Brilio.net - Setiap orang memiliki kota favorit. Mungkin seperti itulah yang dialami Avifah Ve atau Ve (29) asal Sumenep, Madura, Jawa Timur. Setelah sempat ke Kuala Lumpur, Malaysia, pada tahun 2013 untuk menonton Moto GP Sepang pada 13 Oktober, pada Agustus 2015 lalu dia kembali ke ibu kota Malaysia tersebut. Alasannya, dia belum puas saat pertama kali berkunjung ke sana.

Selama kurang lebih empat hari, Ve bersama seorang kawan yang dikenalnya melalui Facebook, mengeksplorasi KL lebih dalam. Kunjungan kali kedua ke KL yang paling berkesan untuknya dan temannya bernama Asih antara lain Batu Caves di Kuala Lumpur, Red Square (Dutch Square) di Melaka, dan I-City di Shah Alam, Selangor.

Ve dan Asih bertolak dari Yogyakarta ke KL pada tanggal 28 Agustus 2015 sore. Kemudian keesokan hari, keduanya pergi Batu Caves, Kuala Lumpur. Batu Caves merupakan bukit kapur area kuil. Kuil ini terletak di dalam goa. Tepat di area luar, yakni di bagian bawah anak tangga menuju kuil, ada patung Dewa Murugan tinggi dan besar. Batu Caves ini merupakan tempat suci bagi umat Hindu di Malaysia.

Usai jumpa Márquez & Rossi, Avifah Ve ulangi plesiran di Kuala Lumpur Dokumentasi patung Dewa Murugan oleh Ve. Foto: dok. pribadi Avifah Ve

Untuk sampai Batu Caves, Ve dan Asih menggunakan transportasi kereta, semacam commuterline dari Kuala Lumpur Sentral railway station. Mereka mengeluarkan kocek sebesar 8 ringgit Malaysia untuk satu orang kala itu. Usai menikmati kemegahan Batu Caves, dua kawan ini kembali mengelilingi KL, termasuk ke Petronas, ikon Kota KL.

Pada hari berikutnya, pergilah Ve dan Asih ke Melaka, biasa disebut juga Malacca atau Malaka. Tujuan keduanya kali ini adalah Red Square (Dutch Square). Tempat ini adalah kompleks wisata sejarah yang keseluruhan bangunannya berwarna merah maroon. Di sinilah Ve dan Asih mendapati Galeri Laksamana Cheng Ho dan beberapa bangunan seperti gereja, benteng, kincir air yang begitu besar.

Usai jumpa Márquez & Rossi, Avifah Ve ulangi plesiran di Kuala Lumpur Objek Kincir Air Kasultanan Melaka. Foto: dok. pribadi Avifah Ve

Tak pernah terbayangkan oleh Ve bisa sampai ke daerah Melaka. Sebab dulu dia hanya bisa melihat peta sekaligus menduga bahwa Melaka itu ada di ujung Sumatra. Lantas ketika SMP mempelajari Sejarah, editor sebuah penerbitan buku mayor berbasis di Yogyakarta ini, mengetahui bahwa Alfonso de Albuquerque, pelaut Portugis, mendarat di Melaka yang terletak di Semenanjung Malaya.

"Sampai akhirnya saya sudah kerja, punya uang sendiri, berangkat deh, ke Melaka," ujar Ve kepada brilio.net melalui layanan story telling bebas pulsa ke 0-800-1-555-999, Kamis (28/1).

Kemudian untuk mengisi ulang energinya sehabis mengelilingi Red Square, Ve dan Asih mampir ke area Jonker Street. Jonker Street dapat dikatakan area pusat Chinatown. Di sana banyak restoran makanan khas Chinese. Akibat ragu akan kehalalan makanannya, akhirnya Ve dan temannya memilih makan di Black Canyon Restaurant. Ve sempat melihat ada makanan Indonesia, yaitu Ayam Bakar Wong Solo di area tempat makan tersebut. Membuat Ve geleng-geleng kepala, jauh-jauh ke KL, ketemunya makanan Indonesia yang akrab di telinga dan lidahnya selama ini.

Usai jumpa Márquez & Rossi, Avifah Ve ulangi plesiran di Kuala Lumpur Area Jonker Street menjadi pusat kuliner khas Chinese. Foto: dok. pribadi Avifah Ve

Untuk sampai ke Red Square, Ve dan kawannya harus berangkat menggunakan kereta dari Kuala Lumpur Sentral railway station menuju Bandar Tasik Selatan station. Hanya butuh beberapa menit perjalanan dari KL menuju terminal modern layaknya bandara tersebut, dengan merogoh kocek sebesar 1 Ringgit Malaysia (RM). Waktu itu seingat Ve, kurs Rupiah 1 RM sebesar Rp 3.400. Sesampainya di Bandar Tasik Selatan station, Ve dan Asih naik bus dengan harga tiket sebesar 8-10 RM menuju Melaka. Saat inilah mereka harus 'memakan' waktu dua jam perjalanan.

Nah, saat sampai di Melaka, mereka naik bus kota lagi untuk sampai di Red Square dengan harga tiket sebesar 1 RM. Menurut pengakuan Ve, tak seperti alat transportasi di KL, kondisi transportasi di Melaka sama kacaunya seperti angkutan umum di kota-kota Indonesia.

"Mungkin sebesar Trans Jogja, tapi sesak banget gitu, lho! Tapi untuk yang di KL maupun di Bandar Tasik Selatan station itu rapi banget. Bahkan di Bandar Tasik Selatan station, disiplin banget. Waktunya bus berangkat jam dua, ya berangkat jam dua, nggak peduli penumpang penuh apa nggak," jelas Ve yang mengaku sangat menyukai bandara. Baginya bandara adalah tempat orang silih berganti datang dan pergi, yang bisa mengantar seseorang mengenal orang dan budaya baru, plus menggunakan mata uang selain rupiah atau negara asalnya.

Puas dengan Red Square, Ve dan temannya kembali ke KL. Tapi sesampainya di KL untuk kembali ke hotel di daerah Dataran Merdeka, mereka harus dihadapkan pada situasi tak terduga. Mereka terjebak demonstrasi!

Saat awal tiba di KL, wanita yang berdomisili di Kota Gudeg ini sudah melihat banyak orang di banyak sudut kota menggunakan pakaian berwarna kuning. Ve mengernyit dan menduga mungkin mereka petugas kebersihan layaknya di Indonesia. Tapi ternyata, malam hari 30 Agustus, selepas dari Red Square, Ve baru tahu bahwa mereka semua barisan demonstran.

"Waktu itu bertepatan dengan malam menjelang hari kemerdekaan Malaysia tanggal 31 Agustus, ada demo terhadap dugaan kasus korupsi yang dilakukan Perdana Menteri Najib Razak. Nah, saya dan Asih terjebak deh, dan ikutan teriak-teriak. Asal aja teriak walaupun nggak pakai baju kuning," kenang Ve sambil terkekeh. Alasan dia mengikuti arus barisan pendemo karena area demo di Stasiun Masjid Jamek dan hotel tempatnya bermalam dijejali barisan pendemo.

Ve sempat merasa salut dengan aksi demo yang berlangsung. "Mereka tertib dan nggak menyisakan sampah sama sekali. Padahal demo waktu itu terbilang besar, ada mungkin puluhan ribu orang," terangnya.

Setelah kurang lebih satu jam ikut berdemo di negeri orang, tepat pada pukul pukul 12, banyak kembang api menyala tak jauh dari Ve dan Asih berada. Ve menyatakan perayaan malam kemerdekaan di negeri tetangga itu layaknya perayaan malam tahun baru. Selain ada gemerlap pesta kembang api, sebelumnya ada penghitungan waktu mundur menjelang tepat pukul 12. Setelah kembang api menyala, banyak orang berfoto selfie dan bersama, tak peduli kenal maupun tidak.

Keseruan dan kegembiraan Ve tak berhenti sampai di situ. Pada hari berikutnya, 31 Agustus 2015, dia melanjutkan plesirannya ke I-City di Shah Alam, Selangor. I-City merupakan objek wisata yang berisi taman lampion besar, wahana salju, museum Madame Tussauds, dan beberapa wahana hiburan lainnya. Untuk museum Madame Tussauds di sini, menurut Ve tak selengkap museum Madame Tussauds aslinya.

Usai jumpa Márquez & Rossi, Avifah Ve ulangi plesiran di Kuala Lumpur Gemerlap I-City Shah Alam. Foto: dok. pribadi Avifah Ve

"Kami ke I-City sekitar pukul enam. Di sana pukul enam masih terang benderang, lho. Waktu magribnya aja jam setengah delapan. Kami ke sana setelah keliling KL untuk makan dan jalan-jalan," jelas wanita yang mengaku hobi traveling ini.

Selesai memuaskan batin menikmati spot-spot menarik di KL, Ve dan temannya pun pulang dengan penuh kenangan gembira. Wanita yang berencana traveling ke Bangkok pada Februari 2016 besok bersama kawan kenalan semasa di KL pertama kali ini, mengaku traveling membuka cakrawalanya. Ada kepuasaan dan kegembiraan sendiri melihat dunia luar.

"Seneng juga karena biasanya ke mana-mana di Indonesia ditanyai KTP, eh pas jalan-jalan misal pas check in ditanyai passpor," kelakar Ve menutup cerita.

Cerita ini disampaikan oleh Avifah Ve melalui telepon bebas pulsa Brilio.net di nomor 0-800-1-555-999. Semua orang punya cerita. Ya, siapapun termasuk kamu punya kisah tersembunyi baik cerita sukses, lucu, sedih, inspiratif, misteri, petualangan menyaksikan keindahan alam, ketidakberuntungan, atau perjuangan hidup yang selama ini hanya kamu simpan sendiri. Kamu tentu juga punya cerita menarik untuk dibagikan kepada kami. Telepon kami, bagikan ceritamu!