Brilio.net - Setiap orang memiliki jalan hidupnya sendiri-sendiri. Tapi bisa saja garis hidup membuat seseorang seakan terjebak dalam dunia yang sama sekali tak diinginkan. Seperti yang dirasakan Badi (40) yang berdomisili di salah satu kota kecil Jawa Timur. Sudah sejak SMP pria ini merasakan ada getaran yang berbeda dalam dadanya terhadap sesama jenis. Namun semasa SMP dan SMA masih dalam tataran 'wajar', sekadar suka. Hal ini bukan tanpa alasan.

Tak pernah terlupa dalam ingatan Badi, ketika duduk di kelas 2 SD dia mendapat pelecehan seksual dari tetangganya. "Dia seorang bapak-bapak muda," kata pria yang memiliki dua kakak, pria dan wanita, ini kepada brilio.net melalui layanan story telling bebas pulsa ke 0-800-1-555-999, Kamis (21/1). Ketika itu Badi dititipkan oleh orangtuanya. Ayah Badi sedang sakit parah ketika itu, dan ibunya sibuk menjaga ayah.

Selanjutnya, Badi sempat menceritakan kasus pemerkosaan tersebut kepada ibunya saja, tapi ibunya hanya terdiam. Lagi pula, pada tahun 1982 itu, kecanggihan teknologi informasi tak sepesat saat ini. Kasus pemerkosaan tak mudah terungkap di media massa dan langsung ditindaklanjutin. Jadi, kasus yang menimpa Badi ini masih dianggap aib.

Tak pernah diduga pelecehan seksual di masa kecil itulah jadi 'pemicu' rasa nyaman Badi berhubungan lebih intim dengan sesama pria. Badi bilang mulai merasa tertarik pada sesama jenis sejak duduk di bangku SMP. Baru ketika duduk di bangku kuliahlah, Badi mulai dekat dan menjalin hubungan sejenis itu.  

"Pada umur 26 pas masa-masa tugas akhir, saya mulai kenal internet dan dunia gay. Ketika itulah saya pertama kali berhubungan badan," aku lelaki Badi yang mengaku kuliah selama delapan tahun karena banyak masalah yang dihadapi, bukan karena bodoh.

Di sisi lain, Badi mencoba jujur kepada sang ibu bahwa dia mengalami punya orientasi seksual yang berbeda. Kala itu dia masih mahasiswa. Badi terkejut dengan respons sang ibu. Dia sudah mempersiapkan diri untuk dimarahi bahkan diusir dari rumah. Faktanya, ibunya hanya tergugu diam dengan mata berkaca-kaca.

"Saya justru merasa menyesal telah bilang saya ini gay," kata Badi sambil menangis tersedu, mengingat pada akhirnya ibunya meninggal pada tahun 2003 akibat sakit.

Sepeninggal ibunya, Badi merasa kehilangan pegangan hidup. Terlebih bila mengingat semenjak ayahnya meninggal, sang ibu berjuang sendirian membesarkan Badi dan kedua kakaknya. Saat wisuda kuliah pun, sang ibu tak bisa menyaksikan, hanya ditemani sang kakak. Lantas, Badi mencoba jujur kepada kakak perempuannya, bahwa dia seorang gay. Meskipun tak marah dan tak mendukung, sang kakak berpesan supaya jika Badi ingin ikut dirinya, Badi harus mengikuti aturannya. Pesan kedua adalah bahwa jangan sekali-sekali Badi membuat malu keluarga. Terlebih di Indonesia, menjadi penyuka sesama jenis pasti menimbulkan kontra banyak pihak.

Lebih lanjut Badi bercerita, dia sempat bekerja di Kalimantan Timur, ikut dengan pamannya. Di sanalah dia berkenalan dengan seorang pria sepantaran atau sekitar beda usia dua tahun yang menjadi cinta pertamanya. Namun, pacarnya itu juga memiliki kekasih wanita.

Tiga tahun lamanya Badi jalan dengan pria A ini. Malah, Badi sering tinggal di kos pacarnya ini ketimbang di rumah paman. Dia juga tak peduli dijodohkan dengan wanita oleh pamannya, sebab dia sedang mabuk kepayang dengan pria A. Hubungan mereka sempat diwarnai putus-sambung.

"Tahun 2007 saya dan A putus baik-baik karena dia pulang ke tempat asalnya di Sulawesi Utara, mau dijodohin sama orangtuanya. Tapi sampai sana, dia menghubungi saya dan kami mengobrol untuk mencari kehidupan sendiri. Saya menyampaikan punya sahabat di Pulau Dewata yang bisa membantu mencarikan pekerjaan kami berdua, mengingat kalau balik ke Kalimantan juga nggak mungkin. Singkat kata setelah saya mengenalkan sahabat dan pacar saya ini, mereka malah jalan sendiri. Ya, pagar makan taneman begitu," papar pria yang sekarang sibuk berwiraswasta bidang kuliner.

Rasa sakit terhadap kekasihnya tak berhenti sampai di situ. Setelah benar-benar putus, sekitar tahun 2013 atau 2014 lalu, Badi tak sengaja mengetahui aktivitas A di media sosial khusus komunitas gay. Hal ini membuat Badi mengernyit bukan main, sebab A sudah memiliki istri dan anak. Akhirnya keduanya terlibat obrolan lewat dunia maya yang sial bagi Badi justru menimbulkan luka baru. Badi mengatakan bahwa A mengaku hanya memanfaatkannya selama pacaran di Kalimantan Timur dulu karena A kesepian.

"Padahal dia memutuskan pacar ceweknya lewat telepon di depan saya. Si ceweknya juga malah nangis-nangis nggak peduli dia gay. Kata-katanya itu yang bikin saya sakit hati. Saya merasa jadi lelaki paling bego!" lanjut Badi.

Hubungan asmara Badi dan sesamanya tak berhenti pada A. Ada pria B dan C yang menghiasi kehidupannya, namun semuanya kandas. Pada tahun 2013 sampai sekarang, belum ada sosok yang membuatnya bisa melabuhkan hati, baik pria maupun wanita. Hanya saja, dia baru benar-benar berhenti berhubungan badan dengan sesama setahun belakangan.

Namun begitu, tawaran dari para pria datang silih berganti, terkhusus dari pria yang justru sudah punya istri.

"Ada yang menyarankan saya ke Malaysia untuk dijadikan gundiknya, padahal sudah punya istri. Kan, kasihan istrinya. Ada yang dari Jakarta, suruh saya ke Jakarta. Wah, saya nggak tahu Jakarta, salah-salah malah kena tipu," ujarnya.

Badi juga bilang dia tak bisa menjalani hubungan dengan pria dan wanita sekaligus atau yang dikenal dengan biseksual. Badi mengaku kasihan terhadap si perempuan. Kebetulan, dia dan mantan pacarnya yang pertama, A, tadi sempat mencoba ke lokalisasi untuk menggugah hasrat mereka ke lawan jenis. Sayangnya, itu tak berhasil.

Tapi dari semua tawaran pria gay beristri itu, tak ada yang bisa menggaet hati Badi. Sebab seiring bertambahnya usia, dia merindukan sebuah keluarga. Intinya, dia ingin menemukan pasangan yang melengkapi separuh jiwanya untuk menghabiskan sisa hidup bersama.

"Saya memang bukan umat yang taat beribadah, tapi saya selalu berdoa dalam hati bahwa Tuhan saya ingin menemukan pasangan. Tapi begini, belakangnya akhirnya saya terserah Tuhan mau ngasih cewek atau cowok. Tapi memang, dalam lubuk hati ingin cewek karena ingin punya keturunan juga," ungkap Badi yang sempat terpikirkan punya anak tanpa harus memiliki istri. Bagaimanapun, dia mengaku hidup sendirian itu tak enak. Mau mengandalkan saudara atau keponakan juga tak mungkin. Kalau orangtua punya anak, anak-anak itulah yang bisa menjadi penentram jiwa kala usia senja.

Selain harapan mendapatkan pendamping, Badi juga menekankan sekali harapannya pada semua khalayak, untuk tak asal menghakimi kaum gay.

"Coba deh, lihat, sekarang banyak anak-anak seusia SMA itu sudah ada yang gay. Dan, kalau ditanya apa mereka mau terlahir sebagai cowok penyuka sesama jenis, tentu saja nggak ada yang mau. Begitu juga saya. Maka dari itu, ada baiknya mereka-mereka yang suka menghakimi kami mau lebih dekat dengan kami, mengobrol bersama, dan mencari solusi bersama. Termasuk orangtua yang mungkin kedapatan anaknya gay. Jadi, jangan dimarahin, dihakimi, apalagi diusir. Tapi rangkullah mereka," jelas Badi yang tetap merasa bersalah, menyesal, dan berdosa memiliki orientasi seksual yang tak semestinya.

Badi sempat belajar teori yang disampaikan Alfred Kinsey. Tokoh ini membuat skala Kinsey yang berfungsi mendeskripsikan sejarah seksual seseorang dalam waktu tertentu. Dari skala ini akan diketahui seseorang itu normal atau mengalami penyimpangan orientasi seksual.

Cerita ini disampaikan oleh Badi melalui telepon bebas pulsa Brilio.net di nomor 0-800-1-555-999. Semua orang punya cerita. Ya, siapapun termasuk kamu punya kisah tersembunyi baik cerita sukses, lucu, sedih, inspiratif, misteri, petualangan menyaksikan keindahan alam, ketidakberuntungan, atau perjuangan hidup yang selama ini hanya kamu simpan sendiri. Kamu tentu juga punya cerita menarik untuk dibagikan kepada kami. Telepon kami, bagikan ceritamu!