Brilio.net - Seperti diketahui, film dokumenter merupakan film yang berisi fakta sepenuhnya sejak menit awal hingga akhir film. Model film yang pertama kali diterapkan oleh Robert Flaherty pada Moana tahun 1926 ini seiring perkembangan, bisa mengangkat sejarah, biografi, investigasi, traveling, dan lain-lain. Tokoh-tokoh yang terlihat dalam film adalah orang yang benar-benar terlibat dengan tema film yang sedang diangkat.

Contoh film dokumenter yang terkait Tanah Air adalah Jagal (The Act of Killing), Senyap (The Look of Silence), Mutiara dari Timur. Keberadaan film dokumenter yang umumnya penggarapannya dilakukan secara indie ini merupakan alternatif kepada khalayak yang selama ini disuguhi dengan film fiksi.

Budi Kurniawan, Film Director Aroma of Heaven, menilai setiap film memiliki orientasinya sendiri. Film yang berorientasi profit tentu memiliki orientasi lainnya juga. Film dokumenter pun, tak lantas tidak memiliki orientasi profit.

"Yang membedakan, film berorientasi profit berarti ada investasi di dalamnya. Warner Bros bikin kayak gitu, mereka punya investasi besar, bagaimana dikalkulasi investasinya balik modal. Misalnya ada satu film, wah ini kopi lagi seksi nih, yuk kita bikin film kopi, dengan cerpen yang sudah populer dari penulis populer, jadilah film yang juga populer gitu dengan fiksi (di dalamnya). Mungkin karena investasi besar, kru yang terlibat, sutradara yang terlibat punya beban, duitnya orang bagaimana harus balik," terang pria yang telah bergelut di dunia perfilman sejak 1999 ini kepada brilio.net, Rabu (10/2) mengenai yang diproduksi oleh perusahaan perfilman yang sudah punya nama.

Budi menuturkan, ada saja kejutan tak terduga bagi film dokumenter. "Uangnya kebuka lah. Jangan kemudian karena dokumenter tidak punya orientasi profit," tambahnya.

Yennu Ariendra selaku music composer film tersebut di atas turut bersuara. "Kalau umpamanya dia (Budi Kurniawan) dikasih uang 1 miliar untuk bikin film, dia pasti bingung. Kan ini orientasinya harus ngebalikin 1 miliar. Artinya kalau gitu filmnya juga (jadinya) berbeda. Oh aku harus ngundang pemusiknya Erwin Gutawa, yang minum kopi Luna Maya. Karena tuntutan ngebalikin 1 M tadi," tuturnya sambil mengeluarkan tawa.

Yennu memaparkan, film-film indie memiliki jalurnya sendiri. Meskipun bioskop Indonesia bukan sasaran utama, namun terbuka kemungkinan mengikuti berbagai festival internasional yang bergengsi. "Kadang-kadang jalurnya 'nggak jelas' gitu, diundang sana sini," tambah Yennu.

Film-film indie tak tertutup kemungkinan untuk masuk ke bioskop. Diakui Budi bahwa sebenarnya potensinya terbuka. Seperti filmnya yang telah rilis sejak Juni 2014 ini sempat masuk di salah satu bioskop Tanah Air selama 10 hari.

"Bioskop kita kan masih sangat terbatas, untuk tidak bilang dimonopoli. Harapan kecil saya, nanti mungkin akan ada bioskop khusus untuk film-film dokumenter," ucapnya.