Brilio.net - Jika ada anggapan bahwa humor hanya sebatas membuat orang tertawa saja, maka sepertinya perlu ada banyak diskusi tentang humor. Karena ternyata humor tak sekadar berhubungan dengan saraf tertawa saja, melainkan juga membutuhkan permainan logika, penguasaan bahasa, serta pengendalian emosi. Humor menjadi sesuatu yang dalam dan penuh makna.

Hal itu mengemuka dalam bincang sastra di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Sabtu (29/1), malam. Humor ditempatkan dalam posisi yang “sangat serius” saat melihat dan mencerna apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan humor, seseorang akan bisa melihat banyak perspektif dan menjauhi cara pandang dengan kaca mata kuda.   

Joko Pinurbo, yang dikenal dengan puisi-puisi “nakal” nya memandang saat ini ada banyak ketegangan hidup, terutama tampak di media sosial. Hal itu berawal dari bagaimana seseorang memandang atau menafsirkan agama. Padahal, seharusnya agama berperan sebaliknya. “Kita sekarang ini mulai kehilangan humor,” katanya.

Dan humor bukanlah sesuatu yang tanpa bobot. Menurut Jokpin, sapaan Joko Pinurbo, humor memiliki makna cukup mendalam. Dalam proses kreatifnya, ia banyak belajar dari kisah-kisah sufi yang seringkali menonjolkan unsur humornya. Ia juga banyak dipengaruhi oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang memiliki banyak humor berbobot.

“Saya banyak belajar ke Gus Dur. Gus Dur pernah bilang, nggak papa saya dianggap kafir, kan setelah itu saya mengucapkan kalimat syahadat, dan saya masuk Islam lagi,” ujarnya. Bagi Jokpin, guyonan Gus Dur ini memiliki makna mendalam dan beragam. Salah satunya adalah guyonan itu bisa dimaknai bahwa seseorang bisa berubah setiap saat. Siapapun itu.

Baginya, menulis puisi humor adalah perkara serius. Dia membutuhkan berlatih puluhan tahun untuk bisa menulis puisi humor tersebut. Dalam setiap puisinya selalu ada permainan logika dan bahasa, serta bagaimana dia mengendalikan emosi agar tidak meluap-luap.  “Humor itu harus jernih memandang sesuatu. Dengan puisi, saya sedang melakukan perlawanan terhadap kekerasan sosial, terutama lewat bahasa,” katanya.

Suasana santai bincang sastra di TBY

puisi © 2017 brilio.net

 

Dua narasumber lain, yakni Mustofa W. Hasyim dan Andy Sri Wahyudi juga banyak mengungkapkan bagaimana humor menjadi bagian hidup mereka. Mustofa W. Hasyim, penyair kawakan yang salah satunya bukunya berjudul Pohon Tak Lagi Bertutur ini, memberikan penekanan pada humor yang tak bisa dipisahkan dengan masyarakat. Baginya humor tak sekadar lucu-lucuan. “Humor itu mencerdaskan. Dengan humor kita bisa mencerdaskan,” katanya.

Mustofa sudah sangat berpengalaman di dunia tulis menulis. Ia pernah menjadi wartawan serta menjadi editor buku di berbagai penerbit sejak tahun 1980. Pengalamannya di dunia pesantren saat remaja banyak mempengaruhi karya puisinya yang penuh humor.

Dalam pagelaran bincang sastra bertajuk “Yogya Berhati Tawa” makin terasa hidup dengan pembacaan puisi-puisi  Andy Sri Wahyudi yang juga seorang pantomim. Andi berdialog dengan pengunjung yang memadati ruang seminar saat pembacaan puisinya. Dan sebagaimana dua penyair lainnya, Andi juga menunjukkan bagaimana humor menjaga keseimbangan hidup seseorang.

Dan apa yang diungkapkan oleh Asef Saiful Anwar sang moderator sepertinya sangat pas. Membaca puisi tiga penyair tersebut seperti memasak sambal terong. Puisi Jokpin serupa cabai yang ketika diiris-iris bisa membuat orang menangis. Demikian juga puisi Mustofa W. Hasyim yang serupa bawang merah yang bisa membuat pengirisnya (pembacanya) menangis. Nah, puisi Andy seperti terong yang kalau dipotong-potong menjadi enak dimakan. “Jadilah sambal terong,” katanya.