Brilio.net - "Jangankan di sini (Jogja), kamu cari di Indonesia mungkin ini satu-satunya," celetuk seorang penoton menimpali kekaguman temannya saat menyaksikan para tunanetra pentas seni ketoprak di Pasar Terban, Jogja, Sabtu (13/7) malam.

Kekuatan seni pertunjukan sendiri terletak pada apa yang ditampilkan. Lebih spesifik pada apa yang orang bisa saksikan, dengarkan, dan rasakan.

Dan ketoprak merupakan seni pertunjukan yang cukup kompleks. Di sana terdapat perpaduan berbagai unsur seni, mulai musik, tari, drama, hingga sastra. Semua unsur itu dimainkan dengan porsi yang tepat untuk menghasilkan penampilan yang menarik.

Lalu bagaimana jika para penampilnya adalah orang-orang yang tidak bisa melihat?

Tentu ini tidak biasa. Menjadi tidak mudah untuk mereka yang tak bisa melihat, bisa menyajikan sesuatu yang menarik untuk dilihat orang lain. Ini ibarat kamu tidak bisa mendengar, tapi diminta menyanyi.

Orang tidak pernah melihat pentas ketoprak, tapi naik ke panggung dan melakukan pementasan. Ini apa namanya kalau bukan nekat?

Tetapi yang kemudian menjadi menarik adalah ini fakta bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk melakukan sesuatu. Tidak ada yang tidak mungkin selama orang berani mencoba.

ketoprak fky © 2019 brilio.net

Ketoprak Distra Budaya di FKY 2019 (foto: brilio.net/fefy haryanto)

Kelompok Ketoprak Distra Budaya membuktikannya. Grup seni milik Yayasan Mardi Wuto ini semua anggotanya merupakan penyandang tunanetra. Distra Budaya sendiri merupakan singkatan dari disabilitas tunanetra nguri-uri budaya.

Malam itu mereka mementaskan lakon Lambangsari Edan yang disutradari Getir, salah satu anggota Destra Budaya. "Ini cerita tentang seorang yang ingin merebut istri seorang penguasa," kata Getir ditemui brilio.net usai pentas.

Seluruh persiapan, mulai dari latihan, busana, makeup, dan musik, mereka lakukan secara mandiri. Ketika berdandan pun mereka hanya diarahkan dan melakukan segala persiapan dengan tangan mereka sendiri.

Dikisahkan, seorang dari desa bernama Joko Semboro meninggalkan istrinya demi mencari pekerjaan di kerajaan Kediri dengan bantuan seorang Patih Kudus Sinupit (diperankan Getir). Di sana tanpa disangka ternyata dia dinikahkan dengan anak Raja Prabu Lembu Ambiseno (diperankan Suyudi) yang bernama Retno Kuning. Sementara sang istri yang ditinggalkan, bernama Lambangsari (diperankan Suratmi), kemudian digoda oleh si Patih untuk diperistri. Namun Lambangsari yang setia pada suaminya, menolak paksaan sang Patih.

Kondisi ini kemudian berujung pada perkelahian karena memperebutkan wanita, sehingga muncul sosok pemuda bijaksana bernama Panji Carangwaspo. Panji kemudian membawa sang Patih untuk diadili.

Warga antusias menyaksikan aksi para penampil yang sehari-harinya berprofesi sebagai tukang pijat. Adegan yang paling menarik adalah saat perkelahian. Dengan segala keterbatasannya, mereka total dalam memeragakan tiap adegan.

Ketidakmampuan melihat posisi lawan main, membuat beberapa kali pemain memukul ataupun menendang angin. Sering juga properti yang dikenakan terlepas karena tak sengaja terkena gerakan lawan. Bahkan mereka berulang kali menabrak perlengkapan panggung.

Panitia cukup sigap dalam situasi seperti ini. Setiap pemain yang mulai salah dalam posisi, diarahkan ulang. Pun saat mereka naik dan turun panggung.

Hal menarik lainnya adalah kelompok kesenian yang lahir 2002 atas prakarsa Harjito ini tampil dengan iringan musik gejok lesung, di mana semua pemain dan sindennya juga tunanetra. Pemandangan yang sangat jarang dijumpai dalam pementasan ketoprak. "Kami ingin mengangkat kembali budaya lama," sebut Getir.

Kendati begitu, sebenarnya grup ini serba bisa. Mereka pernah tampil dengan iringan gamelan lengkap. Bahkan pernah pakai musik drum. "Ini ketoprak kreasi baru," pungkasnya.

Secara keseluruhan tiap pemain bisa membawakan perannya dengan baik. Padahal mereka hanya berlatih empat kali di rumah Harjito di daerah Gayam. Tepuk tangan penonton pun mengiringi saat mereka menutup persembahan istimewanya itu.

ketoprak fky © 2019 brilio.net

Ketoprak Distra Budaya di FKY 2019 (foto: brilio.net/fefy haryanto)

Malam itu Destra Budaya menjadi pamungkas dalam rangkaian event Festival Kebudayaan Yogyakarta untuk lokasi Kampung Terban. Festival yang digelar 4-21 Juli 2019 ini berlangsung di banyak lokasi di Jogja.

"Kampung Terban dipilih karena kampung ini dinilai paling siap dengan potensi kesenian dan budayanya, dan merupakan kampung budaya di tengah kota. Harapannya, FKY 2019 dapat menjadi ruang untuk memaksimalkan potensi seni dan budaya, khususnya untuk warga Terban," kata Ketua FKY 2019, Paksi Raras Alit.

Dipilihnya Terban membuat warga berbangga. Menurut Lurah Terban, Anif Luhur Kurniawan, kelompok-kelompok kesenian yang tampil dipersiapkan hanya selama satu bulan, sebab mereka sudah terbiasa tampil dan melakukan latihan rutin.

"Setiap kelurahan memiliki ciri khas masing-masing. Dari Kelurahan Terban kesenian yang paling kuat adalah jathilan. Jathilan kami pernah tampil di Taman Mini Indonesia Indah," ujarnya bangga. Ia berharap melalui gelaran kesenian ini masyarakat dapat lebih peduli dan tergerak untuk melestarikan budaya Jawa.