Brilio.net - Bangunan rumah usang ini masih berdiri kokoh di antara banyaknya bangunan tinggi menjulang. Seperti khas rumah pada umumnya, bangunan ini dilapisi oleh genteng bata, ataupun tak ada pagar khusus yang membatasi antara rumah ini dengan bangunan sebelahnya.

Rumah ini tepat berada di belakang apartemen Thamrin Executive Residence, Jalan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dari luar, suasana terlihat sepi, sunyi, dan seperti tak ada aktivitas apapun.

Dilansir dari merdeka.com, Chairul Bahri si pemilik rumah menceritakan mengenai bagaimana caranya bertahan di tengah bangunan apartemen ini. Di sini, ia tinggal bersama istrinya Elis, dan anaknya.

Pria 72 tahun mengaku sehari menyetok 20 galon isi ulang. Air di rumahnya kering disedot mesin air apartemen. Chairul mengatakan, rumah milik istrinya ditempati turun temurun. Sejak zaman nenek moyangnya. Dia mengaku memiliki surat rumah dengan lengkap. Namun menolak menunjukkan.

rumah tua thamrin © 2019 brilio.net

foto: merdeka.com/Muhammad Genantan Saputra

"Lokasi (rumah kita) adanya di apartemen, tapi tanah yang kita tempati tanah kita, kalau tanah dia, kita sudah diusir, sebelum bangunan berdiri kita sudah ada di sini," kata Chairul seperti dikutip dari merdeka.com, Senin (23/9).

Dulunya tanah tersebut adalah pemukiman warga. Belum ada aspal. Sampai akhirnya pihak apartemen membeli tanah hingga menyisakan rumah yang hanya terlihat genteng batu bata merah tak terawat. Chairul tetap bertahan. Dia tak terima cara apartemen membeli tanah itu sejak awal. Terkesan arogan. Istrinya sangat sakit hati.

"Istilahnya dirangkul kitanya, ngomong baik-baik, enggak diintimidasi," tuturnya.

Di sela pembicaraan, tiba-tiba datang seorang wanita memakai kerudung. Wanita itu naik motor. Baru saja menjemput bocah laki-laki sepulang sekolah. Wajahnya tampak kesal. Nada bicaranya langsung tinggi.

"Ngapain kalian, mau ngapain nih? Gua sudah pusing dicari-cari," tegasnya.

rumah tua thamrin © 2019 brilio.net

foto: merdeka.com/Muhammad Genantan Saputra

Ternyata wanita ini adalah Elis, istri Chairul. Berusia 46 tahun. Sambil bicara Elis kerap kali menunjuk jarinya ke arah gedung menjulang. Berdirinya apartemen membuat dia dan keluarga merasa dirugikan.

"Bagaimana saya nih nenek-nenek, emang ini kan (dia pihak apartemen) buka permusuhan sama saya, saya enggak bakalan mau sama dia, sekalipun saya mati enggak akan rela saya jual ke dia (pihak apartemen)," tegasnya.

Elis lahir dan tumbuh di tempat ini. Tanah milik keluarga hingga diwariskan kepadanya.

"Nenek moyang saya di sini, dari ibu saya orang sini, tapi bapak saya keturunan darah biru," kata Elis.

Tanah tersebut dulunya perkampungan. Belum ada listrik, hanya mengandalkan obor. Pribumi dan warga pendatang tinggal di kawasan tersebut. Pengembang mulai melirik sekitar tahun 2005, meminta tanah dijual. Kalau tidak digusur, area tersebut rata dengan tanah sekitar 2009-2010. Apartemen mulai berdiri. Namun, Elis tak rela warisan keluarga dibayar uang.

"Lama-lama warga takut, jual dengan harga semurah-murahnya," ucap Elis.

Pembicaraan Elis tidak lama. Sambil menggandeng anaknya masuk ke dalam. Kami tidak diperkenankan masuk menengok isi rumahnya. Tak lama ia balik badan. Lagi-lagi bicara dengan nada tinggi.

"Sampai tumpah darah saya ya, sampai kematian saya, saya tetap di sini. Ini tanah tumpah darah saya dari turun menurun, ini tanah warisan, hak milik saya, jadi saya tetap di sini, enggak bakal pindah dari sini," ujar Elis.

Kemudian, Elis menyebut ada sesuatu yang berharga di bawah tanah rumahnya. Sangat rahasia. Elis menyebutnya 'kandungan'. Namun dia tidak membeberkan kandungan apa yang dimaksud.

"Saya buat apa harta, tanah saya banyak, rumah saya banyak, tapi saya lebih cinta sama rumah ini, karena saya mau memperbanyak amal. Sekali hidup saya, enggak ada saya mau tinggali rumah ini selangkah pun," pungkas Elis.

Sekian tahun berjalan, gesekan antara apartemen dan Elis meredam. Roni jarang menerima laporan keributan perebutan lahan. Terkadang, Elis juga melipir ke rumahnya berbaur dengan warga.

Roni melihat pihak apartemen membiarkan Elis hidup di halamannya. Keduanya tak mau mengalah. Saling tak peduli.

"Sekarang api lawan api kan enggak mungkin. Harus dikasih air. Arogan ya biasa," tandasnya.