Brilio.net - Gempa berkekuatan magnitudo 5,6 SR mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada Senin (21/11) siang. Pusat gempa berada di daratan di kedalaman 10 km dan tidak berpotensi menimbulkan tsunami. Salah satu pemicu dari gempa yang bersifat merusak itu adalah Sesar Cimandiri. 

Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Irwan Meilano ST MSc mengatakan masyarakat dan pemerintah daerah perlu memahami Sesar Cimandiri yang menjadi pemicu gempa dengan magnitudo 5,6 yang mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada Senin (21/11).

Ia menjelaskan bahwa Sesar Cimandiri tergolong sesar aktif dan merupakan bidang rekahan yang disertai dengan adanya pergeseran, mengalami retakan, atau memiliki celah.

"Pada sesar ini terdapat akumulasi tegangan tektonik yang menjadi gaya penerus gempa. Jika ditilik melalui pendekatan geologi, juga menunjukkan hal yang serupa," kata Irwan Meilano dalam keterangannya, Selasa (22/11)

Sesar ini termasuk sumber gempa yang independen dan tidak dipengaruhi oleh gempa-gempa sebelumnya sehingga terdapat potensi gempa yang signifikan terjadi di masa depan. Irwan Meilano menuturkan ada pembelajaran yang bisa dipetik dari bencana gempa berkekuatan 5.6 SR yang mengguncang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat pada Senin (21/11).

"Concern utama berada di pemerintah dan pemda, perlu ada upaya untuk memahami bahwa daerah tersebut memiliki potensi gempa. Penataan ruang dan kaidah pembangunan yang dilakukan tiap daerah harus disesuaikan dengan struktur geologinya serta jaraknya dari sumber gempa," jelasnya. 

 

 

 

Ini bukan kali pertama pergerakan Sesar Cimandiri menyebabkan gempa. Irwan menyebutkan pernah terjadi gempa berkekuatan serupa pada 1970-an. Sehingga, lanjut dia, ada pembelajaran yang bisa dipetik dari bencana alam gempa bumi tersebut. Perhatian utamanya berada di pemerintah dan pemda, perlu ada upaya untuk memahami bahwa daerah tersebut memiliki potensi gempa.

"Penataan ruang dan kaidah pembangunan yang dilakukan tiap daerah harus disesuaikan dengan struktur geologinya serta jaraknya dari sumber gempa. Selain itu, masyarakat juga harus melek literasi dan pengetahuan bahwa mereka tinggal di daerah yang rawan gempa sehingga mitigasi dapat dilakukan,” ujar Irwan.

Ketika bencana telah terjadi, terdapat waktu atau golden time untuk evakuasi yang hanya berkisar rata-rata 30 menit setelah gempa bumi. Hal yang dapat dilakukan setelah bencana terjadi adalah memberikan respons yang terbaik. Menurutnya, masyarakat Indonesia harus belajar dari Jepang dalam memanfaatkan golden time ini.

"Rumah sakit darurat, pengungsian sementara, air dan sanitasi yang baik, mulai dipersiapkan sekarang. Jika hanya fokus pada yang terluka, lantas mengesampingkan hal-hal vital yang harus dipersiapkan, maka orang yang selamat pun dapat menjadi korban selanjutnya,” kata Irwan.