Brilio.net - Selama ini pada masyarakat Jabodetabek terjadi mispersepsi bahwa udara pagi lebih baik dibanding waktu lain. Mungkin karena dianggap udara masih terasa sejuk, kondisi lalu lintas masih sepi, dan minim polusi udara. Tak mengherankan bila animo masyarakat berolah raga sangat besar pada pagi hari, sekitar pukul 05.00-09.00, termasuk saat pandemi Covid-19.

Nah belum lama ini, Nafas, startup penyedia aplikasi pengukur kualitas udara mengeluarkan hasil riset mengenai indeks kualitas udara (AQI) di Jabodetabek sepanjang 2021. Hasilnya cukup mencengangkan dan selama ini banyak dari kita salah kaprah.

Ternyata, AQI di Jabodetabek pada pagi hari antara jam 04.00-09.00 masih cukup tinggi sekitar 100-160. Ini menunjukkan kualitas udara relatif tidak baik. Artinya, pagi hari bukan waktu terbaik untuk berolahraga. Justru saat itu masyarakat Jabodetabek disarankan tidak melakukan aktivitas di luar rumah.     

Karena itu bagi seseorang yang berumur antara 35-45 tahun yang berolahraga pada pagi hari saat kondisi kualitas udara seperti itu justru berbahaya karena berisiko menimbulkan penyakit jantung. “Bisa meningkatkan risiko penyakit jantung sebesar 33%,” ujar Prabu Setyaji, Data Scientist Nafas dalam bincang bertajuk Nafas Air Quality Report 2021” besutan Nafas, Bicara Udara, dan Katadata Insight Center, belum lama ini.

Justru, kata Prabu, kualitas udara paling baik di Jabotabek terjadi pada jam 14.00. Kualitas udara semakin membaik ketika terjadi hujan besar yang disertai angin kencang hingga ekstrim.

Sementara Community Manager Bicara Udara Novita Natalia mengatakan, hasil riset Nafas yang menunjukkan bahwa masih banyak salah kaprah dari masyarakat terkait kualitas udara beserta mitos-mitos yang selama ini sering didengar, menunjukkan makin kebutuhan edukasi mengenai isu ini. 

“Kami sebagai komunitas yang fokus pada edukasi mengenai pentingnya peningkatan kualitas udara sangat senang dengan adanya riset yang dilakukan Nafas. Riset ini sekaligus menjadi indikasi betapa pentingnya meningkatkan pengetahuan masyarakat agar upaya bersama untuk mewujudkan kualitas udara yang lebih baik bisa terwujud,” ujarnya.

Banyak pohon, udara nggak selalu bersih tuh

Kualitas udara © 2022 brilio.net @yans_brilio

Kualitas udara di area hijau yang banyak tumbuh pepohonan ternyata juga tidak selalu bersih atau bebas dari polusi udara, khususnya yang disebabkan polutan berukuran sangat kecil (PM2.5). Kesimpulan tersebut juga terungkap dalam hasil riset Nafas.

Nafas memasang tiga sensor pengukur kualitas udara di tiga lokasi, yakni Bumi Serpong Damai (BSD), Cibinong, dan Sentul City. Ketiga daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang (Jabodetabek) tersebut merupakan area yang dikelilingi daerah hijau.

Namun data Nafas menunjukkan, AQI di ketiga wilayah tersebut cukup tinggi di atas 100. Angka AQI di atas 100 menunjukkan kualitas udara relatif tidak sehat bagi kelompok usia tertentu. “Itu menunjukkan ketiga daerah tersebut tidak bebas dari polusi,” kata Co-founder & Chief Growth Officer Nafas, Piotr Jakubowski.

Menurut Piotr, banyaknya pepohonan sebenarnya kurang berdampak membuat udara menjadi bersih dan segar. Sebab pada dasarnya daun-daun di pohon tak bisa menyerap debu. Daun hanya mampu menyerap gas, sehingga tak bisa secara signifikan membersihkan debu yang ada di udara. “Jadi, pepohonan tidak bisa memfilter polusi,” ujarnya.

Berdasarkan data Nafas tersebut, kata Piotr, keliru apabila kebijakan pemerintah-pemerintah daerah di Indonesia memperbaiki kualitas udara hanya dengan cara menanam banyak pepohonan. Bisa dibilang penanaman pohon hampir tidak ada dampaknya mengurangi polusi atau dengan kata lain tidak berdampak signifikan untuk menyegarkan kualitas udara.