuat mainan tradisional. Dari situlah, tanpa diajari ia sudah bisa sendiri dan mulai meneruskan berjualan mainan tradisional. Sayangnya ia sudah tidak ingat lagi kapan persisnya mulai berjualan.

Berbeda dengan anak kecil lainnya yang masih asyik sekolah dan bermain, di usianya yang masih kecil dulu, Mbah Atmo sudah diminta untuk mencari uang. Sebab dirinya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Mbah Atmo juga tak pernah tahu bagaimana rasanya mengeyam bangku sekolah.

Mbah Atmo mainan tradisional © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Syamsu Dhuha

"Nak riyen niku anake wong ora duwe, niku mboten di sekolahke. Dadi meng diken golek pangan. Ngih ken nopo-nopo riyen (Dulu anak tidak mampu, tidak disekolahkan. Jadi disuruh untuk cari makan, disuruh macam-macam)," tutur Mbah Atmo saat ditemui brilio.net akhir Juli lalu.

Dulunya demi mendapatkan uang yang lebih, Mbah Atmo rela berjualan keliling ke pasar-pasar. Mulai dari rumahnya di Pandes, hanya dengan jalan kaki. Dia berkeliling ke pasar Bantul, Godean, hingga pasar Imogiri, mulai berangkat dari rumah pukul 01.00 WIB malam atau pernah juga mulai pukul 03.00 WIB pagi.

Kini di usia senjanya, yakni 82 tahun, kaki tuanya sudah tak sanggup untuk berjalan lagi. Meskipun begitu, sampai saat ini ia masih semangat mencari nafkah sendiri. Tangan keriputnya itu masih sangat lihai memproduksi mainan tradisional. Sekarang ia memiliki rumah kecil yang dijadikannya showroom untuk meletakkan display mainannya.

Mbah Atmo mainan tradisional © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Syamsu Dhuha

Semua mainan itu dibuat Mbah Atmo sendiri, tanpa bantuan siapa pun. Mulai dari memotong, mewarnai, hingga mengenyam kertas menggunakan kayu dan benang. Semuanya dikerjakan dari bahan yang amat sederhana, hanya berbahan kertas bekas, dan potongan bambu. Bahan dasar biasanya ia dapatkan dari bekas peralatan kantor yang tidak digunakan. Ada juga yang berbahan dasar minyak kertas baru yang Mbah Atmo beli sendiri.

Mainan tradisional yang ada di rumah Atmo sangatlah komplit dan beraneka ragam. Mulai dari kitiran, kurungan, payung-payungan, kipas lipat, otok-otok, wayang kertas, dan lain sebagainya. Harga yang diberikan juga masih sangat murah. Misalnya dengan uang Rp 10.000 saja, sudah bisa mendapatkan tiga wayang kertas milik Mbah Atmo.

Kendati masih dihargai murah, nyatanya tak setiap hari dagangannya laris manis. Semua itu lantaran tergerus perkembangan zaman modern. "Sakniki pun kalah kaleh mainan saking plastik (sekarang sudah kalah sama mainan berbahan plastik)," lanjut Mbah Atmo.

Pembeli mainan tradisional Mbah Atmo sekarang biasanya dari lingkungan guru TK maupun SD, yang ingin membelikan anak muridnya mainan. Selain itu ada lagi pesanan dari acara pernikahan. Mbah Atmo hanya membuat mainan dengan jumlah banyak saat ada pesanan. Yang paling laris di antara semua mainan sekarang adalah kitiran dan payung megar mingkup.

Mbah Atmo mainan tradisional © 2019 brilio.net

foto: brilio.net/Nur Luthfiana

Sudah lebih dari puluhan tahun wanita tua itu tetap semangat melestarikan warisan leluhur agar tetap ada. Mbah Atmo tak pernah ingin merepotkan anak-anaknya dalam mencari uang. Karena itu sampai sekarang ia masih terus bersemangat berjualan.

"Mengke nek payu keno ngih jajan. Nek mboten uwak-uwik ngih ora jajan. Jaluk anak niku nek duwe, nek mboten duwe. Anak duwe butuh dewe (nanti kalau laku bisa buat jajan. Kalau tidak bergerak ya tidak jajan. Minta anak kalau punya, kalau tidak punya. Anak punya kebutuhan masing-masing)," tutup Mbah Atmo.