Pemerintahan Prabowo Subiantodan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sedang berupaya mendorong efisiensi anggaran di berbagai kementerian dan lembaga. Tujuannya adalah agar belanja negara lebih berdampak langsung bagi masyarakat. Namun, langkah ini membawa konsekuensi bagi beberapa lembaga, termasuk Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG).

Seperti yang dilaporkan oleh Antara, pada rapat yang berlangsung pada Kamis, 6 Februari 2025, disepakati bahwa pagu indikatif APBN 2025 untuk BMKG mengalami pemotongan dari Rp2,826 triliun menjadi Rp1,403 triliun. Sementara itu, Basarnas juga mengalami pengurangan anggaran dari Rp1,497 triliun menjadi Rp1,011 triliun.

Komisi V DPR RI juga menyepakati pengurangan anggaran untuk Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman, Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, serta Kementerian Transmigrasi. Ketua Komisi V DPR RI, Lasarus, menjelaskan bahwa pengurangan ini sesuai dengan tata tertib dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 serta Surat Keputusan Menteri Keuangan.

"Pagu indikatif itu kewenangan penuh pemerintah, ya, itu sudah pakem, makanya ada Inpresnya dan turun surat dari Menteri Keuangan. Setelah disahkan pagu indikatifnya kita akan rapat khusus dengan kementerian dan lembaga terkait, yang kemudian diperdalam lagi programnya dengan eselon 1-3," jelas dia.

Kepala Biro Hukum, Humas, dan Kerja Sama BMKG, Muslihhuddin, menyatakan bahwa pihaknya mendukung arahan efisiensi anggaran. Namun, ia mengingatkan bahwa pemotongan ini berdampak signifikan terhadap belanja modal dan pemeliharaan yang tidak dapat dilaksanakan pada tahun 2025.

BMKG menekankan pentingnya memenuhi batas minimum anggaran untuk memastikan layanan yang andal dalam bidang meteorologi, klimatologi, geofisika, dan modifikasi cuaca. Efisiensi anggaran ini mengancam banyak Alat Operasional Utama (Aloptama) yang terancam mati karena pemeliharaan berkurang hingga 71 persen. Hal ini berpotensi mengganggu kemampuan untuk mendeteksi dinamika cuaca, iklim, kualitas udara, gempabumi, dan tsunami.

Penyebaran informasi gempa bumi dan tsunami menurun

BMKG memiliki hampir 600 alat sensor untuk pemantauan gempa bumi dan tsunami di seluruh Indonesia. Sayangnya, mayoritas dari alat ini sudah melampaui usia kelayakan.

Akibatnya, ketepatan akurasi informasi cuaca, iklim, gempa bumi, dan tsunami menurun dari 90 persen menjadi 60 persen. Kecepatan informasi peringatan dini tsunami juga melambat dari 3 menit menjadi 5 menit atau lebih, dan jangkauan penyebarluasan informasi gempa bumi dan tsunami menurun hingga 70 persen.

Selain itu, kajian dinamika iklim dan tektonik jangka menengah dan panjang di Indonesia menjadi sulit terlaksana. Modernisasi sistem dan peralatan BMKG terhenti, yang berdampak pada keselamatan transportasi udara dan laut yang membutuhkan akurasi tinggi. Layanan untuk ketahanan pangan, energi, air, serta pembangunan berketahanan iklim dan bencana juga terganggu.

Ajukan dispensasi anggaran

BMKG menganggap mitigasi ancaman bencana Geo-Hidrometeorologi di Indonesia sangat penting dan tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, mereka mengajukan permohonan dispensasi anggaran untuk memastikan keselamatan masyarakat dari ancaman bencana yang bisa terjadi kapan saja. Dukungan yang maksimal diperlukan untuk membangun masyarakat yang tahan bencana.