Brilio.net - Namanya Tahta Wira Tauladan, siswa kelas 3 sebuah sekolah menengah kejuruan di Jakarta Pusat. Tahta, begitu anak laki-laki ini biasa disapa, setiap pagi menjadi “tukang kecrek” di perlintasan kereta api tanpa palang pintu di Jalan Setia Kawan, Jakarta Pusat. Tukang kecrek sebenarnya istilah lain dari “Pak Ogah”, profesi yang biasa mengumpulkan recehan di persimpangan atau putaran jalan.

Bedanya, tukang kecrek ini turut menjaga keamanan perlintasan kereta api agar tidak terjadi kecelakaan. Sebab, seringkali pengguna jalan lalai ketika melewati jalur kereta dua arah di wilayah ini. Keberadaan tukang kecrek seperti Tahta untuk mengatur arus kendaraan roda dua yang melintas agar tidak saling berebutan di pintu yang sebenarnya hanya bisa dilalui satu motor saja.

Setiap hari ada puluhan tukang kecrek di wilayah ini yang bertugas secara bergantian setiap jamnya. Tahta mendapat jatah pada pukul 10.00 WIB, sebelum dia berangkat sekolah siang hari. Kendati memiliki kondisi fisik yang wajar seperti remaja seusianya, sebenarnya Tahta adalah penderita autisme.

BACA JUGA: Eko bocah kelas 2 SD nafkahi ibu dan adiknya dengan berjualan kerupuk

Namun, dia masih memiliki semangat tinggi untuk bersekolah. Tak seperti teman-temannya yang lain ke sekolah menggunakan motor, Tahta memilih sepeda kayuh. Padahal orangtuanya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Kecamatan Gambir juga memiliki motor. Baginya, naik sepeda bisa mengirit ongkos. Dia juga tak pernah malu menjadi tukang kecrek.

Hasil yang didapat sebagian digunakan untuk keperluan sekolah. Sisanya ditabung. Setiap hari selama satu jam dia bisa mengantongi Rp 20-Rp 30ribu dari pengguna jalan yang memberikan secara ikhlas. “Lumayan setiap pagi saya bisa dapat uang untuk di sekolah. Sisanya bisa saya tabung,” katanya.

Sebenarnya, secara ekonomi, orangtua Tahta bukanlah termasuk keluarga miskin. Hanya saja kebiasaan menjadi tukang kecrek justru membangkitkan semangatnya untuk mencari uang sendiri dan belajar mandiri.