Brilio.net - Pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, yang menyebut bahwa masyarakat dengan bergaji Rp15 juta per bulan cenderung lebih sehat dan pintar dibanding mereka yang bergaji Rp5 juta, memantik diskusi publik yang hangat. Meskipun pernyataan tersebut bisa dimaklumi jika merujuk pada akses ekonomi terhadap fasilitas kesehatan, pendidikan, dan nutrisi berkualitas, pernyataan tersebut terasa menyederhanakan realitas sosial yang jauh lebih kompleks.
Tak semua orang dengan penghasilan tinggi otomatis hidup lebih sehat. Justru, banyak individu berpenghasilan pas-pasan yang mampu menyiasati kondisi mereka dengan bijak—dari pola makan, olahraga, hingga investasi diri. Dalam realitas urban seperti Yogyakarta, tempat UMR masih jauh di bawah angka dua digit, banyak pekerja muda yang menjalani gaya hidup sehat dengan pengeluaran yang sangat rasional.
Ferra Listianti dan Gita misalnya, dua wanita yang kini berkarier dan tinggal di Yogyakarta membuktikan bahwa hidup sehat bukan hak eksklusif bagi mereka yang memiliki pendapatan besar. Dengan strategi hidup yang cermat dan pengelolaan prioritas, mereka membangun rutinitas sehat dan terus berkembang secara pribadi, meskipun berada dalam batasan finansial.
Cerita mereka bukan hanya menjadi kontras terhadap wacana elitisme ekonomi dalam kesehatan, tapi juga menjadi cermin bagi banyak pekerja urban lainnya yang berjuang dalam situasi serupa.
Menjaga Pola Makan Sehat Meski Uang Terbatas
foto: Shutterstock.com
Isu terbesar dalam gaya hidup sehat bagi kelompok berpenghasilan rendah adalah anggapan bahwa makanan bergizi selalu mahal. Namun Ferra menolak asumsi tersebut. Sebagai pekerja dengan pendapatan setara UMR Yogyakarta, ia berhasil menyusun pola makan bergizi tanpa harus mengandalkan makanan impor atau label “organik”.
“Protein kalau keuangan menipis diganti tahu tempe, telur, kurangi makan gorengan, sama aku stop minum minuman manis. Jadi kalau pergi-pergi selalu minum tawar, misal jeruk tawar. Atau sering bawa air mineral sendiri dari rumah jadi irit budget,” jelas Ferra.
Di sisi lain, Gita, yang berpenghasilan antara Rp3–5 juta, mengandalkan aktivitas masak sendiri sebagai langkah strategis mengontrol asupan dan anggaran. Ia memilih memasak makanan sehat dengan cara sederhana dan fleksibel.
foto: Dok. pribadi Gita
“Aku lebih sering masak ketimbang beli makan di luar… aku bisa kontrol asupan yang aku makan dan lebih higienis juga,” tuturnya.
Data dari Harvard T.H. Chan School of Public Health menegaskan bahwa memasak sendiri memungkinkan individu untuk mengontrol kandungan nutrisi, sekaligus memangkas biaya makanan yang kerap membengkak bila mengandalkan konsumsi luar rumah.
Olahraga Untuk Bakar Kalori Bukan Bakar Isi Dompet
foto: Shutterstock.com
Banyak orang mengaitkan olahraga dengan keanggotaan gym, sepatu mahal, atau personal trainer. Padahal, dengan YouTube, matras, dan dumbbell di rumah, tubuh tetap bisa bugar tanpa membakar isi dompet.
“Workout di rumah sama lari... modal YouTube, dumble ada di rumah, sama matras aja. Gampang dan gak ngeluarin biaya,” kata Ferra.
“Gear lari beli yang dibutuhkan aja, kalau mahal nabung dari satu atau dua bulan biar bisa kebeli. Atau nunggu promo," lanjutnya.
Ferra juga aktif mengikuti lari komunitas yang memberikan penyegaran dan bahkan suplemen gratis. Ia juga menyiasati keterbatasan dengan menghindari "FOMO gaya hidup", memilih brand sepatu lokal daripada merek internasional.
foto: Dok. pribadi Ferra Listianti
“Boleh fomo untuk tahu olahraga apa yang aku sukai. Tapi soal gaya hidup gak perlu ikut-ikutan... beli dulu yang merk lokal, banyak kok yang bagus.”
Memiliki semangat yang sama dengan Ferra, Gita pun mengandalkan olahraga minim biaya seperti berjalan kaki. Dengan 10.000 langkah per hari, ia menjaga tubuh tetap aktif tanpa satu rupiah pun.
“Kalau lagi nggak padat, 3 hari 1x aku jalan kaki 10.000 langkah. Kalau lagi padat, seminggu sekali aja. 0 rupiah juga tetap bisa sehat kok.”
WHO menyebutkan bahwa aktivitas fisik moderat seperti jalan cepat selama 30 menit lima kali seminggu sudah cukup untuk menjaga kebugaran dan mengurangi risiko penyakit kronis.
Strategi Pengelolaan Kesehatan: Maksimalkan BPJS dan Relasi
foto: Shutterstock.com
Dalam situasi ekonomi terbatas, perlindungan kesehatan menjadi krusial. Baik Ferra maupun Gita menyadari pentingnya memiliki jaminan kesehatan. Ferra mengandalkan BPJS dan menambah asupan vitamin dari brand terjangkau atau dari paket lari komunitas.
“Vitamin pun kalau lagi minim budget beli yang murah dari brand IPI… cek kesehatan setahun sekali, kadang ada teman perawat yang mau cek-in kesehatan jadi gratis. Relasi is the key.”
Gita, meskipun belum tercover perusahaan, menyisihkan gaji untuk membayar BPJS mandiri.
“Pastinya BPJS, karena belum tercover oleh perusahaan jadi nyisihin dari gaji.”
Di luar negeri, khususnya di AS, sistem kesehatan justru sangat bergantung pada jenis asuransi dan pekerjaan. Menurut laporan dari Kaiser Family Foundation (KFF), 28% orang dewasa di AS menunda perawatan kesehatan karena biaya—sesuatu yang di Indonesia relatif lebih tertanggulangi melalui BPJS.
Belajar dan Berkembang, Tak Harus Mahal
foto: Shutterstock.com
Produktivitas tak selalu berarti menghasilkan uang. Ferra menekankan bahwa olahraga juga bentuk produktivitas. Ia pun tidak berhenti mengembangkan diri meskipun gajinya nggak fantastis.
“Kalau kamu mau menekuni olahraga pun, kegiatan ini bisa jadi bikin kamu produktif dan menghasilkan uang kok… kamu bisa tuh daftar jadi pacer yang dibayar.”
Ia juga aktif mengikuti kelas daring gratis, seperti bahasa Jepang dan digital marketing. Meski tak mendalam, kelas tersebut tetap memberinya arah.
“Kalau upgrade skill untuk saat ini aku ambil kelas yang gratis-gratis dulu… kayak kemarin aku ambil kelas bahasa Jepang 2 minggu tapi dia gratis.”
Gita, meskipun tak eksplisit menyebutkan pengembangan diri lewat pendidikan, menyadari pentingnya menjaga keseimbangan mental agar tetap produktif.
“Sesekali juga ngasih reward ke diri buat makan junk food dan teman-temannya. Life balance aja, biar gak stres.”
foto: Shutterstock.com
Pernyataan bahwa orang bergaji tinggi pasti lebih sehat dan pintar adalah generalisasi yang tidak mempertimbangkan dinamika sosial, pilihan gaya hidup, dan kesadaran individu. Ferra dan Gita menjadi contoh nyata bahwa sehat bukan privilese ekonomi semata.
Dengan prinsip hidup sederhana, pengelolaan anggaran yang bijak, dan semangat belajar yang tak surut, mereka membuktikan bahwa hidup sehat dan berkembang bisa dicapai oleh siapa saja.
“Intinya ya itu tadi, jangan tergiur sama rumput tetangga yang lebih hijau,” tegas Ferra.
Di tengah biaya hidup yang makin tinggi, narasi-narasi seperti ini menjadi penting untuk digaungkan. Bahwa kesehatan bukan sekadar hasil dari gaji dua digit, melainkan hasil dari kesadaran, kebiasaan, dan pengelolaan hidup yang cermat.
Recommended By Editor
- Tahu-tahu ngeblank dan melamun tanpa sebab? Fix lagi terkena "ngang ngong" yang lagi viral
- Gaji guru honorer ini cuma Rp9 ribu per jam dan dibayar rapel 3 bulan, total upahnya bikin miris
- Totalnya bikin syok, ibu muda ini spill budget keperluan anaknya yang masih balita untuk sebulan
- IRT ini berani ambil KPR padahal gaji suami Rp3,5 juta, begini cara atur uangnya agar hidup seimbang
- Cara cegah kanker prostat dan rekomendasi makanan sehat untuk penderita, simpel tapi efektif
- 9 Transformasi komedian Ery Makmur pemeran satpam Sule berhasil turun 30 kg, perubahanya manglingi
- 15 Penyebab kelemahan otot dan tips untuk menjaganya, agar aktivitas berjalan lancar