Brilio.net - Di sini negeri kami, tempat pagi terhampar, samudranya kaya raya, tanah kami subur, Tuhan. Di negeri permai ini, berjuta rakyat bersimbah luka, anak kurus tak sekolah, pemuda desa tak kerja. mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar, bunda relakan darah juang kami, tuk membebaskan rakyat, padamu kami berjanji.

Paragraf di atas merupakan penggalan lagu yang akrab bagi para aktivis tahun 1990 an hingga kini. Hampir semua aktivis yang menggelar aksi demonstrasi atau acara-acara mahasiswa menyanyikan lagu berjudul Darah Juang tersebut. Lagu ini juga disebut-sebut menjadi pembakar semangat saat aksi besar-besaran meruntuhkan rezim Orde Baru.

Lagu itu lahir dari seorang musisi John Tobing, saat bergulat dengan dunia aktivis mahasiswa tahun 1990 an. Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1994 selalu berusaha mengabarkan apa yang dirasakan lewat lagu-lagu ciptaannya. Jika dihitung, hingga sekarang sudah ada 600 lebih lagu yang dicipatakannya. Hampir semua berisi tentang semangat pergerakan melawan ketidakadilan.

Di sebuah pagi di awal Oktober lalu, brilio.net berbincang santai di rumahnya yang sederhana di Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Rumahnya berada di kampung yang tenang dengan pepohonan rindang. Tak jauh dari rumahnya, beberapa petak sawah menghijau. Hampir tiga jam kami berbincang tentang lagu, dunia aktivis, intrik-intrik politik Tanah Air, hingga cita-cita yang ingin sekali diwujudkan. Obrolan santai itu makin lengkap karena ditemani segelas teh hangat dan lagu-lagu pergerakan yang sesekali diputar.

Nah, berikut sebagian petikan bincang santai dengan pencipta lagu Darah Juang yang punya nama lengkap John Sony Tobing yang kini berusia 51 tahun. Di usianya yang sudah setengah abad itu, ia tetap membikin lagu, dan akan terus menciptakan lagu. “Entah sampai kapan,” katanya.

 

v © 2017 brilio.net
Foto: John Tobing/Brilio.net



Bagaimana kabar Mas John? Yang saya dengar penglihatan Mas John terganggu?

Ya, penglihatanku terganggu. Sudah lama. Sudah pernah ke dokter di Jakarta. Awalnya mata kiri bermasalah dan mata kanan normal. Tapi saraf mata kanan tertarik sehingga keduanya jadi sulit melihat. Lalu, aku berobat ke Malaysia dengan bantuan biaya teman. Hasilnya aku diberitahu bahwa mataku akan buta dengan sendirinya. Tapi waktunya masih lama, ya sekitar saat usiaku 90 tahun. Saya bilang ke dokter, ya berarti sebelum saya mati saya masih bisa melihat kan dok? (ia lantas tertawa).

Saraf mata ini akan putus satu demi satu. Dan pada waktunya nanti akan buta total. Aku sekarang lagi pengobatan herbal. Bukan mengobati, melainkan hanya memperlambat putusnya saraf saja. Sekarang membaca masih bisa. Malam juga bisa tapi harus dengan lampu terang. Tapi memang disarankan tidak dipaksakan. Karena itu hanya akan mempercepat saraf putus. Kalau naik motor masih bisa tapi nggak berani jauh. Kalau dulu ke mana-mana berani bawa mobil sendiri. Sekarang sudah tidak.
Kalau malam tanpa bantuan lampu terang, aku sudah sulit mengenali wajah orang. Kalau dengar suaranya baru ingat. Oh ini kamu, oh ini dia. Ya begitu.

Aku sudah pernah diserang stroke. Stroke ringan. Tahun 2007. Lalu stroke stroke lagi.Pernah sampai putus asa, wah mati sudah aku.


Soal lagu nih, bagaimana awal menciptakan lagu Darah Juang?

Tahun 1991. Waktu itu masih aktif menjadi mahasiswa Filsafat UGM. Mahasiswa kan mulai bergerak tahun 1988. Sebelumnya kelompok diskusi saja. Tahun 1988 mulai bergerak dimulai dari Fakultas Filsafat UGM. Kita turun ke jalan dan mengajak semua kelompok-kelompok diskusi ikut serta. Sejak itu terus bergerak. Hingga tahun 1991 itu puncak-puncaknya bergerak.

Aku sendiri sebenarnya selalu belajar dari lingkungan sekitar, melihat alam. Dari situ aku melihat Indonesia ini kaya raya tapi kenapa banyak warganya miskin. Hal itu mengganggu banget. Lalu aku bikin lagu. Tapi saat terlalu emosi, entah kenapa aku nggak bisa bikin liriknya. Lalu aku minta seorang kawan membikinkan. Lalu aku tambahi dan kurangi.

Proses lirik lagu Darah Juang itu panjang. Kita mainkan lagu itu saat turun jalan kawan-kawan KM (Komunitas Mahasiswa,red). Ada bagian lirik yang diubah. Budiman Sujatmiko juga pernah ikut mengedit lirik lagu tersebut. Hingga akhirnya dibawa Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). Di situ dinyanyikan, tapi diedit lagi. Dan awalnya lagu itu nggak ada judul. Yang memberi judul itu ya teman-teman yang didahului diskusi panjang.


Banyak yang tersentuh mendengar lagu itu, bagaimana sebenarnya reaksi awal teman-teman Mas John mendengar Darah Juang?

Pada saat FKMY mau kongres di Muntilan. Dinyanyikanlah lagu itu. Lalu ada yang nangis. Di situ ternyata lagu itu bisa membuat orang tersentuh. Pernah dinyanyikan pada waktu aktivis meninggal di Jakarta, dan ada yang pingsan. Ternyata lagu itu punya dampak yang besar. Aku kaget juga kok sampai begitu. Ada yang pingsan. Ada yang nangis. Terakhir aku baru tahu kalau lagu itu ikut menurunkan Suharto.


Lagu Darah Juang pernah dilarang dinyanyikan di salah satu kampus di Yogyakarta, bagaimana menurut Mas John?

Ya biasa saja. Nggak apa-apa. Karena masih banyak orang yang menyanyikan lagu itu. Dan perlu dilihat bahwa lagu itu adalah potret Indonesia. Tentang kemiskinan warganya, dan tentang kayanya Indonesia. Ya kalau dia (yang melarang) tidak melihat fenomena itu ya nggak apa-apa melarang. Tapi kalau realitasnya demikian, bagaimana?


Sampai sekarang sudah berapa lagu yang diciptakan?

Yang aku catat itu 300 lagu. Tapi yang tak kucatat lebih dari 300. Kalau ditotal yang lebih dari 600.


Belajar menciptakan lagu dari mana?

Aku belajar sendiri. Tidak les atau studi. Aku tiap hari bikin lagu. Kadang sama liriknya kadang cuma lagunya saja. Aku sejak sekolah sudah bermusik. Bikin band.

 

v © 2017 brilio.net
Foto: Dokumentasi Sigit Djatmiko/odishalahuddin.wordpress.com


DI tengah obrolan, ia memperdengarkan lagu ciptaan barunya. Dia memberi judul lagunya Panen Padi Lagi. Lagu itu agak rancak dan terdengar gembira. Lalu ada lagu untuk orangtua. Lagu itu berisi penghormatan yang tinggi kepada seorang ibu yang sangat baik. Ia mendoakan ibunya lewat lagunya tersebut. Katanya, lagu itu diciptakannya pada 24 Agustus lalu. John lahir pada 1 Desember 1965 dan merupakan anak ke-3 dari 8 bersaudara dari pasangan Mangara Lumbantobing dan Adelina Sinaga. Ayahnya seorang hakim yang kerap berpindah tugas ke berbagai kota di Indonesia.
John Tobing pernah menggelar konser pada 7 Juni 2013 di Teater Kecil komplek Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini. Gedung berkapasitas 250 orang ini dipadati para aktivis yang hendak menyaksikan penciptanya menyanyikan lagu Darah Juang dan lagu-lagu lain di album Romantika Revolusi. 

 

Apa sih sebenarnya motif membuat lagu? Apa nggak pengen bikin lagu komersial?

Dulu, cita-citaku itu sederhana. Bikin lagu itu ingin membuktikan bahwa nada itu ternyata banyak banget. Dulu berpikir pasti lagu mudah tabrakan. Tapi ternyata bisa tidak tabrakan. Kedua, aku pengen mengabarkan saja apa yang kurasakan. Aku geregeten dengan Indonesia, maka aku bikin lagu. Jadi bukan bermaksud kaya dari lagu.


Kembali ke masa lalu, kapan sih masuk Yogyakarta?

Tahun 1982. Orangtuaku kan PNS di Kalimantan. Aku dari Lampung, lalu pindah ke Kalimantan. Lalu aku sekolah SMA di Jogja, di SMA Santo Thomas. Waktu di Santo Thomas aku nggak lulus karena saking bandelnya. Waktu itu satu angkatan 15 orang. Tapi aku nggak lulus, lalu mengulang setahun di SMA Katolik Banjarmasin. Tahun 1986 rampung dan masuk UGM. Waktu itu aku pilih jurusan Kedokteran Gigi UGM, Filsafat UGM, dan Astologi di IPB. Tapi aku juga daftar ke UKI Jakarta jurusan hukum. Saat pengumuman aku diterima di Filsafat UGM dan UKI Jakarta. Tapi akhirnya aku pilih Filsafat UGM.


Masuk dunia aktivis mahasiswa dipengaruhi siapa?

Aku awalnya nggak pengen jadi aktivis. Aku maunya jadi mahasiswa yang lurus-lurus saja. Tapi ada teman yang mengganggu aku, yakni Wibi Warao dan Sugeng Bahagyo. Aku nggak bisa separuh-separuh, jadilah aku masuk dunia aktivis. Padahal maunya masuk UGM itu pertobatan karena waktu SMA aku nakal hingga nggak lulus Santo Thomas. Tapi, lama kelamaan senang berada di dunia aktivis. Saya mengawali masuk di Senat Mahasiswa bidang kesenian.

Pada masa-masa itu, kami bikin lembaga Biro Pembelaan Hak Mahasiswa Filsafat (BPHMF) yang menjadi tandingan Senat Mahasiswa. Ada teater, musik, diskusi, dan lain-lain. Di biro ini juga mencoba menjalin komunikasi antara mahasiswa, dosen, dan karyawan perguruan tinggi. Agar segala macam masalah di kampus dibahas besama-sama.


Lulus UGM tahun 1994, lalu apa kegiatan Mas John setelah itu?

Aku sering pindah-pindah kerja. Entah kenapa, selalu nggak kerasan. Pernah kerja di LSM hanya 10 hari. Pindah ke perusahaan pers yakni pers Batak yang cuma sebulan. Yang agak lama ya aku bikin usaha di Pekanbaru. Aku bisnis mebel 7 tahun. Tapi bisnis mebel tersendat lantaran sebagai pengusaha kecil nggak bisa menahan laju harga yang naik.

Waktu itu aku juga jadi pengurus DPD PDIP Provinsi Riau selama 4 tahun, tahun berapa ya, aku lupa. Ya sekitar 2005 sampai 2010. Aku pernah nyalon jadi dewan provinsi pada pemilu 2009. Tapi hasil perolehan suara kalah. Karena memang waktu itu nggak punya uang dan aku nggak mau begitu.


Kembali ke dunia musik, bagaimana perjalanan musik Mas John?

Awalnya waktu masih sekolah di Jogja, aku pernah punya band. Dan sampai sekarang aku terus bermusik, bikin lagu. Tapi aku pengen banget bikin konser orkestra lagu Darah Juang. Cita-citaku lagu Darah Juang dinyanyikan orkestra-nya Adi MS. Itulah cita-citaku. Kini pengen juga menciptakan lagu-lagu seperti Darah Juang yang mengajak membangun negeri.

Sebagai mantan aktivis era 90 an, bagaimana melihat Indonesia saat ini?
Aku melihat perubahan menarik ada di era Jokowi. Ajakan yang dilakukannya adalah bekerja, nggak usah mikirin kehebatan orang, kejelekan orang. Dan sampai sekarang, buktinya dia nggak korupsi. Meski posisinya sekarang dia dikeroyok oleh banyak pihak. Aku bukan pendukung Jokowi, tapi aku mengapresiasi kerja Jokowi.

 

v © 2017 brilio.net
Foto: Dokumentasi Pribadi


Jarum jam menunjuk angka 12. Artinya sudah hampir tiga jam kami berbincang di rumahnya yang damai. Sebelum pamit, kami mengambil foto untuk keperluan publikasi. Kami mendapat CD album Romantika Revolusi yang berisi 9 lagu termasuk di dalamnya lagu Darah Juang. Juga album terbarunya berjudul Bergeraklah Mahasiswa yang berisi 10 lagu.

John Tobing pernah putus asa, saat kesehatannya menurun dan dia kehilangan pekerjaan. Tapi semangatnya untuk hidup terus dinyalakannya hingga sekarang. Ia bersyukur bisa membesarkan dan mendidik tiga anaknya, meski pernah meminta surat keterangan miskin agar bisa menyekolahkan anaknya. Tapi John tetap berpikir positif, bahwa perjuangan dalam hidup tak akan berakhir. Kini ia penuh semangat bekerja, mencipta lagu, dan memberi manfaat kepada sesama. Ia masih sering menghadiri acara-acara aktivis mahasiswa meski dalam keterbatasan penglihatannya.