Brilio.net - Mutasi virus corona baru Eek atau E484K ini pertama kali diidentifikasi pertama kalinya di Afrika Selatan (B1351) dan di Brazil (B1128), dan kini mulai menyebar ke Jepang, bahkan Indonesia.

Pemerintah kesehatan Jepang menemukan mutasi baru corona ini pada 70 persen pasien Covid-19, atau bisa dikatakan 10 dari 14 orang yang dites di rumah sakit Tokyo pada bulan lalu. Pada Februari lalu kasus ini sudah ditemukan di Indonesia.

mutasi baru corona Eek Unsplash

foto: unsplash.com

Dilansir dari antaranews.com, Jumat (9/4), Guru Besar Paru dari Fakultas kedokteran Universitas Indonesia (UI), Prof Tjandra Yoga Aditama menyebutkan bahwa mutasi ini sesuatu yang mengkhawatirkan.

"Mutasi E484K ini oleh sebagian pakar disebut mutasi Eek, yang maksudnya sesuatu yang mengkhawatirkan dan merupakan sebuah peringatan. Ini terjadi karena mutasi ini nampaknya berdampak pada respon sistem imun," kata Prof. Tjandra Yoga Aditama, seperti dilansir brilio.net dari antaranews.com, Jumat (9/4).

Kemampuan mutasi corona Eek ini diprediksi bisa menghidari kekebalan alami dari Covid-19 yang sebelumnya, dan mengurani efektifitas dari vaksin yang ada saat ini.

Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa mutasi baru ini bisa 'melarikan diri' dan mengubah protein spike virus yang diandalkan untk menjadi kekebalan. Dalam hal ini, berarti virus baru ini akan bisa menghindari respon imun yang ditimbulkan vaksin.

Mutasi dari virus corona E484K ini bisaa mngubah protein virus spike asli, dan membuat koneksi yang lebih kuat ke penderita, sehingga dia bisa jadi lebih menular dibandingkan virus corona sebelumya.

mutasi baru corona Eek Unsplash

foto: unsplash.com

"Kita suda sama ketahui varian B117 memang sudah terbukti jauh lebih mudah menular, sehingga kalau bergabung dengan mutasi E484K maka tentu akan menimbulkan masalah cukup besar bagi penularan Covid-19 di masyarakat," ucap Tjandra

Selain itu, ada yang lebih mengkhawatirkan adalah virus ini bisa mempersulit masa penyembuhan dari penderitanya, dan bisa membuat si penderita mudah terinfeksi kembali setelah dia sembuh dari Covid-19.

Pengaruhnya yang merusak antibodi membuat adanya dampak lanjutan berupa berukurangnya efektifitas vaksin. Hingga kini Tjandra dan pakar kesehatan lainnya masih menuggu hasil penelitian terkait mutasi baru ini.

"Perlu diketahui bahwa kalau memang anti mutasi E484K dan atau mutasi atau varian baru lainnya memang akan membuat vaksin menjadi tidak efektif maka pada pakar dan produsen vaksin akan dapat memodifikasi vaksin yang ada sehingga akan tetap efektif dalam pengendalian Covid-19," ucap Tjandra.

Dengan begini, hal yang bisa membantu pencegahan penularan ini adalah tetap mematuhi protokol kesehatan yang sudah dianjurkan pemerintah.