Brilio.net - Berbicara mengenai dunia hiburan tentu tak terlepas dari hadirnya sederet selebriti yang berkarier di dunia akting, tarik suara, hingga menjadi seorang komika. Tidak hanya terfokus pada satu bidang saja, beberapa di antara mereka pun melebarkan sayap untuk menjajal dunia baru.

Salah satu tokoh publik yang mengalami hal serupa adalah Yusril Fahriza. Komika kelahiran Lamongan yang hidup di Yogyakarta ini tak hanya dikenal sebagai komika saja, namun ia juga berkarier di dunia seni peran sebagai aktor. Salah satu film yang dibintanginya yakni Cek Toko Sebelah garapan Ernest Prakasa.

Kerja keras dan ketekunannya dalam mendalami karakter di dunia seni peran pun tak setengah-setengah. Dalam mendalami tokoh Naryo di Cek Toko Sebelah yang memiliki karakter kemayu, ia pun belajar dari tokoh terkenal di berbagai film. Sukses berperan sebagai Naryo, Yusril Fahriza ditawari berbagai judul film layar lebar dan web series. Tentu hal tersebut tak mudah dilakukannya, pasalnya, Yusril Fahriza tidak pernah bercita-cita untuk menekuni dunia akting. Ia bahkan merupakan seorang lulusan pondok pesantren yang kerap kali dikaitkan sebagai pendakwah.

Nah, seperti apa cerita lebih lengkap mengenai perjalanan Yusril Fahriza dalam berkarier di industri hiburan? Yuk, simak selengkapnya dalam rangkuman tanya jawab brilio.net dengan Yusril Fahriza berikut ini.

Mas Yusril sejak kapan berkarier sebagai komika?

sosok yusril fahriza © berbagai sumber

foto: Brilio.net/Ferra Listianti Putri (Yusril Ihza)

Dari 2011 masih kuliah. Waktu itu lagi masa senggang-senggangnya. Dulu aku diajak temanku, kayaknya beberapa komika berawalnya dari diajak teman. Aku tuh nggak ada basic berbicara di depan publik sama sekali dulu. Temanku yang ajak aku open mic itu adalah dulunya duo pembuat onar di kelas. Akhirnya, dia ngajakin aku open mic pertama kali. Dianya lucu, aku nggak. Tapi, dia lebih mementingkan skripsi dan nggak mendalami stand up. Nah, aku yang akhirnya terjerumus ke stand up.

Kalau dilihat ke belakang, Mas Yusril ini lulusan dari pondok yang notabene sering dikaitkan sebagai pendakwah. Apakah kondisi tersebut menjadi halangan bagi Mas Yusril? Bagaimana akhirnya Mas Yusril bisa merubah stereotip tersebut?

Sebenarnya kalau stereotipe itu nggak ada yang bisa nyalahin ya. Itu stereotip orang, tapi kalau sudah kenal aku dari zaman pesantren pun ya hal-hal kayak gini sudah ada dalam prediksi. Dulu waktu aku di pesantren, aku udah dikenal sebagai tukang pembuat onar. Jadi dari dulu aku sudah doyan melucu, tapi dulu nggak ada format stand up comedy. Nah, jadi kalau melucu itu harus ada lawan mainnya. Lawan mainnya itu biasanya teman-teman sekelasku. Jadi, bukan sesuatu yang kurencanakan.

Nah tahun 2011 itu turning pointku, tiba-tiba aku ikut stand up, jadi ketua komunitas, tiba-tiba ngiyain tawaran syuting, semua serba tiba-tiba. Nah, sampai sekarang ini. Jadi kalau dibilang stereotip, ya nggak ada yang bisa nyalahin. Buktinya ada dan aku bisa. Toh, aku nggak membawa embel-embel itu ke luar.

Dari orangtua sendiri pernah men-target-kan jika masuk pesantren nanti ya lulusnya jadi pendakwah?

Jadi karena aku merantau sejak 2001 ya yang artinya aku pulang itu hanya setahun sekali. Ketika seorang anak lepas dari bimbingan orangtua sejak dari SMP gitu, aku merasa semua keputusan ya di aku. Sehingga, setiap keputusan dalam hidupku aku tidak pernah melibatkan orangtuaku. Termasuk ke stand up comedy maupun main film.

Mereka tahu aku stand up setelah masuk TV. Mereka tahu main film setelah aku syuting, bukan 'aku ada tawaran nih, kira-kira diambil nggak?' Jadi mereka tahu, tapi aku tidak pernah bertanya langsung. Selama itu akan membawa hal baik, pasti akan selalu direstui dan didukung.

Sudah pernah tour ke mana saja selama menjadi komika?

sosok yusril fahriza © berbagai sumber

foto: Instagram/@yusrilfahriza

Secara karier komika sebenarnya biasa aja. Dalam artian tidak terlalu tinggi tapi nggak juga rendah. Not to height but not to low, medioker aja. Akhir-akhir ini pernah ke Banjarmasin, Makassar. Cuma ke kota itu pertama kali gara-gara film sih. Jadi secara karier komika biasa saja, karena aku bukan lulusan dari kompetisi, aku hanya komika yang beruntung dibawa Ernest Prakasa di film Cek Toko Sebelah.

Awalnya bisa ketemu Ernest Prakasa itu dari mana mas?

Itu 2013 waktu tour illucinati Ernest, dia tour ke Jogja. Nah dari situ terus ngobrol-ngobrol. Nah, awal ketemu Ernest itu juga awal casting aku menjadi Naryo. Jadi 2013 setelah tour illucinati, kita nongkrong di sate klatak. Nah, waktu kita nongkrong ada salah seorang komika Jogja yang nyapa aku tapi gaya manggilnya kayak banci gitu. Nah terus aku gemulai gitu, nah Ernest liat. Terus siang nya, dia nge-DM aku 'lu beneran nggak ngondek?'. 2 Menit dari aku jalan di tempat dudukku ke Ernest ini, itulah awal dari proses casting Naryo tahun 2013. Nah, di 2016 seminggu setelah wisuda, Ernest ada acara di Hotel Tentrem. Habis nge-mc di bulan Februari, dia cerita tentang proyek Cek Toko Sebelah. Bulan September itu awal syutingnya, sebelumnya ada proses reading dan casting.

Apakah tawaran dari Ernest untuk memerankan Naryo sebagai waria ini langsung diterima begitu saja? Atau ada pertimbangan lain?

sosok yusril fahriza © berbagai sumber

foto: Instagram/@yusrilfahriza

Terima langsung iya, tapi pas hari pertama reading itu aku hampir gagal menjadi Naryo karena jelek banget aktingnya. Apalagi ada Adinia Wirasti, Dion Wiyoko, dan Gisella Anastasia di depan, jelas nervous, juga tanpa ada pengalaman sebelumnya.

Setelah reading akhirnya, aku balik Jogja lagi. Dan Benedion sebagai komedian konsultannya bilang, 'nggak ada bakat kau'. Waduh langsung drop. Setelah itu, besoknya aku ditelpon Ernest 'lu kenapa?' Aku bilang, mungkin grogi. Tapi aku butuh waktu untuk mematenkan lagi. Nah, Ernestnya memberikan kepercayaan penuh.

Bisa dibilang aku orang yang sangat beruntung, tapi orang yang sial adalah orang yang tidak bisa memanfaatkan keberuntungannya. Ketika tahu aku beruntung, pas masa aku di Jogja setelah reading, aku menonton banyak film yang kira-kira bisa mendukung aku untuk mendalami karakter. Sampai di kost, waktu itu ada anak kampung yang ngondek panggilannya Bella, nama aslinya Zani. Akhirnya, aku kasih script ke dia, aku latihan bagaimana cara dia bergerak, bagaimana cara duduk, cara dia jatuh cinta sama lawan jenis.

Apakah setelah film Cek Toko Sebelah lalu banyak tawaran film buat Mas Yusril?

Iya, setelah Cek Toko Sebelah di tahun 2016 itu banyak tawaran.

Setelah banyak tawaran itu, ada pemikiran nggak untuk lebih menekuni dunia seni peran sebagai aktor?

Mau nggak mau. Dan rasa kesadaran itu baru ada di dua tahun terakhir, sejak 2018. Aku itu debut 2016, di tahun 2017 ada beberapa tawaran, nah di tahun 2018 dari Januari sampai Desember, nggak ada film komedi Indonesia yang nggak ada aku. Bisa syuting sampai Ambon, Maluku, Tual, Jakarta, dan lain-lain. Masuk 2019 langsung hilang.

Ada kekhawatiran nggak mengenai eksistensi di dunia hiburan?

Ada kekhawatiran, tapi jadi bahan evaluasi buat aku. Karena pada akhirnya, mau nggak mau, akting ini menjadi pekerjaanku. Tadinya, aku ini hanya sebatas menerima pekerjaan saja, tidak sepenuhnya mencurahkan hati sebagai aktor yang bermain dalam scene itu. Dari drama Korea itu aku belajar mengenai akting, karena kadang Naryo ini begitu melekat di aku. Memang, Ahn Jae Hong itu adalah teladanku.

Berangkat dari stand up dan sekarang bisa mencicipi akting, kalau sekarang lebih tertarik mana mas Yusril?

Lebih ke akting sih, stand up itu hanya hobi. Pada akhirnya, aku pengen kayak Jim Carrey, Jerry Seinfeld, mungkin kayak Ricky Gervais, komika luar yang akhirnya banyak dikenal sebagai aktor. Dan menurutku, ya itu nggak papa. Sejauh apapun itu yang membuatku hidup, aku pilih sih. Kalau misal stand up ya stand up, kalau akting ya akting. Kan keduanya bukan sesuatu yang bertabrakan.

Apakah selamanya mas Yusril akan berkarier di dunia entertainment?

sosok yusril fahriza © berbagai sumber

foto: Instagram/@yusrilfahriza

Nggak selamanya aku akan menjadi talent lebih tepatnya. Mungkin menurut banyak orang aku nggak begitu terkenal dan biasa saja, namun menurutku aku sudah terlalu jauh melangkah. Aku akan tetap di industri hiburan tapi tidak menjadi talent, ada batasnya. Kalau ada ya aku terima, kalau nggak ada, aku harus melangkah lebih dari itu. Aku masih pengen jadi sutradara. Mungkin kalau ada kesempatan bisa jadi Raditya Dika dan Ernest Prakasa.

Nah, setelah ini nggak fokus di Jakarta ya mas? Apakah menutup pintu di dunia entertainment atau merencanakan ke fokus baru?

Nggak fokus di Jakarta, di Jogja aja. Sekarang merencanakan ke fokus baru, lebih membuka ke hal baru. Masih berkaitan di entertainment, industri hiburan. Cuma nggak menolak tawaran.