Brilio.net - Sri Lestari punya cerita yang akan selalu dikenangnya nanti ketika sudah tua. Satu per satu mimpinya keliling Indonesia mulai terwujud dengan motor kesayangannya yang selalu menemaninya selama ini.

Mengenal sosok Sri Lestari, ia merupakan seorang penyandang disabilitas dengan semangat membara. Namanya tentu tak asing lagi bagi sebagian orang. Sejak beberapa tahun terakhir, wanita asal Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, ini memang ramai jadi perbincangan lantaran hatinya yang mulia.

Sri membuktikan mampu bangkit dari kejadian yang pernah dialaminya puluhan tahun lalu. Meski memakan hampir 10 tahun untuk bangkit kembali, kini dirinya tumbuh menjadi wanita yang kuat. Pada tahun 1997 lalu, Sri yang masih berusia 23 tahun mengalami kecelakaan motor.

sri lestari touring © 2019 brilio.net

foto: Brilio.net/Ivanovich Aldino



Kala itu, dirinya membonceng seorang temannya. Separuh bagian tubuhnya ke bawah mengalami kelumpuhan atau disebut paraplegia. Dalam bahasa medis, paraplegia merupakan kelumpuhan yang terjadi pada bagian bawah tubuh akibat cedera sumsum tulang belakang. Akibatnya, wanita 46 tahun ini harus menggunakan kursi roda sampai saat ini.

"Saya kan dibonceng, waktu itu di jalan menikung yang nyetir terlalu menengah. Dari arah lawan, terus ada kendaraan lain (di depan), banting setir ke kiri dan saya jatuh, koprol, sampai jatuh ke sungai," ujar Sri Lestari ketika ditemui brilio.net, Selasa (6/8).

Kecelakaan hebat yang dialaminya itu membuat tiga ruas tulang belakangnya hancur. Saraf tulang belakangnya juga putus sehingga membuat Sri divonis paraplegia. Di lima tahun awal kelumpuhan, Sri sudah berupaya melakukan pengobatan alternatif, tetapi tidak membuahkan hasil baik. Diakuinya, dirinya sampai pernah menjalani pengobatan alternatif di tengah hutan di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur.

"Saya seperti bayi, apa-apa waktu itu dibantu orangtua," ujarnya.

Usai 10 tahun berlalu, bukan waktu yang mudah bagi Sri hingga akhirnya bangkit seperti sekarang ini. Berpikir untuk dapat hidup mandiri, ia memulai semuanya dari awal dengan membuat kerajinan tangan dengan guru di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Manisrenggo. Usahanya pun mendapat dukungan dari orangtua, dibuatkan kamar mandi khusus sampai rumah tanpa tangga agar Sri bisa leluasa memakai kursi roda di rumah.

sri lestari touring © 2019 brilio.net

foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha



Seiring berjalannya waktu, perempuan kelahiran 10 Desember 1973 ini mulai menyibukkan diri dengan aktivitas lain. Oleh temannya dari Jakarta bernama Jaka Ahmad, Sri dikenalkan dengan Pak Subagyo, Kepala Sekolah SLB A-YAAT, Klaten. Di sekolah tunanetra itu, Sri diberi kesempatan menjadi relawan. Tugasnya edit dan entry data dari buku biasa menjadi huruf Braille.

Sebelum menjadi relawan, Subagyo sendiri menawari Sri soal kursi roda di Solo. Kursi roda tersebut bantuan dari Wheels for Humanity. Saat itu, Wheels for Humanity kantor pusatnya berada di Amerika, tetapi setiap setahun sekali ada pelayanan di Indonesia.

Perjalanan hidupnya kembali dimulai kembali saat Sri memiliki kendaraan motor lagi. Semula berawal dari Sri ingin menjadi relawan di sebuah radio Griya Manunggal, Yogyakarta. Dengan catatan, Sri harus tidur di sana.

"Karena kondisi saya, saya nggak berani nginap. Akhirnya Mbak Ninik (petugas Griya Manunggal) bilang, 'Ada kok mbak, motor yang bisa mbak naiki tanpa harus lepas dari kursi roda'," kenangnya.

Selama delapan bulan, akhirnya Sri mencari informasi mengenai hal tersebut. Sampai ketika ia menemukan Bambang, orang yang pertama kali mempunyai motor seperti itu. Setelah saling berkenalan dan bertukar cerita, Bambang mengunjungi Sri di kediamannya di Klaten.

sri lestari touring © 2019 brilio.net

foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha



Sayangnya, Bambang menceritakan biaya untuk modifikasi motor tidaklah murah. Tanpa menghilangkan mimpinya, Sri melakukan banyak upaya, seperti menghubungi temannya untuk mencari 'jalan'.

"Orangtua habis-habisan ya untuk biaya pengobatan. Saya mencoba mengirim surat ke teman di Belanda. Saya cerita jadi relawan sekarang, tapi terkendali transportasi," sambung wanita berhijab ini.

Siapa sangka, temannya kemudian memberikan respons baik. Ia kemudian meminta Sri mencari tahu harga modifikasi motor, tetapi teman Sri di Belanda hanya mampu membantu semampunya. Salah satu teman Sri menyarankan membeli motor bekas dengan kisaran harga Rp 4 juta, sementara biaya modif sekitar Rp 4 juta. Beruntungnya, biaya modif mendapat potongan 50% dari harganya.

"Waktu itu ada lembaga Karina KAS, Klaten yang memberikan bantuan korban gempa ada subsidi untuk modifikasi sepeda motor. Saya dimasukkan dalam program subsidi itu. Saat itu uang saya pas Rp 6 juta," jelas Sri.

Rasa bahagia akhirnya dirasakan Sri, karena seolah menjadi titik terang baginya. Meski sebenarnya Sri menuturkan sempat merasa 'mengemis' pada sahabatnya di Belanda. Ia hanya takut, ketika meminta kepada temannya, temannya tak mau lagi berteman dengannya. Sebaliknya, ternyata usahanya membuahkan hasil.

Setelah memiliki kendaraan sendiri, Sri semakin getol dalam melakukan hal positif lainnya. Bermula dari korban gempa dari Karina KAS, Klaten, Sri melihat banyak orang yang masih drop atau trauma di sana, meski banyak psikolog maupun dokter datang sekalipun.

sri lestari touring © 2019 brilio.net

foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha



"Ketika teman difabel dinasihati oleh teman non-difabel, dia bisa mudah (bilang) 'Kamu kan nggak ngerasain'. Ketika saya datang, saya punya pengalaman yang mirip teman-teman. Hanya saja saya lebih mandiri lebih dulu," tambahnya.

Sri akhirnya diajak mengunjungi korban-korban gempa di sana, harapannya ia mampu memberi semangat kepada mereka. Mimpinya terus berlanjut, hingga Sri ingin mengunjungi teman-teman sesamanya, di kampung paraplegia di Solo.

Di tahun 2009, Sri juga berkesempatan bekerja di UCP Wheels for Humanity, Yogyakarta. Di UCP, ia bertugas mendata penyandang disabilitas di Sleman. Otomatis Sri tidak lagi jadi relawan di Karina KAS, Klaten. Tetapi Sri masih aktif mengunjungi teman paraplegia.

"Niat saya hanya memberi semangat sebagai penyandang disabilitas. Saya masih bekerja Senin-Jumat, di hari Sabtu dan Minggu lebih banyak mengunjungi teman-teman," kata Sri.

Misinya hanya satu, memberi semangat dan dukungan pada mereka yang merasakan hal yang sama dengannya, terutama paraplegia yang hanya bisa di kasur. Sri memulai mengajari orang-orang yang ditemuinya bagaimana hidup mandiri.

"Saya pasti konsultasi tentang bagaimana merawat diri, kami (paraplegia) harus mengontrol kantung kemih, buang air kecil dan besar. Bagaimana transfer dari tempat tidur ke kursi roda. Ketika bisa merawat diri itu kan bisa mengurangi beban," jelasnya secara detail.

sri lestari touring © 2019 brilio.net

foto: Brilio.net/Syamsu Dhuha



Tak main-main, aksi sosialnya ini dilakukannya bukan hanya sebatas Jogja dan Klaten saja, namun juga keliling banyak provinsi. Diakuinya, kekuatan sosial media membuat Sri banyak dikontak orang yang mengatakan ingin bertemu dan seperti dirinya (hidup mandiri).

Sebagai seorang pemotor, bukan bearti Sri tidak menemukan kesulitan. Misalnya, karena sehari-hari mengenakan pampers ketika bepergian, ia harus pandai-pandai mencari waktu istirahat menggantinya.

Belakangan, Sri bersama timnya punya program pemasangan closet duduk bagi para paraplegia. Program itu didanai oleh Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah.

Perjalanan touring keluar kotanya pertama kali dimulai dari Jakarta-Bali tahun 2013. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 20 hari. Di tahun 2014, yakni dari Sabang-Jakarta. Kemudian tahun 2015 dilanjutkan dari Manado-Makassar.

Touringnya tentu tidak sendirian. Menurut Sri, sang adik selalu mendampinginya selama perjalanan jauh. Pasalnya masih ada sejumlah lokasi jalanan yang tidak bisa diakses dengan kursi roda. Sang adik membantunya saat Sri tidak bisa melewati jalanan itu.

Memulai perjalanan jauh rupanya memberikan makin banyak pengalaman baginya. Terbukti sejumlah komunitas sepeda motor mengenal Sri. Menariknya, dari sana Sri diberi julukan sebagai 'Lady Bikers'. Setelah namanya kian dikenal publik, saat akan melakukan aksi sosialnya, banyak yang ingin bergabung dengannya.

sri lestari touring © 2019 brilio.net

foto: Brilio.net/Ivanovich Aldino



Sesekali, di hari libur kerjanya Sabtu-Minggu, Sri meluangkan waktu untuk membesuk para paraplegia. Berbeda dari sebelumnya, perjalanan yang memakan waktu hanya satu hari ini biasanya hanya lokasi dekat dan mudah dijangkau, di sekitar Pulau Jawa.

"Tahun 2009 saya ke Magetan, terus Nganjuk, Purbalingga, Kudus-Pati, Magelang," ujarnya.

Untuk contoh sederhananya, seperti rute Kudus-Pati, warga Lohasri RT 1/ RW IV, Solodiran, Manisrenggo, Klaten, Jawa Tengah tersebut berangkat dari subuh, pulangnya bisa jam 01.00 WIB tengah malam.

Lalu untuk ukuran kecepatan motor yang dikendarainya, Sri selalu mengontrol kecepatannya. Jika situasi jalan aman, apalagi jika didampingi oleh teman-teman, Sri gunakan kecepatan 80-90km/jam.

Seperti pengendara umumnya, Sri pun mempunyai surat izin mengemudi (SIM), yaitu SIM D (SIM untuk penyandang disabilitas). Untuk mendapatkannya, Sri harus melewati proses ujian yang sama seperti kebanyakan (ujian tertulis dan latihan kendaraan).

"Saya tetap memenuhi persyaratan yang ada untuk mengendarai sepeda motor," katanya.

sri lestari touring © 2019 brilio.net

foto: Brilio.net/Ivanovich Aldino



Hingga kini, Sri sudah beberapa kali berganti sepeda motor. Singkat cerita, motor pertama merupakan donasi dari dua temannya di Belanda, dilanjutkan tahun 2013 Sri dibelikan sepeda motor Honda Supra oleh Fund Racing. Di tahun 2014, rezeki kembali dirasakannya ketika mendapat motor dari TVS, termasuk modifikasinya.

"Yang terakhir ini motor hadiah dari pak Duta Besar Arab Saudi tahun 2018. Semuanya donasi, jadi saya belum pernah punya motor. Semuanya milik temen," cerita Sri sambil tersenyum.

Terlepas dari aksi sosialnya, sebenarnya orangtua Sri mempunyai ketakutan tersendiri. Mulanya ayahnya mengatakan jika Sri mempunyai motor, ia cukup diantar oleh adiknya saja ke mana-mana. Tak mau putus asa, untuk menyakini orangtua, Sri bahkan mencari jalan keluar dengan berjanji tidak akan melintas di jalan raya, meski di awal-awal, orangtua Sri meminta orang lain mendampinginya selama di jalan.

"Ketika pertama ke kampung paraplegia, saya harus diantar ponakan. Dia bawa motor sendiri (kendarai motor masing-masing). Kalau saya pergi dan belum pulang, orangtua saya belum masuk rumah, di awal-awal," cerita Sri.

Kecelakaan nyatanya tak menguburkan mimpi-mimpi Sri. Ia membuktikan dapat mandiri dengan segala keterbatasan maupun kelebihan yang dimilikinya. Diceritakannya, di awal kecelakaan terdahulu perasaan sedihnya begitu terasa. Namun semuanya harus bangkit kembali.

"Waktu saya masih terpuruk itu ke mana-mana harus nyewa motor, itu stres banget. Perjalanan punya motor itu adalah mimpi panjang," tutupnya mengakhiri perbincangan sembari tersenyum.

Jika kamu masih penasaran dengan sosoknya, simak wawancara lengkap brilio.net dengan Sri Lestari beberapa waktu lalu: