Brilio.net - Virus Corona yang pertama kali terdeteksi di Wuhan, China hingga kini masih jadi pusat perhatian dunia.  Data per 11 Februari 2020 menunjukkan korban jiwa virus Corona sudah mencapai 43 ribu jiwa dan menawaskan 1.018. Ada satu kelompok yang lolos dengan catatan kesehatan, yaitu anak-anak.

Seperti dikutip Liputan6 dari Livescience para ahli mencatat beberapa hal, seperti kelompok dewasa yang tertular virus, juga data yang dianalisis mengungkap bahwa usia rata-rata pasien virus Corona antara 49-56 tahun.

Ada pula kasus terbaru yang menginfeksi dua bayi yang baru lahir, menurut pejabat kesehatan China. Namun, hanya beberapa anak yang didiagnosis dengan virus Corona, menurut sebuah artikel yang diterbitkan pada 5 Februari 2020 di Journal of American Medical Association.

"Tidak jelas mengapa anak-anak bisa lolos dari dampak terburuk virus yang dijuluki 2019-nCoV ini. Padahal ada pola sama untuk penyakit menular seperti cacar air dan campak, termasuk sindrom pernafasan akut akut (SARS) dan sindrom pernapasan Timur Tengah (MERS)," kata Dr. Andrew Pavia, kepala Divisi Penyakit Menular Anak di Universitas Utah seperti dikutip brilio.net, Rabu (12/2).

Pavia mengatakan, bisa jadi hal ini karena adanya perbedaan respons imun anak-anak dibandingkan orang dewasa. "Satu hipotesis bahwa respons imun bawaan (respons dini pada kelompok patogen) cenderung lebih aktif pada anak-anak," katanya.

Menurut Pavia, sistem kekebalan bawaan pada anak menjadi garis pertahanan pertama melawan patogen. Sel-sel dalam sistem itu dengan cepat menanggapi penjajah asing (dalam hal ini virus).

Sebaliknya, sistem imun adaptif belajar mengenali patogen spesifik, tetapi membutuhkan waktu lebih lama untuk bergabung dalam pertempuran. Jika respons imun bawaan pada anak lebih kuat, mereka mungkin melawan infeksi virus corona lebih mudah daripada orang dewasa, atau hanya menderita gejala ringan.

Krys Johnson, seorang ahli epidemiologi di Temple University College of Public Health juga mengatakan, kasus virus corona ini bukan tidak menginfeksi anak-anak, tapi sistem kekebalan anak yang kuat bisa membuat mereka lebih bisa melawan virus.

Demikian pula, kata Johnson, orang dewasa 25 kali lebih mungkin meninggal akibat cacar air daripada anak-anak. Dan, meskipun influenza dapat menginfeksi bayi, tapi anak-anak biasanya berhasil dengan lebih mudah daripada orang dewasa, kata Johnson. Tingkat kematian akibat flu musiman pada orang dewasa adalah 10 kali lipat dari angka kematian pada anak-anak.

Virus corona ke anak-anak  merdeka.com

Ilustrasi/foto: merdeka/Imam Buhori

Dalam dua studi kasus baru 2019-nCoV, yang diterbitkan 6 Februari di jurnal JAMA, menemukan bahwa pasien yang membutuhkan rawat inap memiliki usia rata-rata 56 tahun. Studi ini melibatkan 138 pasien dirawat di Rumah Sakit Zhongnan di Wuhan antara 1 Januari dan 28 Januari. Para ahli mencatat, lebih dari separuh pasien itu adalah pria.

Sebuah studi kasus lain dari 13 pasien dengan infeksi corona di Beijing termasuk anak-anak, satu berusia 2 tahun dan satu 15 tahun. Para penulis studi kasus yang menerbitkan penelitiannya dalam JAMA, mencatat bahwa sebagian besar orang yang terinfeksi adalah orang dewasa muda atau setengah baya yang sehat, dengan hanya satu pasien yang berusia lebih dari 50.

Hasil penelitian menemukan fakta bahwa anak-anak dengan gejala ringan mungkin tidak akan diuji dan dikonfirmasi memiliki virus corona.

"Anak-anak mungkin mudah terkena infeksi virus daripada orangtua dan kakek neneknya. Namun sistem kekebalan tubuh anak ini dapat menjelaskan ketahanan tubuh mereka terhadap virus," kata Pavia.

Pavia menyebutkan salah satu alasan anak-anak lebih sehat dibandingkan orang dewasa. Seperti mereka yang tidak pernah terpapar asap rokok ataupun polusi udara.

Dr. James Cherry, profesor pediatri dan penyakit menular di Geffen School of Medicine UCLA turut berkomentar. Menurutnya, anak-anak yang terinfeksi SARS dan menderita pneumonia, cenderung tidak mengalami komplikasi imunologis seperti orang dewasa.

"Orang dewasa lebih rentan terhadap respons kekebalan yang menyebabkan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). Ketidakseimbangan dari aktivitas sel kekebalan ini mengirimkan sinyal peradangan di paru-paru hingga menjadi overdrive, pada akhirnya orang itu tidak bisa lagi bernapas. Studi menunjukkan bahwa sekitar 40% orang dengan ARDS meninggal. Sedangkan pada anak-anak sedikit kemungkinan fatal," katanya.