Brilio.net - Bisa keliling dunia merupakan satu impian besar bagi sebagian orang dalam hidupnya, apalagi dengan orang yang dicintainya. Jika berhasil, tentu sangat membahagiakan dan rasanya tak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata.

Hal tersebut baru saja dirasakan oleh Joseph Mentari. Tepat pada bulan September lalu, ia berkesempatan menjelajahi satu tempat impiannya, yakni di Ladakh, salah satu daerah tertinggi di dunia. Tempat itu kerap disebut banyak orang sebagai tempat pertemuan antara bumi dan langit.

Joseph sendiri memang mempunyai kecintaan terhadap alam. Bisa dikatakan sedari kecil, ia sudah gemar bermain paralayang hingga arung jeram sekalipun. Namun suatu saat ia merasa menemukan 'titik jenuh' dan ingin melakukan sesuatu yang lebih menantang.

Mulanya pada 2015, Joseph mencoba petualangannya ke Pakistan. Kala itu pria 50 tahun ini mengajak orang-orang terdekatnya, namun hampir semuanya menolak dan menganggap aksi Joseph itu 'gila', karena nekat pergi ke daerah konflik.

joseph mentari ladakh © 2019 brilio.net

Perjalanan 2015
foto: Facebook/Yosep Mentari



Untuk perjalanannya ke Pakistan, ia sudah mempersiapkan selama kurang lebih satu tahun. Ia rajin mempelajari kehidupan di sana, konflik, dan permasalahan yang terjadi.

"Sebetulnya di Pakistan tidak sengeri di Kasgar, cuma nggak diekspos. Karena di Kasgar itu tempat muslim China (Suku Uighur)," ujar Joseph membuka percakapannya saat ditemui brilio.net, Sabtu (9/11) lalu.

Baginya, sebenarnya banyak tempat indah yang ada di Pakistan. Hanya saja, 'kelebihan' tersebut tertutup dengan banyak berita kurang mengenakkan. Padahal perjalanannya di Pakistan sangat aman.

Empat tahun kemudian, pria 50 tahun itu kembali memulai petualangannya. Di tahun 2019, ia berkesempatan mengunjungi Ladakh. Jika ke Pakistan dirinya pergi sendiri, kali ini terasa istimewa lantaran sang istri bisa ikut menemani.

joseph mentari ladakh © 2019 brilio.net

foto: Facebook/Yosep Mentari



Mengulik lebih jauh, sebenarnya dari Pakistan dulu ia pernah ingin melanjutkan perjalanannya ke India, sayangnya permasalahan budget yang mengurungkan keinginannya.

"Awalnya naik pesawat dari sini ke Delhi, baru ke Leh," sambungnya memulai cerita ke India.

"Saya itu nggak pernah motoran, saya bilang 'Yuk, motoran wae. Kita akan lewat Chang La, Khardung La, jalan-jalan ke tempat tertinggi di dunia'," kata Joseph menirukan obrolannya pada istrinya.

Tanpa pikir panjang, istrinya langsung mau menerima ajakan Joseph. Perjalanan kemudian dimulai. Sejak awal perjalanan, Joseph dan istri sudah memiliki cerita unik. Di mana saat ditawari minuman di pesawat, keduanya memesan minuman beralkohol.

"Mau minum apa jus, kopi, vodka? Wah, mumpung gratis ini. Saya bilang saya pesen wiski. Istri saya tak suruh pesen wine. Sampai Delhi saya mabuk," tuturnya sambil tertawa.

Sampai di Leh, Joseph dan istri seharusnya menghabiskan waktu untuk istirahat sebagai aklimatisasi atau upaya adaptasi diri dengan lingkungan baru. Lantaran terlalu senang, mereka justru langsung menghabiskan waktu untuk jalan-jalan.

"Malamnya istri saya pusing, besok malemnya juga. Tapi kalau siang nggak. Ternyata saat itu oksigen dalam darahnya drop," kata Joseph.

Dikarenakan oksigen di tubuhnya drop, sang istri terpaksa harus dibawa ke UGD rumah sakit setempat untuk diberi oksigen dan obat altitude sickness, yakni diamox. Setelah stabil dan bermodalkan peta, keduanya baru memulai perjalanan dengan motor sewaan Royal Enfield Bullet 500 cc.

joseph mentari ladakh © 2019 brilio.net

Istri Joseph
foto: Facebook/Yosep Mentari



Menyusuri jalanan dari daerah satu ke daerah lainnya bukan perkara mudah. Sebab mereka kerap menemukan lintas jalan yang tinggi dan oksigennya sedikit.

"Saya jalan jalan pertama dari Leh ke Nubra Valley, ke Hunder, ke Pagonzo. Trek-treknya jauh banget, tapi (di sana) nggak ada bang jo (lampu merah). Jadi bisa bablas terus," kenang Joseph.

Setiap perjalanan, pasti ada satu momen yang begitu membekas, begitupun dirasa oleh Joseph. Misalnya ketika oksigen tipis saat mereka berada di danau Pagonzo, tepatnya saat keduanya mencari penginapan.

"Saya dapat penginapan persis di depan danau. Malamnya saya tidur, dan kalau malam oksigennya ternyata makin tipis. Saya dengar orang teriak 'Oksigen, oksigen!'. Jadi rasanya, kamu kayak bisa bernapas, tapi nggak ada udaranya," ucapnya.

joseph mentari ladakh © 2019 brilio.net

Istri Joseph
foto: Facebook/Yosep Mentari



Semakin malam, suhu di Pagonzo mencapai 3 derajat dan oksigen kian menipis. Di situlah, Joseph merasakan susah bernapas. Pada dasarnya, rasa panik membuat seseorang kian susah bernapas dalam waktu seperti ini.

Selanjutnya, pengalaman lain yang dialami sewaktu keduanya berkunjung Bihara Hemis, vihara terbesar di sana. Tiba-tiba seorang biksu mendatanginya dan mengajak Joseph dan istrinya ke ruang tiga, yakni ruang tingkat kebaikan seseorang paling tinggi.

"Dia ngasih air, suruh minum dan ngelap muka. Lalu kita disuruh berdoa. Ibaratnya, itu tempat orang belajar paling tinggi, kalau orang Islam tempat khatam (Alquran). Dan air itu diberikan pada orang yang sudah khatam. Sampai sekarang ya saya masih bingung (merasa heran dirinya diajak ke sana)," ungkap Joseph.

joseph mentari ladakh © 2019 brilio.net

foto: Facebook/Yosep Mentari



Terhitung, perjalanan mereka memakan waktu selama 10 hari. Persiapan yang dilakukan tentu membawa baju hangat, obat-obatan, dan perlengkapan lain. Untuk bahan bakar yang terbilang cukup jarang ditemui di sana, ia juga mempersiapkan dua jeriken minyak.

"Makanan jadi masalah buat saya. Kari (makanan khas India) bikin eneg. Setelah hari ketiga, kita makan telur rebus, mentega, roti," tambahnya.

Sementara, akumulasi total pengeluaran yang dibanderol Joseph dan istrinya sekitar Rp 45 juta. Menurutnya, biayanya menjadi mahal karena pemilihan pesawat. Padahal jika menggunakan backpacker, semua bisa hanya Rp 10 juta saja.