Brilio.net - Masa pandemi membuat ruang gerak para seniman dan musisi terbatas. Dilarangnya kerumunan massa membuat mereka tak lagi bisa bebas mengadakan pertunjukkan di tempat terbuka.

Tidak adanya euforia seni pertunjukkan secara langsung sudah pasti membuat penonton rindu. Para seniman yang biasanya disibukkan dengan berbagai persiapan dan latihan jelang pertunjukkan pun mengalami perubahan dalam keseharian.

Hal tersebut juga dirasakan salah satu seniman Kota Gudeg, Ibed S Yuga. Sutradara sekaligus salah satu founder kelompok teater Kalanari Theatre Movement ini merasakan betul dampak pandemi pada kariernya. Tak hanya untuk dirinya sendiri, dampak tersebut sudah pasti berimbas juga pada rencana-rencana Kalanari.

Sebagai kelompok teater yang menampikan pertunjukkan scientific theater, interaksi dengan penonton menjadi salah satu unsur yang sangat penting. Berbeda dari teater pada umumnya, Kalanari biasanya melakukan pentas di tempat-tempat khusus.

Seniman teater bertahan di tengah pandemi © berbagai sumber

Potret salah satu pertunjukkan Kalanari/foto: www.kalanari.org

"Jadi kasarannya penonton itu bisa mencium bau keringat pemain lah saking dekatnya. Itu sebenarnya konsep bagaimana kami mendekatkan tidak berjarak. Misalnya, kami pernah pentas di bekas bioskop Pertama. Ketika penonton itu datang, parkir kendaraan itu diparkiran sudah ada pertunjukkan, mereka masuk ke dalam ada pertunjukkan, di kamar mandi ada pertunjukkan, tentu saja di dalam juga," jelas Ibed saat ditemui brilio.net, Senin (7/12).

Masa pandemi seperti ini tentu memberi dampak besar pada kegiatan pertunjukkan mereka. Apalagi pertunjukkan scientific theater ini tak bisa dipindah di tempat lain dan diulang.

"Pertunjukkan spesifik seperti ini tentu saja sangat berdampak masa wabah sekarang ya. Karena pencapaian artistiknya itu kan penonton harus dekat, bahkan ada bersentuhan dengan pemain dan sebagainya. Tentu saja sangat berdampak. Nah, yang kayak gitu-gitu terpaksa kami pending," tambahnya.

Platform digital belum ramah pada teater

Era digital, menurut pria kelahiran 1983 tersebut, juga tak mampu menjadi solusi. Dia mengaku tak memiliki taste untuk membuat pertunjukkan digital.

Meski begitu, ia tak lantas antipati terhadap pertunjukkan digital yang banyak dijajal para seniman. Ibed juga membebaskan jika teman-teman di Kalanari ingin membuat pertunjukkan digital.

"Aku tidak punya taste itu karena banyak hal di platform digital itu ide-ide ku sangat kecil bisa ditampilkan dalam platform digital. Untuk sepengetahuanku sekarang, nggak tahu nanti. Bisa aja nanti aku merambah ke sana. Ketika aku punya sesuatu (ide) yang pas buat dibawa ke sana," tutur Ibed.

Seniman teater bertahan di tengah pandemi © berbagai sumber

Sosok Ibed salah satu founder Kalanari/foto: brilio.net/Nisa Akmala

Bagi Ibed, dunia teater seperti lingkungan yang terbentuk karena pertemuan fisik. Pertemuan fisik tersebutlah yang kemudian menghadirkan sisi sosial. Penonton seolah sudah menyatu dengan ide teater yang akan disaksikan, meski belum tiba di tempat pertunjukkan.

"Dia menyiapkan untuk nonton itu, dia menyiapkan waktu, dia menyiapkan gimana caranya dari rumah aku nonton pertunjukkan itu, bagaimana aku menghadapi kemacetan di jalan dan sebagainya. Itu suatu kejadian yang ku sebut ekosistem (lingkungan) tadi ya. (hubungannya) terjalin sangat jauh, bukan hanya sekadar nonton pertunjukkannya saja," tutur alumni ISI Yogyakarta angkatan 2003 ini.

Meski banyak orang menggunakan platform digital untuk mencari hiburan di masa pandemi, namun hal tersebut tak menjadi jaminan bagi pertunjukkan teater untuk bisa menjaring penonton.

"(Kelompok teater dan venue pertunjukkan) Itu lebih banyak mengeluhkan penontonnya sedikit. Tidak seperti penonton saat pertunjukkan langsung. Ada yang pakai tiket, pemasukan tiketnya juga sedikit. Itu juga kalau kita menghitung cost produksi itu tidak bisa menambal cost produksi," jelasnya.

Persoalan tersebut juga dirasakan Kalanari saat mereka menjajal bermain di platform digital. Persaingan dengan platform digital seperti TikTok dan Instagram juga diyakini Ibed sebagai salah satu kendala yang membuat pertunjukkan digital, khususnya teater tidak mudah mendapat penonton.

Seniman teater bertahan di tengah pandemi © berbagai sumber

Salah satu pertunjukkan Kalanari/foto: www.kalanari.org

Meski kini aktivitas sudah perlahan mulai normal, namun Ibed dan Kalanari belum memiliki rencana untuk membuat sebuah pertunjukkan dengan jumlah penonton terbatas. Bahkan ketika nanti situasi sudah normal kembali, Ibed tak gegabah untuk langsung kembali membuat pertunjukkan.

Kemungkinan banyaknya festival yang bermunculan jika situasi sudah normal, jadi pertimbangan tersendiri bagi Ibed. Selain itu, sebagai sebuah lembaga swadaya, selama ini Kalanari mengandalkan sistem funding (pendanaan) selama membuat pertunjukkan.

Selain berdampak pada agenda pertunjukkan, pandemi ini juga memengaruhi segi pemasukan. Meski selama ini mengaku tak mendapat penghasilan cukup dari teater, namun kondisi sekarang membuat pekerjaannya di bidang lain terganggu.

Ibed mengungkapkan, ia dan teman-teman Kalanari lainnya tak pernah menjadikan teater sebagai tempat mencari nafkah. Bagi mereka, teater adalah sebuah gerakan kebudayaan.

Selama membuat pertunjukkan, Kalanari hampir tidak pernah memasang tarif penonton. Justru dari teater lah, mereka mendapat proyek-proyek di bidang seni lainnya yang menyumbang penghasilan bagi mereka.

"Dan yang imbas-imbas (job-job lain) itu di masa pandemi ini ada, tapi mungkin berkurang setengah, mungkin hanya 40% dari masa normal. Terpaksa harus nguras tabungan di masa kayak gini. Dan aku nanya ke teman-teman yang lain sama juga kayak gini. Karena kami seniman di Indonesia ya, seniman teater itu masa normal aja megap-megap apalagi masa kayak gini," jelas Ibed.

Fokus pada gerakan literasi teater

Meski tak aktif membuat pertunjukkan digital, bukan berarti Ibed nggak berbuat apa-apa untuk tetap bisa berkarya. Masa pandemi yang ia sebut sebagai masa jeda ini dimanfaatkan Ibed untuk fokus pada gerakan literasi yang diusung Kalanari.

Selain membuat pertunjukkan, Kalanari juga menjalankan program literasi teater lewat buku. Sejak 2017, Kalanari membuat Kalabuku yang menerbitkan buku-buku tentang seluk beluk teater. Dari pengetahuan, sejarah dan panduan menulis naskah yang ditujukan untuk para pelaku teater.

Ibed mengaku makin produktif dalam menulis buku-buku tentang teater setelah punya banyak waktu luang. Dibanding waktu normal, pria berusia 37 tahun tersebut mengalami kenaikan produktivitas 1,5 kali lipat.

Dalam memproduksi buku literasi tersebut, Ibed turun tangan langsung sebagai penulis, editor hingga masalah percetakan. "Karena memang penerbitan itu kalau kita lihat nggak bisa dari jumlah buku yang aku terbitkan, tapi dari berapa lama aku bisa menyelesaikan satu buku itu. Karena setiap buku kan beda-beda," katanya.

Seniman teater bertahan di tengah pandemi © berbagai sumber

Buku-buku yang diterbitkan Kalabuku/foto: Instagram/@kalanaritheatre

Buku-buku yang ditulis diterbitkan Kalanari sendiri bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi seniman teater dalam mencari bacaan terkait. Pasalnya, selama ini buku mengenai pengetahuan teater di Indonesia cenderung susah dicari.

Selain makin fokus pada buku literasi, masa pandemi juga menjadi momen Kalanari untuk menjalankan beberapa rencana yang sempat tertunda. Salah satunya merealisasikan program bernama Lelakon. Lelakon sendiri merupakan program kurasi naskah teater yang sudah terencana sejak beberapa tahun lalu.

Mirip dengan lomba menulis, program ini mengajak para seniman dan penulis Indonesia untuk mengirimkan naskah lakon teater ke Kalanari. Bedanya, tidak ada pemenang dan hadiah dalam program. Sepuluh naskah yang dipilih para kurator akan diterbitkan dalam buku.

Di luar ekspetasi, program tersebut rupanya berhasil mengumpulkan 178 naskah dari 19 provinsi. Lelakon sendiri dibuat Ibed berawal dari keprihatinannya terhadap karya-karya dari banyak kegiatan lomba yang tidak dipublikasikan.

"Tidak ada tanggung jawab sosial bagaimana melanjutkan hasil dari itu (karya pemenang). Itu kan sayang sekali. Nah, di Lelakon itu justru yang penting bagaimana mendistribusikan hasil dari program itu ke publik," jelas Ibed.

Selain menjadi pustaka bagi pelaku teater dalam mencari bacaan, lewat buku-buku yang ditulis, Kalanari juga memiliki cita-cita menjadi pusat arsip tentang seni pertunjukkan pada umumnya dan seni teater pada khususnya.

Bagi Ibed, meski dunia tulis menulis cenderung tradisional, namun cara tersebut bisa menjadi metode untuk bertemu dengan publik. "Jadi ide-ide tetap bisa tersalurkan. Karena pada dasarnya kan pertunjukkan teater itu bagaimana kita menyampaikan ide kita, hanya sekarang masalah medianya aja yang beda," tandasnya.

Sempat dilanda stress karena pandemi

Dampak pandemi juga dirasakan betul oleh salah satu aktor di Kalanari Theatre Movement, Mailani Sumelang. Sebagai seorang pemain, Mailani merasakan betul bagaimana pandemi membuat perubahan dalam kesehariannya.

Berawal dari membantu teman menyelesaikan tugas akhirnya, Mailani yang sebelumnya berkarier di belakang panggung teater kemudian menemukan jiwanya di atas panggung. Sejak saat itu, pada 2018 ia mulai aktif tampil di depan panggung bersama Kalanari dan beberapa kelompok seni lainnya.

Di tengah rasa semangat yang menggebu-gebu untuk dalam mempersiapkan berbagai agenda di 2020, Mailani justru dihadapkan dengan kenyataan yang membuat semua rencananya tertunda bahkan batal. Diakuinya, rencana tersebut merupakan pentas besar yang begitu prestise untuknya.

Mahasiswi ISI Yogyakarta ini mengaku sempat dilanda stress dan depresi. Pasalnya saat itu, Mailani merasa sudah yakin menemukan jalannya di dunia seni.

Seniman teater bertahan di tengah pandemi © berbagai sumber

foto: Instagram/@mailanisumelang

Selain karena perubahan rencana tersebut, berada di kos-kosan tanpa bertemu teman, dan tidak bisa ke mana-mana, juga membuat dirinya uring-uringan. Apalagi selama berbulan-bulan lamanya, ia tak memiliki aktivitas lain.

Ia mengaku sempat merasa stress juga lantaran tak memiliki pemasukan pada tiga awal. Beruntung, bantuan dari pemerintah saat itu cukup membantu.

"Aku juga kebantu banget sama program pemerintah. Aku juga nggak tahu gimana caranya aku bisa dapat bantuan itu, Rp 300 ribu/bulan," terangnya.

Tak mau terus larut dengan keadaan, Mailani kemudian mengisi kekosongan tersebut dengan mengikuti berbagai kegiatan webinar, termasuk meditasi untuk melampiaskan rasa stressnya.

"Aku pernah ikut webinar ilmu coding, apa-apa aku ikutin. Ada webinar buat healing juga. Selama itu aku tu ikut meditasi. 'Wah, aku kalau ini (nggak ada aktivitas) mungkin bisa jadi stress berkepanjangan. Akhirnya aku ikut webinar healing, ya sudah gambar, terus mewarnai gitu-gitu," cerita cewek asal Rembang tersebut.

Mailani dan teman-temannya di Kalanari kemudian sempat mengagas untuk membuat pertunjukkan digital. Tak hanya itu, mereka juga tak ketinggalan menjajal berkarya lewat TikTok.

Namun karena kendala teknis dan minimnya penonton, Mailani dan teman-teman di Kalanari kemudian memutuskan vakum. Padahal, saat melakukan pertunjukkan secara offline, Kalanari bisa disaksikan puluhan ribu lebih penonton.

"Waktu Kalanari bikin pertunjukkan digital itu yang nonton cuma dua. Padahal kalau offline, itu tiket 20ribu itu bisa full orang sampe membludak," katanya.

Meski Kalanari memutuskan untuk vakum sementara dari dunia pertunjukkan. Mailai tetap aktif melalui pertunjukkan digital bersama Semesta Leah dan Kisma Mantra sejak September 2020 lalu.

Meski mengaku senang karena bisa kembali bertemu panggung, namun Mailani tetap merasakan energi berbeda saat melakukan pementasan secara langsung dan secara digital. Baginya, cara tersebut menjadi hal baru dengan kendala tersendiri.

Seniman teater bertahan di tengah pandemi © berbagai sumber

Mailani (tengah kebaya cokelat) saat melakukan pertunjukkan/foto: Instagram/@mailanisumelang

"Bisa kembali merasakan panggung tuh sebuah kebahagian, tapi ya itu ternyata energi penonton tuh sangat-sangat besar buat ku. Selain bikin, 'wah ada penonton nih, aku harus memberikan yang terbaik'," tuturnya.