"Candi itu ada 14 pancuran, 7 laki dan 7 perempuan. Itu artinya dalam Bahasa Jawa tujuh itu 'pitu'. Kalau orang jaman dulu 'pitu' maksudnya adalah 'pitulungan' yang artinya penolong," kata Wahyu.

Candi Donotirto brilio.net

foto: brilio.net/Anindya Kurnia

Wahyu juga menceritakan kisah dibangunnya Candi Donotirto yang merupakan hasil negosiasi antara Sri Sultan Hamengku Buwono ke VII dengan penjajah Belanda, guna memudahkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun ternyata, Candi Donotirto tak hanya sebagai sumber air warga, tetapi juga menjadi tempat menghindari kerja paksa zaman penjajahan.

Candi Donotirto dimaksudkan agar masyarakat senantiasa memperoleh kedamaian dan kesejahteraan dalam hidupnya. Karena memperoleh aliran sungai yang melewati Masjid Agung Kauman, Alun-alun Utara, dan ke arah selatan Tamansari hingga bermuara menuju laut selatan.

"Jadi dibangun oleh Sri Sultan sebagai bentuk kepedulian terhadap warga. Karena pada zaman itu masih masa penjajahan. Warga banyak yang kesulitan mendapatkan air untuk mandi dan cuci. Area sini dulu ada kali besar, namun oleh penjajah tidak boleh digunakan oleh masyarakat. Jadi disebut kali larangan. Kali larangan sendiri merupakan sumber air yang berasal dari aliran sungai Buntung dari Gunung Merapi," jelas Wahyu.

Candi Donotirto brilio.net

foto: brilio.net/Anindya Kurnia

Kata Wahyu, dulunya Candi Donotirto memiliki bangunan pendek, namun mengalami pemugaran oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX menjadi lebih tinggi. Hal ini dimaksudkan agar saat warga sedang melakukan hajat di Candi Donotirto tidak terlihat dari jalan. Karena seperti yang diketahui bahwa Candi Donotirto berada lebih rendah dari jalan utama.

Selain itu, Candi Donotirto juga memiliki keistimewaan, yaitu airnya yang tak pernah surut meskipun musim kemarau panjang. Hal ini diungkapkan oleh Yoes Koesdarto, yang sudah mengelola Candi Donotirto sejak 2005.

"Malah jernih pas musim kemarau. Nah, pas musim hujan malah jadi agak keruh karena kan saluran airnya banjir," katanya.

Candi Donotirto brilio.net

foto: brilio.net/Anindya Kurnia

Yoes juga mengatakan Candi Donotirto merupakan pemandian umum, namun tak mematok biaya. Hanya saja, disediakan kotak tempat infak bagi yang ingin membayar secara sukarela.

"Nggak bayar disini, cuma bayar seikhlasnya. Uangnya untuk pemeliharaan, kebersihan, sama perawatan saja," lanjut Yoes.

Karena keistimewaannya itu, Candi Donotirto didaftarkan sebagai BCB (Bangunan Cagar Budaya) sejak 2015. Ini bertujuan untuk mengamankan, menjaga, dan melestarikan bangunan peninggalan sejarah di kota Yogyakarta. Tak hanya itu saja, Candi Donotirto juga menjadi tempat sejarah yang digunakan warga sekitar untuk melaksanakan ritual budaya setiap tanggal 8 Suro.

Wahyu Susanto mengungkapkan bahwa selama 5 tahun terakhir, masyarakat kelurahan Pringgokusuman selalu melakukan ritual budaya yang disebut dengan Kenduri Jenang Suran. Kenduri Jenang Suran merupakan acara rutin tahunan yang dimaksudkan sebagai tanda rasa syukur kepada Allah SWT, atas keberkahan dan kelimpahan rezeki bagi masyarakat Pringgokusuman.

Candi Donotirto brilio.net

foto: brilio.net/Anindya Kurnia

"Saat upacara kenduri Jenang Suran, Candi Donotirto juga menjadi tempat pengambilan air suci yang disebut Banyu Tirto Wening. Tirto Wening ini akan disandingkan sama jenang suran. Makanya masyarakat akan berjalan membawa keduanya untuk diarak keliling kampung," jelas Wahyu.

"Nah, start-nya dari Donotirto dan finish di Ndalem Notoyudan. Semua warga ikut, mereka pakai pakaian adat dan berbagai macam kostum sesuai kreatifitas masing-masing," pungkasnya.

Upaya pelestarian budaya dan menjaga peninggalan sejarah masyarakat Pringgokusuman ini lah yang membuat Candi Donotirto tetap kokoh berdiri. Bahkan hingga saat ini masih digunakan oleh warga sebagai tempat pemandian umum dan sumber air yang memiliki sejarah perjuangan.