Brilio.net - Banyak cara yang dilakukan oleh orang untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satunya adalah dengan bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Mereka rela kerja jauh ke negeri orang demi mendapatkan penghasilan yang cukup.

Hal itu pula yang dialami oleh TKI bernama Mbok Cikrak. Perempuan cantik ini harus rela jauh dari keluarga untuk mengadu nasib di negara orang. Masalah ekonomi keluarga mengharuskan dirinya bekerja ke Taiwan saat usia masih 18 tahun.

"Waktu itu saya jadi TKI karena masalah ekonomi. Saya orang biasa aja, ingin berubah, ingin bantu keluarga. Saya lihat tetangga saya kerja di luar negeri pada bangun rumah, saya ingin kaya gitu. Ingin sekolah lagi nggak punya duit, jadi ya sudah jadi babu-lah," katanya kepada brilio.net saat ditemui belum lama ini.

Mbok cikrak © 2018 brilio.net

Beruntungnya, selama bekerja di Taiwan, ia tidak pernah mendapat pengalaman buruk. Ia justru menikah dengan pria asal Taiwan. Kini dirinya membantu sang suami mengurus bisnis travel.

Sayang, tidak semua TKI di Taiwan memiliki nasib baik seperti dirinya. Ia kerap menemukan kasus TKI terlantar di bandara. Biasanya agen penyalur tenaga kerja membiarkan para TKI itu di bandara. Tidak sedikit dari mereka yang tertipu dengan tiket pulang.

"Orang Taiwan enggak peduli, dia sudah ngurusin gitu aja, habis itu ya sudah enggak mau ngurusin lagi," katanya.

Mbok cikrak © 2018 brilio.net

Dari melihat kasus itu, dirinya terpanggil selama 10 tahun berkutat mengurus TKI di bandara Taiwan. Persoalan TKI dari sepele hingga serius diurusnya. Dirinya bahkan digelari ibu peri oleh para TKI.

"Yang enggak boleh itu kayak senter, pulang ke Indonesia kadang-kadang temen-temen bawa senter, raket listrik, kipas angin. Soalnya barang-barang itu di pasar malem sini kan murah banget. Jadi mereka bawa buat di kampung. Ternyata enggak boleh dibawa pulang harus di cargoin," ujarnya.

Kini Mbok memanfaatkan kemajuan teknologi, mulai dari Facebook, YouTube hingga Bigo Live. Dari situ Mbok melayani pertanyaan sambil sesekali menghibur agar penontonnya tak bosan.

"Iya aku sering di Bigo. Jadi mereka tanya kan aku bisa langsung jawab, kasih saran. Pokoknya memanfaatkan apa yang ada," kata ibu dua anak itu.

Tak diduga, dari Bigo, Mbok bisa mendulang sekitar Rp 15 juta per bulan. Uang tersebut belum termasuk usaha kosmetik yang dijalankannya. Pundi-pundi uang tak dimasukkan semua ke kantong pribadinya. Melalui yayasan, Mbok membantu kehidupan sekitar 200 anak yatim.

Sampai sekrang Mbok terus membantu. Ia juga memberi tips untuk para pekerja yang saat ini berada di luar sana.

"Pintar-pintar memanfaatkan teknologi. Kalau ada masalah jangan langsung kabur. Karena kalau kabur gitu saja kita akan susah dapat kerja lagi," pungkasnya.