Brilio.net - Munculnya pandemi virus corona di berbagai belahan negara membuat pemerintah memberlakukan social distancing sesuai dengan imbauan dari Badan Kesehatan Dunia (WHO). Hal tersebut dimaksudkan guna memutus penularan dari Covid-19 yang sangat berbahaya.

Sayangnya, penerapan social distancing ini tak lantas tidak memberikan konsekuensi negatif. Akibat peraturan tersebut, banyak orang hanya bisa berdiam diri di rumah dan tak bisa beraktivitas atau bekerja seperti biasanya.

Hal ini kemudian memicu terjadinya banyak hal dalam tubuh dan kondisi psikis mereka. Munculnya mimpi buruk adalah salah satunya.

Dilansir brilio.net dari laman Refinery29, Jumat (17/4), seorang psikoterapis Lisa Harrison mengatakan bahwa munculnya mimpi buruk tersebut disebabkan oleh stres dan cemas yang memburu. Dalam konteks ini, pandemi corona telah membuat banyak orang menjadi was-was dan tertekan karena tak dapat melakukan aktivitas sebebas biasanya.

Lebih jauh, seorang profesor dari David Geffen School of Medicine, UCLA, yakni Jennifer Martin, juga mengatakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan mimpi buruk ini adalah adanya perubahan siklus tidur.

"Kita dibuat untuk tetap bangun ketika menghadapi bahaya (virus corona)," terang Martin.

Ia menjelaskan bahwa pada masa yang penuh tekanan dan tidak kondusif ini, manusia bakal menjadi tetap waspada hingga tengah malam. Hal ini pada akhirnya akan memengaruhi pola tidur yang mereka miliki.

Kendati demikian, secara umum fenomena ini sangat normal terjadi dan bakal dialami banyak orang karena terdapat ketakutan terhadap satu hal yang sama. Meski begitu, mengatasi ketakutan ini tentu bakal sangat penting untuk mencegah masalah lebih lanjut terutama dalam tidur.

Untuk itu, sejumlah ahli pun menyarankan agar setiap individu yang mengalami mimpi buruk ini membuat jurnal mimpi dan menuliskan atau menggambarkan mimpinya. Hal tersebut bertujuan guna membuat gambaran mimpi yang lebih jelas, sehingga mereka dapat menaklukkan ketakutan dalam mimpinya itu.

Selain itu, berita-berita pandemi virus corona ini juga secara tidak langsung bikin banyak orang mengalami psikosomatik. Apa itu psikosomatik? Simak penjelasannya di bawah ini ya.


2 dari 2 halaman


Orang bisa mudah kena psikosomatik saat pandemi virus corona.

foto: freepik.com



Dilansir brilio.net dari Sciencedirect, psikosomatik adalah kondisi yang menggambarkan munculnya penyakit fisik karena kondisi mental yang sedang turun atau down.

Gejala ini dianggap wajar terjadi ketika tubuh mengalami kondisi tertentu. Ada penjelasan bagus dari dr Andri, Sp.KJ, FAPM melalui akun Twitter pribadinya @mbahndi. Dia menerangkan gejala-gejala psikosomatik, terlebih ketika pandemi Corona yang semakin mengkhawatirkan seperti saat ini.

"Salah satu yg membuat reaksi ini bisa timbul adalah KECEMASAN kita yang dipicu oleh berita-berita yang terus menerus terkait #COVID19 ini," tulis @mbahndi di salah satu cuitannya pada 22 Maret 2020 lalu.

Menurutnya, Amygdala atau pusat rasa cemas di otak dipaksa bekerja terus menerus hingga terlalu aktif. Hal ini membuat tubuh melakukan reaksi agar selalu siap siaga menghadapi ancaman.

"Kita jadi selalu dalam kondisi FIGHT or FLIGHT atau siaga terus menerus," tulis dokter spesialis kedokteran jiwa tersebut.

Sementara itu disadur brilio.net dari Britannica, gejala psikosomatik biasanya ditandai dengan stres, gangguan pernapasan, mual, migrain, dan pusing. Beberapa bahkan juga mengalami impotensi dan juga maag.

Psikosomatik juga tak menular secara fisik. Sayangnya, gejala ini menular secara emosional dari informasi negatif yang dibagikan dari satu orang ke lainnya. Dilansir dari laporan National Center for Biotechnology, tenaga medis dari Skotlandia, James Lorimer Halliday mengatakan bahwa gejala psikosomatik bisa terpicu dari faktor eksternal tubuh.

Dalam jurnalnya yang dipublikasikan di The Lancet pada 1943, James mengatakan bahwa gejala ini terpicu dari kejadian eksternal yang menguras emosi atau stres abnormal berkepanjangan.

Nah, ada baiknya untuk mencegah gejala ini, setiap saat kamu harus mencoba untuk tetap tenang dan menggunakan kepala dingin saat memikirkan sesuatu. Bahkan dokter Andri juga menambahkan bahwa dalam pandemi Coronavirus ini disarankan masyarakat jangan terlalu sering mengonsumsi berita-berita negatif yang secara tidak sadar memupus optimisme diri sendiri.

"Salah satu cara kita untuk mengurangi gejala psikosomatik akibat amygdala kita yang terlalu aktif ini adalah mengurangi dan membatasi informasi terkait dengan  #COVID19  ini. Lakukan hal lain selain browsing, lakukan hobi yg menyenangkan dan sebarkan optimisme kita bisa lewati semua ini," tulisnya lagi.

Gejala psikosomatik bisa ditangani dalam waktu yang singkat hingga menahun. Dalam kondisi parah, pasien hanya bisa disembuhkan dengan terapi obat, psikoanalisis, dan behavioral therapy (pengobatan yang bertujuan untuk mengubah perilaku negatif yang dapat membahayakan pasien serta menangani pikiran dan perasaan yang dapat menyebabkan perilaku membahayakan diri sendiri).

Jika psikosomatiknya masih ringan, pasien bisa menjalani terapi tanpa obat dengan mengatur level stres sehari-hari.