Brilio.net - Iyashi no Sato Nenba, kerap juga dikenal sebagai Saiko Iyashi no Sato. Disebut demikian karena desa tradisional ini terletak di tepi Danau Saiko, di kaki Gunung Fuji, Jepang. Dari desa yang juga sering disebut masyarakat sekitar sebagai Nenba Hama ini berlatar gunung tertinggi di Negeri Sakura itu. Saiko, adalah satu dari lima danau yang berada di kaki Gunung Fuji. Empat danau lain yang juga tak kalah popular adalah Kawaguchi, Yamanaka, Motosu, dan Shoji.

Brilio.net bersama sejumlah awak media dari Jakarta pun bisa merasakan keindahan Iyashi no Sato Nenba awal Desember 2019 lalu dalam acara Smartfren International Roaming Japan Experience. Kami bisa menyaksikan pemandangan Gunung Fuji dengan objek utama desa wisata yang sangat indah, terlebih saat musim semi. Tiket masuk ke desa ini dipatok 350 yen atau sekitar Rp 45 ribu per orang.

Jepang Travel © 2019 brilio.net

Sebelum naik ke desa tradisional ini, di pelataran parkir kami langsung disambut jajaran kedai yang menawarkan aneka souvenir, minuman, dan makanan seperti apel Fuji, aneka buah, termasuk ikan ayu, biota endemik air tawar yang hidup di sekitar desa tersebut. “Dari Indonesia?,” tanya salah seorang pedagang ketika melihat wajah-wajah kami yang khas Melayu.

Tak ada yang istimewa dari kedai-kedai ini. Sama seperti warung-warung yang menawarkan makanan di kaki gunung di Indonesia. Yang membedakan, dihampir semua kedai tidak dijumpai sampah berserakan. Namun pandangan kami sontak tertuju pada sejumlah poster promosi yang terdapat di hampir semua kedai. Poster tersebut ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerah dari Indonesia.

Jepang Travel © 2019 brilio.net

“Ubi bakar enak manis/rasa,” begitu salah satu tulisan yang tertera di sebuah kedai penjual makanan yang tentu saja membuat kami terkaget-kaget.

Ternyata tulisan tersebut dibuat oleh para wisatawan Indonesia yang pernah berkunjung ke desa ini. Bukan hanya tulisan, di beberapa kedai juga dijual produk buatan Indonesia seperti teh botol dan mie instan yang biasa kami temui di Tanah Air. Tentu saja ini menarik perhatian kami.  

Tak hanya itu, sampai-sampai nama kedai di situ pun ada juga yang diberikan oleh wisatawan Indonesia. Sebut saja Toko Nenek yang menjual ikan ayu bakar. Diberi nama demikian lantaran penjual kedai ini adalah pasangan nenek dan kakek.

Desa penyembuhan

Jepang Travel © 2019 brilio.net

Usai memenuhi rasa penasaran kami dengan beragam tulisan berbahasa Indonesia tersebut, kami pun melangkah menuju desa tradisional yang terletak di dataran tinggi. Di desa ini pengunjung bisa melihat beberapa rumah dan bangunan tradisional Jepang dengan jerami dan anyaman bambu sebagai atap dan dindingnya.

Beberapa rumah ini punya fungsi yang berbeda. Ada yang dijadikan sebagai pusat kerajinan tangan. Ada juga rumah yang khusus menyewakan kimono, termasuk yoroi (pakaian pasukan zaman dahulu), baju samurai dan ninja. Untuk mengenakan pakaian tersebut, pengunjung dikenakan tarif sewa 1.000 yen atau sekitar Rp 130 ribu per jenis pakaian. Biaya sewa ini bisa dibilang termurah di Jepang dibanding tempat lain yang bisa mencapai empat kali lipatnya atau lebih. Ada juga bangunan yang dijadikan tempat ibadah (kuil).

Jepang Travel © 2019 brilio.net

Tak heran jika desa wisata ini kerap dikunjungi wisatawan yang ingin melepas penat dan ingin merasakan suasana desa yang tenang dan asri. Keberuntungan menyelimuti kami saat tiba di desa ini di pagi hari. Suhu saat itu diperkirakan 1 derajat Celcius. Hawa dingin sangat menusuk tulang. Namun cuaca sangat bersahabat.

Kami pun bisa menyaksikan Gunung Fuji tanpa halangan. Sebuah jembatan yang terbentang di atas aliran sungai yang membelah desa tersebut menjadi tempat terbaik untuk memandangi Gunung Fuji yang pada bagian puncaknya tertutup salju. Jembatan ini menjadi salah satu spot terbaik untuk berfoto.

Jepang Travel © 2019 brilio.net

“Sangat beruntung cuacanya bagus jadi kita bisa lihat langsung Gunung Fuji. Biasanya sudah tertutup awan,” ujar pemandu wisata kami, Dwi Andi Listiawan yang sudah lebih dari lima tahun menetap di Jepang.

Beruntungnya lagi kami tiba pagi hari jadi suasana di desa ini masih cukup sepi. Agak siang, saat kami hendak kembali turun, pengunjung lain mulai ramai berdatangan. Sayangnya, di desa ini tidak terdapat penginapan. Karena itu, wisatawan yang ingin menikmati keasrian desa ini harus menginap sejumlah penginapan sekitar desa. Dari penginapan, mereka bisa menempuh perjalanan dengan mobil menuju desa tradisional yang juga dijuluki healing village (desa penyembuhan). Suatu tempat yang bisa “mengobati” orang dari kepenatan dan rutinitas bekerja. Desa ini sangat tepat untuk relaksasi.

Hutan bunuh diri

Jepang Travel © 2019 brilio.net

Oh iya, tak sedikit penginapan di dekat desa yang dikelilingi hutan rimbun. Asal tahu saja ya, hutan ini kerap dijadikan lokasi untuk bunuh diri. Selama ini mungkin yang cukup dikenal sebagai hutan tempat bunuh diri di Jepang adalah hutan Aokigahara yang terletak di barat daya kaki Gunung Fuji. Hutan seluas 35 kilometer persegi ini sudah terkenal sebagai lokasi yang “sempurna” untuk mengakhiri hidup sejak era 1950-an.    

Namun sejatinya, hampir semua hutan yang terletak di kaki Gunung Fuji biasa dijadikan tempat bunuh diri oleh masyarakat Jepang. Ada kepercayaan yang berlaku pada masyarakat sekitar, hampir seluruh hutan di kaki Gunung Fuji, termasuk Aokigahara, berbentuk labirin. Tak heran jika banyak orang yang sengaja masuk ke hutan ini bakal tersesat.

Jepang Travel © 2019 brilio.net

Karena itu hampir di semua hutan di kaki Gunung Fuji terdapat larangan bagi pengunjung yang ingin menggugah rasa keingintahuaan mereka untuk masuk sendirian. Karena hampir bisa dipastikan mereka akan tersesat. Seramnya lagi, di hutan yang rimbun dan lembab ini, kompas dan GPS tidak berfungsi. 

Berdasarkan sejumlah cerita yang berkembang, dulunya hutan di sekitar kaki Gunung Fuji, juga Aokigahara dijadikan tempat pembuangan orang-orang tua atau yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai ritual Ubasute. Ritual ini dilakukan dengan membuang orang-orang tua, ditinggal di hutan sendiri dan dibiarkan mati. Ritual ini cukup sering dilakukan di abad 19 namun saat ini sudah tidak pernah lagi dilakukan. Alasan kenapa orang tua dibuang tak lain karena kemiskinan yang dialami oleh si orang tua atau pun keluarganya.

Jepang Travel © 2019 brilio.net

Murah, merupakan alasan mengapa orang Jepang lebih memilih bunuh diri di hutan. Sebab jika orang bunuh diri dengan menabrakan diri ke kereta maka pihak keluarga akan dikenakan denda yang cukup mahal oleh pemerintah. Selain itu, aksi tersebut juga akan mengganggu rute perjalanan kereta. Begitu juga jika dilakukan di apartemen atau melompat dari tempat publik seperti pusat perbelanjaan. Karena itu, hutan kerap menjadi pilihan favorit untuk bunuh diri.    

Tapi, terlepas dari keangkeran dan misteri yang menyelimuti hutan bunuh diri, Gunung Fuji tetap menyimpan keindahan dengan keberadaan desa tradisional nan asri di dasarnya. Di desa ini, tradisi kuno Jepang tetap terjaga yang membuat siapa saja yang mengunjunginya terpesona.