Brilio.net - November 2020 menjadi titik balik dalam hidup seorang perempuan berusia 32 tahun asal Bandung. Setelah empat setengah tahun bekerja di sektor ekspor sebuah perusahaan garment, ia harus menerima kenyataan menjadi bagian dari gelombang besar karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja akibat pandemi COVID-19. Keputusan lay off ini memang tak mengejutkan dirinya, namun tetap meninggalkan jejak emosional.
"Awalnya memang sedih, karena harus kehilangan pekerjaan dengan cara seperti itu, tapi lama-lama bisa ikhlas," tuturnya saat diwawancarai Brilio.net pada Selasa (6/5).
Pandemi telah mengubah peta ketenagakerjaan, dan mereka yang berada di posisi 'middle' seperti wanita asal Bandung ini-tidak terlalu junior, tapi belum cukup senior-seringkali jadi korban pertama.
Ia menceritakan sistem lay off di perusahaannya dilakukan bertahap. Pada tahap pertama, 3 karyawan dengan masa kerja paling baru lebih dulu diberhentikan.
"Saya masuk ke tahap dua. Jadi sudah tahu persis saya akan kena lay off," kisahnya.
Terhimpit di Tengah Usia dan Kompetisi: Realita Pahit Pekerja 30-an yang Terkena PHK
Masa-masa setelah dirumahkan menjadi periode yang penuh tantangan. Perjuangan mencari pekerjaan baru pun nggak mudah. Bukan hanya karena lowongan yang terbatas, tapi juga karena kompetisi yang semakin ketat. Diskriminasi usia, meskipun tak diakui secara terang-terangan, menjadi salah satu penghalang besar dalam dunia kerja hari ini.
foto: Ilustrasi dibuat dengan bantuan Meta AI
"Terlebih usia saya yang sudah 30++ memang jadi kendala juga karena carinya rata-rata maksimal 30 tahun," ungkapnya.
Fenomena pengangguran seperti ini bukanlah hal baru, mengutip dari pernyataan Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti, per Februari 2025 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang. Jumlah ini 4,76 persen dari total angkatan kerja sebanyak 153,05 juta orang.
"Jumlah orang menganggur 7,28 juta orang. Dibanding Februari 2024, jumlah orang menganggur meningkat 83.450 ribu orang yang naik 1,11 persen," kata Amalia dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Senin (5/5).
Melihat peningkatan angka pengangguran di Indonesia cukup membuat wanita yang dulu biasa berjibaku dengan dokumen export itu menjadi pesimis. Beruntungnya, dia masih memiliki pemasukan lain untuk dijadikan pegangan sehari-hari.
foto: Ilustrasi dibuat dengan bantuan Meta AI
"Agak pesimis memang, tapi berhubung saya masih punya tabungan dan masih ada usaha keluarga ditambah banyak urusan keluarga, jadi saya tidak terlalu gencar mencari pekerjaan," katanya.
Meski tidak terlalu berdampak pada mental dan psikologisnya, situasi itu tetap memengaruhi ritme hidup. Nggak ada lagi aktivitas 'nine to five' di kantor yang biasa dilakukannya sehari-hari.
"Tentu mengalami banyak penurunan produktivitas, dari yang awalnya bekerja dari pukul 8-5 sore, bahkan sering lembur, tapi saat dirumahkan tidak banyak pekerjaan yang dilakukan," katanya.
Produktif Meski Tak Lagi di Kantor
Tapi roda hidup terus berputar, seiring waktu, ia sempat mencoba peruntungan lain dengan membuka usaha rumah makan. Sayangnya, bisnis tersebut tidak berjalan sesuai harapan. Setelah setahun tidak terlihat prospek yang menjanjikan, usaha itu pun ditutup.
Kini, ia lebih banyak membantu usaha keluarga dan merawat orang tua yang mulai menua. Keadaan ini membuatnya belum kembali mencari pekerjaan secara aktif. Pun, dia belum memiliki tanggungan, sehingga tidak ada tuntutan untuk terburu-buru mencari pekerjaan.
"Kebetulan saya cewek dan belum menikah, jadi tidak ada tanggungan. Suka ikut kalau ada urusan keluarga, terutama mendampingi orang tua," ucapnya.
Hidupnya tidak sepenuhnya mandek. Ada banyak pembelajaran yang ia petik dari pengalaman ini.
"Setelah lay off tentunya banyak pelajaran yang didapat seperti kerja sama tim, multitasking, manajemen waktu," katanya.
foto: Ilustrasi dibuat dengan bantuan Meta AI
Pengalaman ini mengajarkannya untuk lebih terbuka dan adaptif. Ia menyesali satu hal: terlalu fokus pada pekerjaan teknis saat masih bekerja, tanpa membuka diri pada pengetahuan lintas divisi yang bisa memperkaya kompetensi.
Menariknya, di tengah kondisi ini, ia tidak menganggap pernikahan sebagai jalan keluar dari tekanan finansial. Ada kesadaran bahwa solusi hidup bukan selalu dalam bentuk institusi formal, melainkan pada kemampuan untuk tetap bertahan dan berdaya. Toh, dia yakin bahwa jodoh dan rezeki sudah ada yang mengatur.
"Sebenernya gak terlalu kepikiran sih buat menjadikan pernikahan sebagai jalan keluar, soalnya kan jodoh sama rejeki udah ada yang ngatur," ucapnya sambil tertawa kecil.
Kisahnya adalah potret nyata ribuan perempuan Indonesia yang kini berada dalam posisi limbo-tidak bekerja di sektor formal, namun tetap produktif dalam bentuk lain.
Dalam dunia yang semakin menuntut efisiensi dan usia muda sebagai standar utama, kisah seperti ini perlu lebih sering disuarakan. Sebab di balik angka statistik pengangguran, ada manusia dengan cerita, usaha, dan harapan yang tak boleh diabaikan.
Recommended By Editor
- BPS: Jumlah penggangguran 7,28 juta orang, naik 83 ribu jiwa hingga Februari 2025
- Bukti susahnya mencari kerja, wanita pencari kerja ini memasukkan 1.306 surat lamaran dalam 6 bulan
- Viral warung seblak buka loker diserbu pelamar di Ciamis, cerita lengkap pemiliknya yang ngaku syok
- Bukti susahnya nyari kerja, momen warung seblak buka lowongan diserbu banyak pelamar ini bikin syok
- Cara bikin daftar riwayat hidup yang mudah dan praktis, bisa pakai platform online gratisan
- Perbedaan CV dan resume, lengkap dengan penjelasannya