Brilio.net - Kasus korupsi di negeri ini seakan tak pernah berhenti. Ada saja kasus yang diungkap oleh penyidik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama Agustus lalu saja melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak empat kali. Terbaru adalah Wali Kota Tegal Siti Mashita Soeparno yang ditangkap pada 29 Agustus.

Para pejabat seperti tak pernah jera untuk melakukan tindak pidana korupsi. Padahal, banyak sekali pejabat yang sudah tertangkap dan dijebloskan ke penjara. Seperti Patrialis Akbar, mantan hakim konstitusi yang divonis penjara 8 tahun. Sebelumnya, banyak sekali pejabat yang masuk bui gara-gara 'merampok' uang rakyat.

 

koruptor kapok © 2017 brilio.net
foto 1: Twitter @kpk_ri


Meski banyak koruptor yang ditangkap kenapa tak ada efek jera bagi pejabat lain? Buktinya, perilaku korupsi masih banyak dilakukan. Bahkan korupsi juga menjangkiti orang-orang yang seharusnya menegakkan hukum. Patrialis Akbar yang seorang hakim konstitusi menerima suap dari pengusaha Importir daging sapi terkait uji materi undang-undang nomor 41 tahun 2014 tentang kesehatan hewan ternak. Kini ia sudah dijatuhi hukuman 8 tahun.

Menyoal maraknya kasus korupsi, peneliti Pusat Kajian Anti korupsi Universitas Gadjah Mada Zaenal Arifin Mochtar sebagaimana dikutip dari merdeka.com, mengatakan bahwa gaji kecil bisa menjadi alasan kenapa kepala daerah bisa korupsi. Zaenal melihat bahwa gaji kepala daerah yang sebesar Rp 5-6 juta rupiah ditambah tunjangan itu masih rendah. Zaenal menyarankan selain pemberantasan korupsi, juga dilakukan pengaturan komposisi penggajian kepala daerah untuk mengurangi dorogan melakukan korupsi.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini punya analisa agak berbeda. Menurut dia, ongkos politik yang tinggi di negeri ini bisa menjadi pendorong kepala daerah terpilih untuk melakukan korupsi.

Pasalnya saat menjadi kepala daerah, ia akan berusaha agar ongkos politik yang dikeluarkan bisa kembali lagi. Titi sebagaimana dikutip dari merdeka.com, juga menambahkan bahwa ketika seseorang hendak terjun ke dunia politik, masuk ke dunia partai politik juga membutuhkan uang.

 

koruptor kapok © 2017 brilio.net
foto: Twitter/@Zamribang


Peter Carey dan Suhardiyono Haryadi dalam buku "Korupsi Dalam Silang Sejarah Indonesia: Dari Daendels (1808-1811) sampai Era Reformasi" Mengkritisi sejarah korupsi dari jaman kolonial hingga reformasi.

Buku yang baru terbit tahun 2016 ini melihat bahwa korupsi birokrat kepemerintahan sulit diberantas. Mereka memegang kendali dan posisi penting sehingga mempunyai kuasa untuk melakukan tindakan korupsi. Penulis melihat bahwa kepemerintahan Indonesia masih feodal-aristrokrat karena relasi atasan bawahan yang kaku. Dia juga mengkritisi kinerja birokrat yang dirasa lelet dan pemalas.

Di buku ini, Peter Carey melihat bahwa penegakan hukum terhadap korupsi masih lemah. Saat Orde Baru, Presiden Soeharto pernah membuat kebijakan anti-korupsi melalui UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Tapi karena kuatnya KKN serta tak adanya restu politik, progam ini kurang efektif membasmi koruptor. Apalagi mereka yang berada di posisi strategis.

Korupsi sendiri sangat kompleks. Perubahan besar terutama peraturan, penegakan hukum, dan kesadaran diri harus dimulai dari birokrat paling rendah hingga tingkat tertinggi seperti menteri atau presiden. Alasan korupsi seperti gaji kurang, ongkos politik, atau peraturan kaku harus bisa dihilangkan. Setidaknya dikurangi agar korupsi tidak meraja-lela.

Korupsi juga tak bisa lepas dari sejarah bangsa ini. Onghokham menulis Tradisi dan Korupsi di buku Bunga Rampai Korupsi (LP3ES, 1985). Menurut sejarawan Onghokham, korupsi marak karena ada perubahan manajemen keuangan yakni antara uang negara dan uang pribadi yang sulit dilakukan pejabat. Karena pada masa kerajaan, tradisi yang ada adalah uang negara adalah uang raja. Uang desa adalah uang lurah. Ada pergeseran makna jabatan masa lalu dan masa kini.

Jual beli jabatan pada masa lalu, ternyata juga sesuatu yang legal. Pemangku jabatan memang harus orang yang berduit agar saat menjabat bisa menyetor upeti kepada raja. Oleh karena itu jabatan publik terkadang dijual ke pedagang atau siapa saja yang memang memiliki uang.

Jabatan Bupati di Madiun pada abad ke-19 misalnya, pernah dijual dan dibeli oleh Prawiradiningratan II, anak seorang pemberontak. Beberapa jabatan juga dijual kepada orang Cina dan pendatang lain.

Nah, sobat Brilio punya ide untuk memberantas korupsi di negeri ini?